Jauh bau wangi, dekat bau busuk. Begitulah orang tua menggambarkan tentang hubungan antar keluarga dan saudara. Akan tetapi, tidak berlaku bagi Ita. Jauh, dekat sama saja bau busuk. Hinaan dan cacian dari keluarga suaminya tak lantas membuat Ita terpuruk. Justru itu dijadikan cambukan baginya untuk bangkit. Namun, mampukah Ita bertahan?
View More“Ita! Eh ... eh, apaan ini! Main pakai barang orang sembarangan!” bentak Mbak Lili, seketika aku mengangkat bayi mungilku. Dia membuang air hangat yang ada di bak mandi.
“Maaf Mbak, tadi Kia nangis terus gerah jadi aku mandikan, aku pinjam sebentar saja kok, Mbak,” jawabku terbata, Kia bayiku nangis lagi.
“Enak, aja pinjam! Hidup itu modal, beli sana kalau mau pakai bak buat mandi! Rusak juga kamu enggak bisa ganti!” Mbak Lili membawa masuk bak mandinya ke dalam kamarnya.
Kupakaikan Kia handuk lalu kugendong pakai kain jarik dan kususui. Aku mengambil lagi kayu bakar di belakang rumah untuk memanaskan air lagi. Bayiku harus mandi kalau tidak dia akan rewel sepanjang malam.
Kuhidupkan tungku dengan susah payah karena harus menggendong bayiku. Setelah air hangat-hangat kuku baru kuberi air dingin. Akhirnya aku memandikan Kia dengan menggunakan priuk tempat penanak nasi.
Kupangku Kia lalu kuambil airnya sedikit demi sedikit menggunakan cangkir plastik.
Setelah mandi Kia, langsung tidur. Bayiku ini sungguh pengertian dia belum akan bangun kalau mamanya belum beres mengerjakan pekerjaan dapur.
“Ita, Ibu mau makan oseng kangkung sama sambal ikan asin, kalau aku sama Mas Eko mau makan sop ayam sama sambal kecap. Jangan salah ya!” titah Mbak Lili. Aku mengiyakan saja malas ribut.
Dengan cepat aku selesaikan masakanku karena sebentar lagi juga Maghrib kasihan Kia dia tidak akan ada yang menggendongnya meski azan Maghrib berkumandang. Nenek dan budenya sama sekali tidak peduli.
Selesai memasak perutku keroncongan minta diisi karena aku menyusui maka aku gampang sekali lapar. Kuambil nasi pakai baskom kecil beserta lauknya lalu kubawa masuk ke dalam kamarku.
Kukunci dan aku makan dengan cepat. Hanya dengan cara beginilah aku bisa makan dengan layak. Karena mertua dan iparku pasti hanya akan memberiku sedikit saja makanan mereka bilang aku harus pandai jaga badan setelah melahirkan agar tidak gendut.
Sejak pengantin baru aku memang tinggal bersama mertua dan juga iparku. Mas Danu, suamiku kerja di luar kota akan pulang seminggu sekali. Jika ada suamiku mereka semua baik padaku, tapi jika tidak maka aku akan dijadikan babu oleh mereka.
“Ita! Kami sudah selesai makannya kamu segera bereskan sebentar lagi mertuaku akan ke sini pokoknya aku tidak mau tahu dapur itu harus bersih!” teriak Mbak Lili dari luar. Aku yang di dalam kamar hanya bisa beristighfar dan menangis. Aku tidak punya kekuatan untuk melawan mereka.
Pernah aku izin pada suamiku untuk pulang saja ke rumah orang tuaku, tapi dilarang dengan alasan terlalu jauh dari tempat kerja Mas Danu. Mau ikut suami pun tidak diperbolehkan alasannya Mas Danu masih numpang di kosan teman.
Rumah orang tuaku jauh dari sini, beda kabupaten meski masih sama saja tinggal di kampung.
“Kia, salihanya Mama, yang nyenyak ya, tidurnya Mama mau bantu Nenek dulu,” ucapku pada bayiku, hanya dialah pelipur laraku. Kia seperti mengerti ucapan mamanya dia menggeliat lucu sekali.
Bugh!
Aku meringis kesakitan. Mbak Lili memukulku menggunakan centong nasi tepat di kepalaku.
“Bagus ya, sudah mulai jadi pencuri kamu!” Dia melemparkan baskom plastik kecil yang tadi kupakai untuk makan. Ya Allah, kenapa aku sampai bisa lupa dan kecolongan Mbak Lili masuk ke kamarku.
“Apa ini ribut-ribut! Itu mertuamu sudah sampai Li!” teriak ibu.
