Beranda / Romansa / Membalas Kesombongan Mantan / Bab 254 jalan-jalan sore

Share

Bab 254 jalan-jalan sore

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Gara-gara kamu, hampir saja aku malu di depan karyawanku sendiri. Dan karena perbuatanmu, aku seperti orang bego yang tidak lancar bertutur kata."

Aldi marah-marah. Dia meluapkan emosinya padaku setelah orang yang datang ke ruangan tadi, pergi. Dan sekarang aku pun keluar dari tempat persembunyian seraya mendengar omelan suamiku.

Tak apa. Aku tidak sakit hati dan marah karena luapan kekesalan dia yang masih di batas wajar. Justru yang terdengar di telinga ialah, syair cinta Aldi yang membuatku lupa diri.

Aku mesem-mesem membayangkan kejadian tadi yang nyaris membuatku tidak sadarkan diri. Untung saja aku masih bisa mengendalikan diri, jika tidak, mungkin saat Aldi menciumku tadi, mulut ini sudah berteriak kegirangan.

"Aruna, kamu dengar, gak, sih apa yang aku ucapkan?" Aldi berbalik badan melihatku tajam.

"Dengar, Abang .... Sudah, ah jangan marah-marah terus, nanti ubanan sebelum waktunya, loh. Yuk, mendingan sekarang kita pergi," kataku seraya menarik tangan Aldi.

Pria itu men
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 255 menghisap madu cinta

    "Ini gak salah?" ucapku masih menatap ponsel. "Apanya?" "Eh, ini, Bang. Emh ... lagi baca komentar di Instagram." Aldi mengangguk pelan. Lalu pandangannya kembali fokus pada air jernih yang berwarna biru di depannya. Sedangkan aku, membalas komentar yang diberikan mantan calon istri suamiku, sekaligus sepupunya itu. Naima. Iya, wanita itu yang memberikan komentar, hingga aku tersenyum penuh kemenangan. [Aamiin, Bu Nai. Saya sedang menikmati takdir ini,] ujarku. Setelahnya, dia tidak membalas ataupun memberikan komentar lagi. Mungkin dia sakit hati melihatku tampil mesra di sosial media bersama pria yang dicintainya. Hari semakin sore, dan langit pun mulai menggelap. Aldi mengajakku pulang, karena orang-orang di sekitar kami pun satu per satu meninggalkan tempat ini. "Boleh gandeng?" tanyaku saat kami mulai melangkahkan kaki. "Memangnya kalau aku melarang, kamu akan menurutku? Padahal dari tadi tanganmu sudah memegang lenganku. Alasan saja."Aku mengulum senyum seraya menempe

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 256 masih perawan?

    Maafkan aku, Rindu. Maaf karena telah mengingkari janjiku padamu. Aku tidak mampu menahan rasa ini. Rasa ingin memiliki seutuhnya suamimu. Kugenggam seprai demi untuk menahan rasa perih di bawah sana. Bibir kugigit kuat-kuat agar tidak mengeluarkan suara yang mungkin akan membuat suamiku menghentikan aksinya. Aku tidak sanggup mengakhiri ini. Aku begitu terbuai oleh naluri yang membawa diri merasakan indahnya surga dunia. Meskipun sakit menyertai, aku tidak mempedulikannya. "Ah ... Runa ...." Aku membuka mata menatap langit-langit kamar saat Aldi menyebut namaku seraya menjatuhkan diri dengan memelukku. Demi Tuhan aku tidak percaya jika baru saja dia menyebut namaku, bukan Rindu. Benarkah ini? Benarkah aku yang ada dalam bayangannya?Apakah aku hanya berkhayal saja? Rasanya tidak mungkin Aldi mengucapkan namaku di saat alam bawah sadarnya dipengaruhi obat perangsang. Kini Aldi menjatuhkan tubuhnya di sampingku dengan keringat yang masih membanjiri wajah serta tubuhnya. Dia tid

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 257 harga sebuah keperawanan

    Pertanyaan apa itu? Aku bergeming seraya menatap matanya yang juga melihatku lekat. Sumpah, aku tidak mengerti dengan pertanyaan Aldi yang sama sekali tidak ada dalam pikiranku. Masih perawan? Untuk apa pertanyaan itu dia layangkan padaku? Bukankah dia seorang lelaki yang pernah menikah dan menggauli istrinya? Harusnya dia bisa merasakan dan membedakan mana perawan atau bukan. "Aruna," panggil dia lagi. "Kenapa Abang bertanya seperti itu?" Aku balik bertanya. Dia menyibak selimut hingga jatuh ke lantai. Lalu dia menunjuk seprai dengan ada noda bercak kemerahan di sana. "Aku minta maaf, harusnya ini tidak terjadi. Aku telah merenggut kesucianmu," ujarnya lagi terlihat menyesal. Aku mengembuskan napas kasar. Kukira dia kecewa karena aku tidak memuaskannya. Tapi ternyata, ini soal bercak merah yang mengotori seprai. Juga penyesalan dia yang telah membuatku kehilangan keperawanan. "Abang," kataku seraya mengangkat dagunya menggunakan telunjuk. "Kenapa Abang begitu terlihat sedi

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 258 kertas bergambar

    "Kamu serius dengan permintaanmu itu?" Aldi bertanya dengan tatapan tidak percaya. "Iya," kataku, "berikan semua harta Abang? Maka aku akan menjualnya, lalu menyumbangkan seluruh uang itu untuk panti asuhan. Dengan begitu, Abang tidak akan merendahkanku karena kita sama. Sama-sama miskin tidak punya apa-apa."Aldi mengembuskan napas kasar. Ketegangan yang tadi ada pada dirinya, kini mulai menghilang. Yang tersisa hanya senyum kecil dengan pandangan menunduk ke bawah. "Aku kira—""Benar-benar meminta uangmu?" kataku memotong ucapannya. "Aku pun inginnya begitu. Aku ingin jadi orang jahat yang membawa kabur harta Abang. Tapi ... sayangnya rasa cintaku teramat besar hingga kulihat hanya dirimu, bukan uangmu."Aldi mengangkat kepala dan menatapku kembali. Tatapannya kali ini tidak bisa kuartikan. Matanya tajam, tapi pandangannya tidak menusuk. Justru lebih lembut hingga rasa damai yang kurasakan dari pancaran matanya itu. Pandangan kami saling mengunci untuk beberapa saat. Hingga akhir

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 259 janji pada Damar

    "Itu foto Rindu, kan? Terus, itu yang disampingnya siapa?" Nyonya Marta kembali bertanya seraya menunjuk gambar wanita di sebelah Rindu yang wajahnya ditutupi stiker kepala babi. "Aku juga gak tahu, Mah. Kenapa harus ditutupi, sih? Dan kenapa dalam tulisan tadi, kita harus hati-hati pada wanita yang bersama Rindu ini?" Mendengar pertanyaan Aldi dan Nyonya Marta, aku hanya diam tanpa kata. Meskipun hanya melihat sekilas dan ditutupi stiker, aku sudah tahu siapa wanita yang ada dalam gambar itu. Aku. Akulah wanita yang ada di sana. Dan aku sangat yakin, jika Damar-lah yang mengirim foto itu sebagai ancaman untukku. Berengsek! Dia berhasil membuat jantungku akan loncat. "Emh ... mungkin itu adiknya Rindu, Bang?" Aku mulai mengeluarkan suara setelah beberapa saat menetralkan detak jantung. "Mungkin saja, sih. Tapi ... maksud dari kata-katanya apa?" "Bukannya Bang Aldi pernah ditawari turun ranjang?" Aku menjawab pertanyaan Nyonya Marta. "Mungkin karena dia sakit hati atas penolakan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 260 rencana mencuri brankas

    Entah apa yang ada dalam pikiran Aldi saat aku mengucapkan kalimat tersebut. Tapi, untungnya kata-kata tadi hanya ada dalam hati saja. Sebenarnya aku belum bicara pada Aldi setelah memanggilnya tadi. Aku diam dengan masih menatap dia yang sekarang mulai kebingungan."Ada apa?" tanya Aldi lagi seraya mengibaskan tangannya. Aku menggelengkan kepala dengan senyum tipis pada dia. Dia yang merasa dipermainkan, langsung memalingkan wajah seraya berdecak kesal. Semakin sore kerjaku semakin tidak fokus. Aku terus memikirkan bagaimana caranya mendapatkan kunci lemari yang selalu dia sembunyikan?"Sepertinya kamu kelelahan, Aruna. Dari tadi banyak bengongnya," ujar Aldi seraya membuka tutup botol air mineral. "Iya, Bang. Sepertinya aku masuk angin, tubuh rasanya tidak enak begini.""Makanya, kalau tidur pake baju."Aku langsung menoleh pada dia yang sedang tersenyum seraya mengusap bibirnya yang basah. Kekehan kecil aku berikan sebagai tanggapan canda dari suamiku itu. "Pulang kerja mau ja

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 261 fakta baru

    "Eh, Bang. Ini ... yang punya kontrakan. Dia ... nagih uang sewa," kataku dengan gugup. Aldi yang tadi hanya diam di ambang pintu, kini dia masuk dan menghampiriku. Aku gelisah, takut jika dia tidak percaya dengan kata-kataku barusan. "Kamu belum bayar kontrakan?" tanyanya kemudian. Aku mengangguk demi untuk menutupi kebohongan. Aldi mengotak-atik ponselnya sebentar, lalu denting notifikasi tiba-tiba masuk ke ponselku. Aku tertegun saat melihat rupanya pemberitahuan jika ada uang masuk ke rekeningku. "Sudah masuk, 'kan? Besok kamu bayarkan," ujar Aldi lagi. Aku tidak bisa berkata-kata. Rasa bersalah tiba-tiba hadir karena telah membohonginya. Bukan hanya bohong, aku bahkan telah menipu dia dengan berbagai cara. "Ma–makasih, Bang." Aku berucap pelan seraya menatapnya nanar. Dia sudah baik sekali padaku, tapi perbuatanku mendzoliminya. Aku jahat telah memanfaatkan kebaikannya demi seseorang yang ingin menghancurkan dia. Tuhan ... aku benar-benar salah. "Jangan ditekuk lagi, do

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 262 memancing Aldi

    "Ya Allah, ya Robb ...." Aku dan Aldi sama-sama kagetnya saat melihat penampakan kaca depan yang sudah pecah berantakan. Tanganku langsung memegang lengan Aldi yang berdiri tak jauh dariku. "Den, ada apa, tad—"Bi Narsih tidak melanjutkan kata-katanya saat melihat apa yang terjadi di ruang tamu. Wanita itu menutup mulut dengan wajah yang sama kagetnya denganku. "Siapa yang melakukan ini?" tanya Aldi seraya berjalan ke arah pintu, lalu keluar dari rumah dan berdiri di teras. Matanya ke sana kemari mencari sekiranya ada orang yang mencurigakan di sini. Saat aku hendak mengikutinya, mataku menangkap benda yang menjadi pemicu pecahnya kaca rumah. Aku berjongkok di samping sofa, memungut batu yang dibungkus kertas putih. [Jangan bermain-main denganku, atau habislah riwayatmu,] bunyi pesan yang tertulis pada kertas tersebut. Cepat-cepat aku melipat kertas itu, lalu memasukkannya ke dalam saku piyama yang aku kenakan. Untung saja, Bi Narsih mengikuti Aldi ke luar. Jadi, dia tidak tahu

Bab terbaru

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 408 Ending season 2

    "Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 407

    Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 406

    Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 405

    Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb

  • Membalas Kesombongan Mantan   404

    Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 403 tidak marah lagi

    "Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 402 gara-gara membahas anak

    Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 401 maaf dan permintaan laki-laki di balik jeruji besi

    "Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 400 menggoda Syafiq

    "Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan

DMCA.com Protection Status