SAAT PENUMPANGKU ADALAH ISTRIKU DAN SELINGKUHANNYA

SAAT PENUMPANGKU ADALAH ISTRIKU DAN SELINGKUHANNYA

last updateLast Updated : 2022-11-13
By:  Ina Shalsabila  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
4 ratings. 4 reviews
29Chapters
4.7Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Saat cinta mematikan logika, aku menganggap Shanti adalah sebaik-baik istri. Tapi, ternyata dia tega berbuat zalim di belakangku. Sepasang penumpang yang memesan taksiku rupanya adalah istriku sendiri bersama dengan selingkuhannya. Aku marah. Marah sekali, merasa terhina dan harga diriku seperti ditelanjangi. Aku merencanakan sesuatu untuk membuat peringatan. Tapi ragu, karena ada hati yang harus dilindungi. Apa yang akan aku katakan pada Fikri, anak semata wayang kami tentang hubungan kami nanti?

View More

Latest chapter

Free Preview

Penghianatan Keji

“Cantik, enggak?”“Cantik.”“Cocok ‘kan, Bang?”“Iya.”“Abang, coba lihat. Pas ke badanku 'kan baju yang kubeli online kemarin?”Shanti berlenggok di depanku, kemudian berpindah ke depan cermin yang ada di kamar kami. Dia memutar badannya beberapa kali guna memamerkan baju baru yang memang cocok sekali di badannya.“Memangnya kamu mau ke mana? Abang baru saja pulang kerja, loh?”“Mau keluar sebentar. Ketemu sama teman-teman. Lagian, Abang kerjanya 'kan cuma duduk sambil nyetir mobil. Gak capek-capek amat 'kan?”“Maunya, ya pas abang di rumah, kamunya juga di rumah.”“Halah cuma sebentar. Nanti semalaman aku temanin. Mau berapa ronde? Mau sampai pagi juga boleh. Sudah ah, temenku sudah menunggu.”Shanti memaksa pergi. Ia meraih tanganku, lalu menciumnya."Abang istirahat saja. Pasti ngantuk habis perjalanan jauh. Persiapkan tenaga untuk nanti malam." Setelah berucap, Shanti benar-benar pergi.Aku hanya bisa menatap punggungnya yang mulai menjauh, lalu menghilang di balik pintu. Seperti

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
Rajiman Anjar Sasmito
bagus bagus ceritanya
2023-07-08 17:21:56
0
user avatar
Yuyun Yuningsih
lanjuttttt
2022-11-14 23:02:54
0
user avatar
Yuyun Yuningsih
di tunggu bab selanjut nya. srmangat authorrr
2022-11-14 22:45:53
0
user avatar
Yuyun Yuningsih
bagus. keren. seru ga berbelit belit ceritanya. peran nya gemesin mantap pokoke.
2022-11-14 16:17:40
0
29 Chapters

Penghianatan Keji

“Cantik, enggak?”“Cantik.”“Cocok ‘kan, Bang?”“Iya.”“Abang, coba lihat. Pas ke badanku 'kan baju yang kubeli online kemarin?”Shanti berlenggok di depanku, kemudian berpindah ke depan cermin yang ada di kamar kami. Dia memutar badannya beberapa kali guna memamerkan baju baru yang memang cocok sekali di badannya.“Memangnya kamu mau ke mana? Abang baru saja pulang kerja, loh?”“Mau keluar sebentar. Ketemu sama teman-teman. Lagian, Abang kerjanya 'kan cuma duduk sambil nyetir mobil. Gak capek-capek amat 'kan?”“Maunya, ya pas abang di rumah, kamunya juga di rumah.”“Halah cuma sebentar. Nanti semalaman aku temanin. Mau berapa ronde? Mau sampai pagi juga boleh. Sudah ah, temenku sudah menunggu.”Shanti memaksa pergi. Ia meraih tanganku, lalu menciumnya."Abang istirahat saja. Pasti ngantuk habis perjalanan jauh. Persiapkan tenaga untuk nanti malam." Setelah berucap, Shanti benar-benar pergi.Aku hanya bisa menatap punggungnya yang mulai menjauh, lalu menghilang di balik pintu. Seperti
Read more

Hancurnya Sebuah Hati

“Shanti!”Dunia seakan berhenti berputar sepersekian detik, sebelum akhirnya kusambardua lembar uang ratusan ribu, lalu buru-buru memalingkan wajah. Pria itu masih melongo.“Kamu mengenalnya, Sayang?” Suara pria itu terdengar. Tak ada jawaban dari Shanti.“Silahkan ke luar. Saya buru-buru harus menjemput pelanggan yang lain,” ucapku beralasan. Sengaja mendahului ucapan mereka sebelum terjadi keributan.“Ayo, Sayang.”Pria itu terlihat menarik tangan Shanti. Setidaknya terlihatdari kaca. Untuk pertama kali melihat benda itu selama perjalanan tadi. Rasanya... entahlah. Aku seperti tidur siang dan berharap terbangun, lalu semua akanmemudar seiring terbukanya mataku. Tapi kenyataannya, aku tetap saja melihatsosok mereka berdua.“Maaf, bisa tinggalkan mobil saya!” pintaku setengahmembentak. "Hei, sabar, dong, Bung!" Dia membalas."Iya, iya, aku turun. Sudah jangan ribut," sahut Shanti.Blem!Ketika pintu sudah tertutup, aku langsung menancapkan gas.Tak menoleh lagi ataupun berusaha tau a
Read more

Mati Rasa

“Kopinya, Bang.”Aku hanya melirik saja ketika secangkir kopi yang masih mengepul terhidang di depanku.Aku yang masih asik berbalas pesan dengan beberapa teman seprofesi, sengaja tak menghiraukan ucapan Shanti. Bahkan, ketika dia pergi dan datang lagi dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya.“Bang, aku masak hari ini. Coba dicicip.”Dia menawarkan.Aku melirik masakannya, terlihat menggiurkan. Tapi, seleraku lenyap seketika saat melihat wajahnya.Tuhan, ampuni aku yang belum bisa memaafkannya.“Abang, gak lapar?”Shanti terus mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan. Membuatku merasa kasihan juga.“Abang cicip, gih.”Sebenarnya, aku tak tega mendiamkan dia seperti ini. Terlebih Shanti sudah berusaha berubah tiga hari terakhir ini. Dia tak lagi ke luar rumah, ke salon atau arisan bersama dengan teman-temannya.Ada perubahan yang baik saat dia tak lagi mengutak-atik ponsel untuk belanja online. Benda yang biasanya tak pernah lepas dari tangannya itu pun hanya tergeletak b
Read more

Luka yang Tak Terobati

“Bang, tunggu dulu! Dengarkan penjelasanku. Itu tadi takseperti pikiran burukmu!”Shanti mengejarku saat aku turun dari mobil. Rupanya, dialangsung naik taksi dan mengejar mobilku saat aku pergi tadi.“Bang Rohan!” panggilnya lagi. Kali ini dia memaksa menghentikanaku dengan cara menarik lengan jaketku.“Dengerin dulu, atau kita akan malu dilihat para tetangga.”Dia menunjuk kontrakan sebelah di mana beberapa orang masih mengobraldi teras.“Malu sama mereka,” ucapnya lagi.“Kamu yang membuat malu. Tingkahmu sudah gak bener,”sahutku.“Iya, Bang. Aku sadar, aku--.”“Sudah-sudah! Gak usah ribut-ribut. Kamu dengar suara azan,enggak?” Aku memotong ucapannya.Suara azan Maghrib yang menggema menjadi pemisah perdebatankami. Aku bergegas masuk, diikuti Shanti yang ternyata masih sesenggukan.Halah, cuma akting!*Aku melepas peci dan meletakkannya di atas meja, usai melaksanakankewajiban tiga rekaat. Kemudian duduk di kursi dekat meja tersebut sambilmengamati seorang yang masih duduk di pingg
Read more

Mawas Diri

Meja yang biasanya hanya berisi satu atau dua lauk saja, kini berubah seperti ala rumah makan. Shanti memasak banyak macam menu akhir-akhir ini.Sebenarnya, bagiku ini sesuatu yang asing, karena biasanya rasa masakan di rumah dengan yang biasa kunikmati di warung makan cenderung sama. Shanti memilih membeli dengan alasan aku lebih sering makan di luar. Jadi, dia pun lebih banyak makan makanan di luar pula. Tidak menyangka juga jika kesempatan itu disalah gunakan sampai terjadi sebuah kesalahan fatal.“Di sana, aku gak pernah makan makanan sebanyak ini.”Tiba-tiba Fikri berkomentar. Ia masih lahap menyantap meskipun sudah masuk piring kedua. Memandangnya seperti itu, aku jadi merasa senang. Setidaknya mengubur sejenak rasa sakit hati.“Makan yang banyak. Besok, ibu akan masak sebanyak ini lagi.” Aku menanggapi.“Nggak usah banyak-banyak. Nanti mubazir kalau gak habis.” Fikri membalas.“Nggak ada yang mubazir di sini, Fikri. Tuh, tetangga kita pun banyak. Nanti setelah ini, biar diberik
Read more

Meninggalkan Kenangan

Mobil melaju dengan kencang. Sepertinya perjalanan kali ini akan cepat sampai tujuan, karena tak ada basa-basi dan perbincangan. Aku dan Shanti sama-sama diam.Satu jam yang lalu, Shanti tersedu seperti menangisi sebuah kematian. Sejak awal memindahkan pakaiannya ke koper, kemudian meninggalkan rumah yang sudah dua tahun kami tempati, dia berhenti menangis.Aku bisa apa? Jika pada kenyataannya dialah penyebab kegagalan ini.Selain hanya diam, tak ada lagi yang bisa kulakukan. Hatiku tidak hanya beku, tapi rasanya sudah mati.Perjalanan yang biasanya penuh tawa pun, berubah bagai mengendarai sebuah ambulans, sepi, sendu dan hanya berisi tangisan di sepanjang perjalanan.Maafkan bapak, Fikri, karena bapak tidak bisa menepati janji.*Shanti terus tertunduk di depan Bapak. Tak terdengar ucapannya, hanya suara tangis yang berusaha dia tahan terdengar perih. Ibu memeluk putrinya, sambil mengelus punggung yang terguncang itu.Kulihat Bapak berkali-kali menghela nafas panjang, lalu mengembus
Read more

Ingin Bangkit, tapi Sulit

Kutingglkan wanita yang dulu sangat dikagumi kecantikannya, sampai harus berdebat bahkan berkelahi untuk merebutkannya.Wanita yang kunikahi karena sebuah kesalahan karena masa lalu.Dulu, dialah wanita tercantik di kampung ini. Putri semata wayang seorang kepala desa, pak Anwar.Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, Shanti, si gadis remaja sering mencuri-curi pandang padaku.Aku dan enam orang lainnya sedang menjalankan tugas sebagai mahasiswa KKN yang ditempatkan di kampung ini. Selama dua bulan lamanya, kami berinteraksi dengan sangat dekat dengan keluarga Shanti. Apalagi kami tinggal di rumah itu.Aku dan Shanti sama-sama di mabuk cinta, sama-sama mengagumi dan sama-sama merasa saling memiliki. Berat rintangan yang harus kulalui untuk bisa menaklukkan hatinya, termasuk harus berebut dan berkelahi dengan dua orang teman lainnya.Akhirnya, aku menenangkan hati Shanti. Cinta yang memabukkan itu membuat kami lupa daratan, hingga kami melakukan hubungan yang dilarang. Namun
Read more

Cari Kerja Baru

“Aku kan sudah punya pekerjaan? Apa kamu mau memecatku?” tanyaku, bingung.“Bo—doh! Pekerjaan lain maksudku. Siapa tau cocok. Kamu gak harus bekerja denganku kalau sudah mendapat pekerjaan yang lebih baik. Buruan!”“Tapi ....”“Halah! Kamu kan sudah gak punya istri. Buat apa menunggurumah yang kosong?”“O-oke. Tunggu sebentar.”Aku bergegas ke dalam. Menyiapkan syarat yang diminta olehRoni, kemudian pergi. Rumah kutingglkan dalam keadaan kosong. Jelas kosong,karena hanya aku satu-satunya penghuni.“Ayo!”Roni terlihat lebih bersemangat dibandingkan denganku.Semenjak aku dan Shanti bertengkar, dialah tempatku mengeluh.“Ke mana, sih?” tanyaku.“Ada kerjaan untuk tenaga ahli komputer di kantor punyatemanku. Kamu bisa melamar ke sana.”“Kenapa nggak ngomong? Lihat penampilanku?”Aku menunjuk tubuh sendiri. Kaos oblong, celana jeanssobek-sobek dan rambut yang acak-acakan.“Gampanglah. Kita ke salon dulu, sekalian mengganti bajugembelmu itu.”“Sialan lo!”“Eh, ngomong-ngomong, aku mau kas
Read more

Pekerjaan Baru

“Dari mana kamu tau?” tanyaku. Sementara Rena malah tersenyum saja. “Roni?” Aku menebak.“Bukan. Aku sering melihat kalian antar jemput anak kalian, kamu dan istrimu. Dia masih cantik ya, walaupun anakmu sudah besar. Salut,”ucapnya.Dia sedang memuji, tapi bagiku terdengar seperti sebuah ejekan. Renatak tau permasalahan kami, itu masalahnya.“Mau, ya? Lagian istrimu pasti setuju.”“Oke,” jawabku cepat, karena tidak ingin Rena terus membahas Shanti.“Kapan aku bisa langsung kerja?”“Sesuka kamu saja kapan mulainya. Setelah kalian pindahan malah lebih baik.”“Oke. Lusa aku mulai kerja.”“Sip. Eh, tapi bukannya kamu harus bicarakan ini dengan istrimu?'“Buat apa? Kan kamu sudah memutuskannya tadi. Penting gitu?”“Kamu tersinggung?”“Enggak sama sekali. Tapi aku memang setuju kok.”“Oke, terima kasih. Sementara bawa saja mobilku. Biar nanti enak datangnya."“Eh, gak usah.”“Gak pa-pa. Aku masih ada mobil yang lain.”Kami mulai memasuki kawasan rumah yang maha luas ini. Memandangnya dengan
Read more

Tentang Rena

“Jadi ... kalian sudah pisah?”Aku menunduk, kali ini sambil menyedot jus jeruk hingga tandas.“Fikri tau?” Rena bertanya lagi.Aku menghela nafas panjang, lalu menggeleng.“Dia pasti bakal syok,” ucap Rena lagi. Dia menyudahi makannyadengan meletakkan sendok, meneguk jusnya lalu mengelap kedua ujung bibir menggunakantisu. Aku memperhatikannya hampir tanpa berkedip. Kebiasaannya saat ini masih samaseperti Rena yang dulu.“Fikri sudah remaja. Dia akan mengerti keadaan bapak danibunya. Walaupun dia akan memberontak. Dan mungkin menyalahkan aku,” ucapku.“Aku turut prihatin,” ucapnya lirih.Aku tidak berani menatapnya saat ini. Aku malu seandainya menyadaridia iba dengan keadaanku.“Biasa saja. Hidup kan memang berproses. Lagi digilir beradadi bawah, ya sabar aja,” balasku pura-pura kuat.“Rohan, Rohan, kamu gak berubah dari dulu. Sok tegar, padahalrapuh.”Sialan. Kenapa tebakan tidak pernah meleset, sih.“Kamu boleh pura-pura tegas, tapi tidak bisa jika di hadapanku.”“Ck, sudahlah, ga
Read more
DMCA.com Protection Status