“Awas ya, kalau diulangi lagi! Bakalan aku pukul lebih dari ini!” Ancam Mbak Lili. Dia gegas pergi ke depan menyambut mertuanya.
“Jadi mantu enggak becus setiap hari kerjaannya ngajak ribu ipar terus!” cerca ibu. Aku bukan tidak berani melawan ibu mertuaku, tapi aku masih menghormati beliau. Aku ingat pesan orang tuaku untuk tidak melawan mertua jika sudah tidak tahan tinggalkan.
“Buatin kopi sama teh jangan manis-manis buruan!” Kini Mbak Lili sudah ada di dapur lagi, dia membawa oleh-oleh dari mertuanya.
“Senangnya Ibu punya besan seperti mertuamu itu, Li, baik hati, kaya, dan kalau ke sini selalu membawa buah tangan enak-enak dan mahal-mahal,” ucap ibu sambil mencebik diriku. Sudah kutahu maksudnya, beliau hanya ingin membanding-bandingkan mertua Mba Lili dengan ibuku.
“Ini ... Mbak, sudah selesai mau dibawa ke depan atau tidak?”
“Enggak usah biar aku saja!” Mbak Lili merebut teh dan kopi yang ada di nampan yang kubawa.
“Kamu siapkan saja makan malam untuk mertuanya Lili. Ingat ya, cepetan! Jangan lelet keburu lapar,” titah ibu.
“Tapi, Bu ... Aku takut Kia bangun.”
“Kalau bangun ya, digendong. Alasan saja sudah buruan sana!” Ibu mendorongku hingga aku sedikit terjungkal.
Aku memasak oleh-oleh yang dibawa mertuanya Mbak Lili. Sambal sarden, goreng tempe. Kalau di desa menu seperti ini sudah sangat mewah.
Sudah kudengar suara tangisan Kia, dia pasti sudah haus karena sudah tiga jam lebih tidur.
Tergopoh-gopoh aku mengambil Kia dari gendongan ibu, dari tatapannya beliau sangat tidak suka.
Mereka sekeluarga makan bersama, aku ditawari pun tidak. Kutelan kepahitan ini sendiri berharap kelak anak cucuku tidak akan memiliki mertua seperti mertuaku.
HP-ku berdering Mas Danu meneleponku, seperti biasa dia katanya sudah mentransfer sejumlah uang untuk keperluanku juga Kia ke rekening Mbak Lili. Kalau sudah begini aku hanya bisa menangis karena uang itu sudah tentu lenyap diambil mereka.
“Kamu sakitkah, Dik? Suaramu serak begitu,” tanya Mas Danu.
“Iya, Mas, aku sakit. Pulanglah jika masih sayang padaku juga Kia,” jawabku terisak.
“Kenapa bilangnya begitu, Dik? Mas tentu sayang padamu juga anak kita, baiklah Mas akan minta izin jika diizinkan lusa Mas akan pulang,” ujar Mas Danu. Suaranya terdengar sangat khawatir.
“Mas, jangan bilang ke Ibu ataupun Mbak Lili, ya, kalau mau pulang.”
“Loh, kenapa?” tanyanya heran.
“Biar kejutan untuk mereka Mas, sekali-kali enggak apa-apa kan kasih kejutan sama Ibu?” jawabku berbohong. Sebenarnya aku khawatir jika Mas Danu bilang tentu saja mereka akan melarang Mas Danu pulang.
“Oh, kamu Dik, bikin Mas penasaran saja. Ya, Sudah Mas tidak akan bilang,” jawab Mas Danu.
Aku senang semoga dengan Mas Danu pulang diam-diam ibu dan Mbak Lili tidak bermain drama bersikap baik padaku.
“Nduk, boleh Ibu masuk?” Itu suara mertuanya Mbak Lili, gegas kubuka pintu kamarku yang sudah reot ini.
“Silakan, Bu. Mari!" ajakku.
“Ibu ingin melihat anakmu. Syukurlah kalau anakmu sudah enggak nangis lagi?” ucap beliau.
“Alhamdulillah Bu, Kia memang tidak rewel. Kalau nangis pasti karena haus atau buang hajat,” jawabku antusias.
“Bukan itu masalahnya, Nduk. Tadi Ibu enggak sengaja lihat sewaktu anakmu nangis dia dicubit sama Lili, makanya Ibu khawatir,” terangnya.
Aku beristighfar. Tega sekali Mba Lili nyubit Kia yang masih umur 5 bulan. Tadi dia sudah memukulku pakai centong nasi, lalu mencubit Kia yang tidak tahu apa-apa.
Jika begini terus bisakah aku bertahan mengarungi bahtera rumah tangga bersama Mas Danu?
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments