“Kamu kenapa, Nak? Kok diam begitu?” tanya ibu aku sedang bingung karena tidak ada beras sebutir pun untuk dimasak siang ini.Tadi pagi aku dan Mas Danu sarapan pakai nasi sisa kemarin. Sebenarnya masih ada uang sedikit tapi itu untuk jaga-jaga Mas Danu berobat.“Em ... anu aku lagi enggak enak badan Bu, seperti masuk angin,” jawabku berbohong.Ibu mengernyitkan dahinya melihatku aneh.“Oo ... ya sudah kamu istirahat saja sana biar Ibu yang masak,” ucap ibu lagi.“Enggak apa-apa, Bu ini hanya masuk angin biasa nanti juga sembuh kalau dibawa gerak, sudah Ibu di depan saja sama Kia,” tolakku halus. Meski ibu tidak mau aku tetap memaksanya. Aku tidak mau ibu tahu masalahku. Kasihan sudah tua. Nanti aku akan minjam beras dulu di warung semoga saja dikasih.Gegas aku ke warung Wak Haji, di sana kata orang-orang lebih lengkap dan Wak Haji orangnya baik. Aku menunggu deretan ibu-ibu yang sedang berbelanja. Rasanya malu sekali karena ini pertama kalinya aku mau berhutang. Setelah aku menguta
🌸🌸🌸🌸Mas Danu sedang dilatih berjalan oleh bapak di halaman depan, tadi bapak sudah membuatkan tongkat untuk Mas Danu. Aku sedang memakaikan baju Kia, sore ini aku merasa sangat bahagia.“Ibu ini kenapa sekarang setuju hubungan Mbak Ita sama Mas Danu?” ucap Wira. Ibu dan Wira memang masih di dapur. Tadi mereka membantuku mengisi bak mandi.“Sudah jodohnya Mbaku Wir. Ibu tidak mau jadi orang tua jahat yang tidak mau mengerti perasaan anaknya. Mungkin dulu Ibu tidak setuju, tapi setelah tahu semuanya begini dan nasihat-nasihat bapakmu membuat Ibu sadar bahwa selama ini Ibu salah,” jawab ibu.Aku jadi ingat dulu sewaktu meminta restu orang tua. Ibu dan Wira adalah orang-orang yang paling menentang hubunganku dengan Mas Danu. Kata mereka asal-usulnya tidak jelas maka dari itu apa pun yang aku alami tidak pernah sedikit pun mengeluh pada keluarga. Aku takut disuruh pergi meninggalkan Mas Danu oleh mereka. Syukur sekarang ini ibu sudah ikhlas dan merestui hubungan kami.“Aku tetap tida
Sepeninggal ibu mertuaku Wira marah-marah padaku dan terus saja mengomporiku untuk meninggalkan Mas Danu. Aku tahu adikku peduli dan sayang padaku, tapi bukan berarti aku harus meninggalkan Mas Danu.“Wira, Pelankan suaramu. Enggak enak didengar tetangga!” tegur ibu.Wira marah dan seperti biasa dia akan pergi keluar entah ke mana. Adikku itu memang sangat care pada keluarga, tapi sifat temperamentalnya terkadang membuatku jengah.“Gelap banget Mbak, baru juga Maghrib lampu sudah dipadamkan,” gerutu Wira.“Pakai lilin kan, ada. Tadi Ibu sudah beli satu pack,” sahut ibu.“Hari gini masih pakai lilin, semiskin-miskinnya kita enggak pernah kita gelap-gelapan begini,” ujar Wira lagi, kali ini sambil melirikku dan juga Mas Danu.“Besok pasang listrik sendiri aja, Mbak. Susah bener hidup sekali juga.”“Insya Allah. Do’akan saja kami banyak rezeki ya, biar bisa pasang sendiri,” ucap Mas Danu.“Aamiin ....” Aku mengaminkan ucapan Mas Danu begitu pula bapak dan ibu.“Kerja selama ini ke mana
Setelah selesai aku segera pergi ke rumah Wak Tono, di sanalah tempat setor Jimpitannya. Wak Tono ini kakak tertuanya ibu mertuaku maka dari itu semua urusan yang menyangkut keluarga besar beliaulah yang diberi kepercayaan untuk mengembannya.Sampai di sana sudah rame, ada Mbak Asih dan suaminya. Mereka melihatku langsung membuang muka, padahal aku belum sempat menyapa mereka.Tibalah giliranku dipanggil. Aku sedikit gemetaran dan juga takut untuk menemui Wak Tono karena aku hari ini tidak setor dan memutuskan untuk tidak ikut jimpitan lagi.“Baiklah, Danu Pratomo bulan lalu nunggak jadi setorannya Rp.500.000 sudah sama bunganya,” ucap Wak Toni sambil menunjukkan buku catatan.“Ck, itulah yang bikin jimpitan kita enggak maju-maju nunggak-nunggak gitu bayarnya,” cicit Mbak Asih di belakangku diiyakan keluarga yang lain.“Em ... begini Wak, aku mewakili Mas Danu ingin mengambil uang jimpitan kami yang 35% dan juga untuk menyampaikan bahwa kami tidak melanjutkan lagi jimpitan keluarga. K
#Sebelumnya terima kasih banyak semuanya atas apresiasinya 🙏😘. Maaf kalau diksinya sederhana memang aku mengambil tema-tema harian yang memakai bahasa sederhana.Happy reading everyone ❤️ Bantu follow akunku, subs semua cerbungku ....🌸🌸🌸Di rumah masih ada stok beras dan juga sarden masih cukup untuk makan dua hari, tapi uang sudah semakin menipis tidak akan cukup apa lagi Mas Danu sakit.Kulihat di pematang sawah ada kangkung yang tumbuh subur, tapi tidak diambil oleh yang punya mungkin jika aku beli sedikit saja boleh, lumayan untuk lauk besok.“Permisi, Bulek. Apa boleh aku beli kangkung itu lima ribu rupiah saja?” tanyaku pada ibu-ibu yang sedang menyiangi rumput di antara sela-sela tanaman padinya.“Boleh, Nak. Ambil saja enggak usah beli. Itu banyak banget enggak ada yang mau sudah Bulek tawar-tawarin ke orang,” jawabnya ramah.“Benarkah? Alhamdulillah,” ucapku senang.“Iya, Nak. Ambil saja yang muda-muda itu kamu bawa pulang dijual juga boleh. Dulu Bulek rajin ngambil dan
“Boleh, tentu saja boleh. Besok tiga hari lagi ke sini pasti itu sudah tunas lagi.”“Alhamdulillah, Bulek terima kasih banyak, ya,” ucapku penuh haru. Beliau hanya mengangguk saja dan mengelus-elus bahuku.Di pertigaan jalan perbatasan jalan kami berpisah. Bulek Minah masih metapku hingga aku belok ke arah jalan rumahku. Alhamdulillah meski aku sangat lelah, tapi aku senang semoga saja habis dan berkah jadi cukup untuk kebutuhan kami.“Kamu bawa apa, Dik?” tanya Mas Danu heran rupanya dia sudah pulang.“Kangkung, Mas. Besok aku mau jualan kangkung. Ini tadi aku dapat ngambil dari sawah Bulek Minah, orangnya baik sekali,” jawabku sumringah.Mas Danu tidak menanggapi celotehanku, dia langsung masuk ke dalam. Aku yang bingung langsung memasukkan sepeda dari pintu belakang. Lalu memasak air hangat untuk mandi Kia.“Mas ... apa kamu marah padaku?” Kuhampiri suamiku. Mas Danu hanya menggeleng.“Mas, bukan marah, tapi merasa sangat malu. Kamu berjuang sendiri sampai nekat mau jual kangkung m
#Bantu follow akunku ya, Guys ....🌸🌸🌸Dinginnya udara pagi tidak menyurutkanku untuk mengais rezeki. Setelah salat subuh tadi aku langsung bergegas menggowes sepedaku menuju pasar yang jaraknya lumayan jauh dari rumahku. Dengan tekat kuat kuniatkan mencari rezeki membantu suami Alhamdulillah di perjalanan lancar.Sampai pasar sudah ramai aku segera menggelar daganganku berjejer dengan para penjual lain. Mereka bilang kalau mau dagang harus datang jam 4 subuh jadi kalau baru menggelar dagangan sekarang aku kesiangan.Kutawarkan kangkung pada setiap pengunjung yang berlalu lalang di depan lapakku. Alhamdulillah satu per satu laku terakhir ada juragan yang memborong katanya untuk makan ikan di empangnya. Juragan itu juga memesan lagi besok aku diberi alamat untuk mengantarkan ke rumahnya.Pasar semakin ramai kepalaku pusing sekali sepertinya efek belum sarapan. Aku hanya minum air putih saja dari tadi. Alhamdulillah 100 ikat kangkung habis dalam waktu 3 jam. Aku beberes tempat dan be
“Tidak ada Mbak, sudah habis untuk beli kebutuhan dapur,” jawabku jujur.“Halah, bohong aja mana sini dompetmu!” Mbak Lili merebut paksa dompetku yang aku letakkan di dekat belanjaan. Uangku sisa Rp. 50.000 dan itu diambil semua oleh Mbak Lili.Mas Danu terlihat sangat marah dan geram atas perbuatan Mbaknya, tapi karena kakinya sakit dia tidak bisa berbuat banyak.“Demi apa pun aku tidak ikhlas uangku kamu ambil, Mbak,” kataku terisak.“Halah, lebai hanya uang segini saja enggak ikhlas! Apa kamu lupa selama ini menumpang hidup di mana?” jawabnya tanpa rasa bersalah sama sekali.“Kembalikan uang Ita, Mbak, atau aku tidak akan pernah lagi mau menganggap Mbak sebagai saudariku," teriak Mas Danu.“Ha-ha ... kamu itu lucu Danu. Orang miskin seperti kalian itu enggak anggap aku saudara pun tidak masalah. Masih banyak saudaraku yang lebih bermanfaat dan menguntungkan enggak seperti kalian! Ah, sudahlah aku sibuk.” Mbak Lili pulang dengan penuh kemenangan.“Itu uang belanjaku Mas, rencananya
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop