Maafkan aku, Rindu. Maaf karena telah mengingkari janjiku padamu. Aku tidak mampu menahan rasa ini. Rasa ingin memiliki seutuhnya suamimu. Kugenggam seprai demi untuk menahan rasa perih di bawah sana. Bibir kugigit kuat-kuat agar tidak mengeluarkan suara yang mungkin akan membuat suamiku menghentikan aksinya. Aku tidak sanggup mengakhiri ini. Aku begitu terbuai oleh naluri yang membawa diri merasakan indahnya surga dunia. Meskipun sakit menyertai, aku tidak mempedulikannya. "Ah ... Runa ...." Aku membuka mata menatap langit-langit kamar saat Aldi menyebut namaku seraya menjatuhkan diri dengan memelukku. Demi Tuhan aku tidak percaya jika baru saja dia menyebut namaku, bukan Rindu. Benarkah ini? Benarkah aku yang ada dalam bayangannya?Apakah aku hanya berkhayal saja? Rasanya tidak mungkin Aldi mengucapkan namaku di saat alam bawah sadarnya dipengaruhi obat perangsang. Kini Aldi menjatuhkan tubuhnya di sampingku dengan keringat yang masih membanjiri wajah serta tubuhnya. Dia tid
Pertanyaan apa itu? Aku bergeming seraya menatap matanya yang juga melihatku lekat. Sumpah, aku tidak mengerti dengan pertanyaan Aldi yang sama sekali tidak ada dalam pikiranku. Masih perawan? Untuk apa pertanyaan itu dia layangkan padaku? Bukankah dia seorang lelaki yang pernah menikah dan menggauli istrinya? Harusnya dia bisa merasakan dan membedakan mana perawan atau bukan. "Aruna," panggil dia lagi. "Kenapa Abang bertanya seperti itu?" Aku balik bertanya. Dia menyibak selimut hingga jatuh ke lantai. Lalu dia menunjuk seprai dengan ada noda bercak kemerahan di sana. "Aku minta maaf, harusnya ini tidak terjadi. Aku telah merenggut kesucianmu," ujarnya lagi terlihat menyesal. Aku mengembuskan napas kasar. Kukira dia kecewa karena aku tidak memuaskannya. Tapi ternyata, ini soal bercak merah yang mengotori seprai. Juga penyesalan dia yang telah membuatku kehilangan keperawanan. "Abang," kataku seraya mengangkat dagunya menggunakan telunjuk. "Kenapa Abang begitu terlihat sedi
"Kamu serius dengan permintaanmu itu?" Aldi bertanya dengan tatapan tidak percaya. "Iya," kataku, "berikan semua harta Abang? Maka aku akan menjualnya, lalu menyumbangkan seluruh uang itu untuk panti asuhan. Dengan begitu, Abang tidak akan merendahkanku karena kita sama. Sama-sama miskin tidak punya apa-apa."Aldi mengembuskan napas kasar. Ketegangan yang tadi ada pada dirinya, kini mulai menghilang. Yang tersisa hanya senyum kecil dengan pandangan menunduk ke bawah. "Aku kira—""Benar-benar meminta uangmu?" kataku memotong ucapannya. "Aku pun inginnya begitu. Aku ingin jadi orang jahat yang membawa kabur harta Abang. Tapi ... sayangnya rasa cintaku teramat besar hingga kulihat hanya dirimu, bukan uangmu."Aldi mengangkat kepala dan menatapku kembali. Tatapannya kali ini tidak bisa kuartikan. Matanya tajam, tapi pandangannya tidak menusuk. Justru lebih lembut hingga rasa damai yang kurasakan dari pancaran matanya itu. Pandangan kami saling mengunci untuk beberapa saat. Hingga akhir
"Itu foto Rindu, kan? Terus, itu yang disampingnya siapa?" Nyonya Marta kembali bertanya seraya menunjuk gambar wanita di sebelah Rindu yang wajahnya ditutupi stiker kepala babi. "Aku juga gak tahu, Mah. Kenapa harus ditutupi, sih? Dan kenapa dalam tulisan tadi, kita harus hati-hati pada wanita yang bersama Rindu ini?" Mendengar pertanyaan Aldi dan Nyonya Marta, aku hanya diam tanpa kata. Meskipun hanya melihat sekilas dan ditutupi stiker, aku sudah tahu siapa wanita yang ada dalam gambar itu. Aku. Akulah wanita yang ada di sana. Dan aku sangat yakin, jika Damar-lah yang mengirim foto itu sebagai ancaman untukku. Berengsek! Dia berhasil membuat jantungku akan loncat. "Emh ... mungkin itu adiknya Rindu, Bang?" Aku mulai mengeluarkan suara setelah beberapa saat menetralkan detak jantung. "Mungkin saja, sih. Tapi ... maksud dari kata-katanya apa?" "Bukannya Bang Aldi pernah ditawari turun ranjang?" Aku menjawab pertanyaan Nyonya Marta. "Mungkin karena dia sakit hati atas penolakan
Entah apa yang ada dalam pikiran Aldi saat aku mengucapkan kalimat tersebut. Tapi, untungnya kata-kata tadi hanya ada dalam hati saja. Sebenarnya aku belum bicara pada Aldi setelah memanggilnya tadi. Aku diam dengan masih menatap dia yang sekarang mulai kebingungan."Ada apa?" tanya Aldi lagi seraya mengibaskan tangannya. Aku menggelengkan kepala dengan senyum tipis pada dia. Dia yang merasa dipermainkan, langsung memalingkan wajah seraya berdecak kesal. Semakin sore kerjaku semakin tidak fokus. Aku terus memikirkan bagaimana caranya mendapatkan kunci lemari yang selalu dia sembunyikan?"Sepertinya kamu kelelahan, Aruna. Dari tadi banyak bengongnya," ujar Aldi seraya membuka tutup botol air mineral. "Iya, Bang. Sepertinya aku masuk angin, tubuh rasanya tidak enak begini.""Makanya, kalau tidur pake baju."Aku langsung menoleh pada dia yang sedang tersenyum seraya mengusap bibirnya yang basah. Kekehan kecil aku berikan sebagai tanggapan canda dari suamiku itu. "Pulang kerja mau ja
"Eh, Bang. Ini ... yang punya kontrakan. Dia ... nagih uang sewa," kataku dengan gugup. Aldi yang tadi hanya diam di ambang pintu, kini dia masuk dan menghampiriku. Aku gelisah, takut jika dia tidak percaya dengan kata-kataku barusan. "Kamu belum bayar kontrakan?" tanyanya kemudian. Aku mengangguk demi untuk menutupi kebohongan. Aldi mengotak-atik ponselnya sebentar, lalu denting notifikasi tiba-tiba masuk ke ponselku. Aku tertegun saat melihat rupanya pemberitahuan jika ada uang masuk ke rekeningku. "Sudah masuk, 'kan? Besok kamu bayarkan," ujar Aldi lagi. Aku tidak bisa berkata-kata. Rasa bersalah tiba-tiba hadir karena telah membohonginya. Bukan hanya bohong, aku bahkan telah menipu dia dengan berbagai cara. "Ma–makasih, Bang." Aku berucap pelan seraya menatapnya nanar. Dia sudah baik sekali padaku, tapi perbuatanku mendzoliminya. Aku jahat telah memanfaatkan kebaikannya demi seseorang yang ingin menghancurkan dia. Tuhan ... aku benar-benar salah. "Jangan ditekuk lagi, do
"Ya Allah, ya Robb ...." Aku dan Aldi sama-sama kagetnya saat melihat penampakan kaca depan yang sudah pecah berantakan. Tanganku langsung memegang lengan Aldi yang berdiri tak jauh dariku. "Den, ada apa, tad—"Bi Narsih tidak melanjutkan kata-katanya saat melihat apa yang terjadi di ruang tamu. Wanita itu menutup mulut dengan wajah yang sama kagetnya denganku. "Siapa yang melakukan ini?" tanya Aldi seraya berjalan ke arah pintu, lalu keluar dari rumah dan berdiri di teras. Matanya ke sana kemari mencari sekiranya ada orang yang mencurigakan di sini. Saat aku hendak mengikutinya, mataku menangkap benda yang menjadi pemicu pecahnya kaca rumah. Aku berjongkok di samping sofa, memungut batu yang dibungkus kertas putih. [Jangan bermain-main denganku, atau habislah riwayatmu,] bunyi pesan yang tertulis pada kertas tersebut. Cepat-cepat aku melipat kertas itu, lalu memasukkannya ke dalam saku piyama yang aku kenakan. Untung saja, Bi Narsih mengikuti Aldi ke luar. Jadi, dia tidak tahu
"Bang."Aldi tidak memberikan jawaban atas panggilanku. "Bang Aldi," panggilku lagi seraya menggoyahkan tubuhnya. Akan tetapi, suamiku tidak merasa terganggu. Dia tidur, dia terlelap sangat nyenyak setelah satu jam yang lalu pertempuran kami selesai. Tadi setelah selesai, aku tidak langsung beranjak dan mencari kunci lemari. Aku sengaja menemani Aldi tidur hingga dia benar-benar terlelap. Tentu saja cara ini agar bisa membuatku leluasa mencari barang yang aku inginkan. Setelah memastikan Aldi tidur pulas, aku pun beringsut turun dari ranjang. Kukenakan semua pakaian, lalu mulai beraksi mencari kunci lemari Aldi. "Tas. Tadi, dia mengatakan di dalam tas. Tas yang mana?" kataku bicara sendirian. Aku mengambil tas kerja milik suamiku. Menggeledah isinya untuk bisa menemukan kunci lemari itu. Namun, sayangnya tidak ada. Isinya hanya kertas-kertas yang berhubungan dengan pekerjaan."Tas mana, sih?" kataku lagi menyisir seluruh ruangan untuk mencari barang yang kumaksud. Pandanganku la