#Bantu follow akunku ya, Guys ....🌸🌸🌸Dinginnya udara pagi tidak menyurutkanku untuk mengais rezeki. Setelah salat subuh tadi aku langsung bergegas menggowes sepedaku menuju pasar yang jaraknya lumayan jauh dari rumahku. Dengan tekat kuat kuniatkan mencari rezeki membantu suami Alhamdulillah di perjalanan lancar.Sampai pasar sudah ramai aku segera menggelar daganganku berjejer dengan para penjual lain. Mereka bilang kalau mau dagang harus datang jam 4 subuh jadi kalau baru menggelar dagangan sekarang aku kesiangan.Kutawarkan kangkung pada setiap pengunjung yang berlalu lalang di depan lapakku. Alhamdulillah satu per satu laku terakhir ada juragan yang memborong katanya untuk makan ikan di empangnya. Juragan itu juga memesan lagi besok aku diberi alamat untuk mengantarkan ke rumahnya.Pasar semakin ramai kepalaku pusing sekali sepertinya efek belum sarapan. Aku hanya minum air putih saja dari tadi. Alhamdulillah 100 ikat kangkung habis dalam waktu 3 jam. Aku beberes tempat dan be
“Tidak ada Mbak, sudah habis untuk beli kebutuhan dapur,” jawabku jujur.“Halah, bohong aja mana sini dompetmu!” Mbak Lili merebut paksa dompetku yang aku letakkan di dekat belanjaan. Uangku sisa Rp. 50.000 dan itu diambil semua oleh Mbak Lili.Mas Danu terlihat sangat marah dan geram atas perbuatan Mbaknya, tapi karena kakinya sakit dia tidak bisa berbuat banyak.“Demi apa pun aku tidak ikhlas uangku kamu ambil, Mbak,” kataku terisak.“Halah, lebai hanya uang segini saja enggak ikhlas! Apa kamu lupa selama ini menumpang hidup di mana?” jawabnya tanpa rasa bersalah sama sekali.“Kembalikan uang Ita, Mbak, atau aku tidak akan pernah lagi mau menganggap Mbak sebagai saudariku," teriak Mas Danu.“Ha-ha ... kamu itu lucu Danu. Orang miskin seperti kalian itu enggak anggap aku saudara pun tidak masalah. Masih banyak saudaraku yang lebih bermanfaat dan menguntungkan enggak seperti kalian! Ah, sudahlah aku sibuk.” Mbak Lili pulang dengan penuh kemenangan.“Itu uang belanjaku Mas, rencananya
“Mas Eko ....” tegurku. Ajaib wanita hamil bersama Mas Eko ini langsung pasang badan dan menatapku dari atas sampai bawah.“Eh ... em—anu kenalin, Ta, ini Desi," ucap Mas Eko memperkenalkan wanita yang bersamanya. Aku senyum saja, jujur meski Mbak Lili sangat jahat padaku, tapi aku tidak membenarkan tindakan Mas Eko yang menikah lagi tanpa sepengetahuan kami semua.“Desi ... kenalin ini Ita, Adik iparku,” kata Mas Eko lagi. Wanita bernama Desi itu tersenyum padaku dan menyalamiku.“Kamu jangan salah paham ya, Ta. Desi ini teman lamaku kami kebetulan bertemu ....” Astaghfirullah aku sudah su’uzhon pada Mas Eko ternyata mereka hanya teman lama.“Eh, iya, Mas ....”“Mantan pacar, lebih tepatnya aku mantan pacar Mas Eko, dan kami sengaja bertemu sedang proses menuju halal,” sahut Desi. Mereka berdua saling lempar pandangan Mas Eko seperti tidak suka dengan kejujuran Desi dan yang lebih mengagetkanku lagi ternyata Desi ini cukup berani.“Oh ... iya, Mbak Desi. Permisi ... aku mau belanja.”
“Kenapa? Bener, kan?”“Iya, Mbak,”“Maka dari itu jangan lagi kamu suruh-suruh aku dagang beginian.” Mbak Lili pergi membawa kembali daun singkong yang sudah dengan susah payah dipetiknya.Jam 02.30 WIB aku sudah bangun untuk membuat adonan donat. Sambil menunggu adonan mengembang aku salat tahajud dua rakaat. Kupandangi wajah kekasihku banyak guratan kesedihan di sana, wajahnya yang tampan kini semakin terlihat lebih tua dari umurnya. Kakinya yang terluka agak bengkok sedikit mangkinkah nantinya akan bisa berjalan normal lagi. Jika tidak sungguh kasihan suamiku akan cacat seumur hidup.Wahai Zat pemilik jiwa ragaku tak banyak pintaku, cukupkan rezeki kami, lapangkan sabar kami, dan jadikan kami orang-orang yang pandai bersyukur dalam keadaan apa pun.Jam 6 pagi aku mulai berkeliling kampung menjajakan donat perdanaku. Aku berharap donatnya habis karena hari ini Mas Danu harus ke sangkal putung lagi. Saat melewati rumah Mbak Desi lagi-lagi aku melihat Mas Eko baru ke luar dari rumahn
“Enak aja enggak bisa gitu dong, Li! Ini rumah bagianku sebagai anak tertua, kamu anak bungsu bagiannya tanah di gunung itu sekaligus mengurus Ibu!” Aku yang sedang menimba air di belakang rumah Ibu kaget mendengar teriakan Mbak Asih.“Itu namanya enggak adil, Mbak. Selama ini aku sudah mengurus Ibu apa mata kamu buta? Dan tentang warisan ini tentunya bagi rata. Kalau Mbak enggak setuju bagi rata kita pakai pengadilan aja!” teriak Mbak Lili tidak mau kalah.Aku mengelus dada mereka hanya dua bersaudara, tapi masih saja ribut soal warisan dari dulu pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah ibu.Hening tidak terdengar teriakan dari mereka berdua mungkin ibu sedang menasihati mereka. Bak mandiku sudah penuh, aku berganti mencuci piring dan baju. Pagi tadi aku tidak sempat makanya siang beginilah saat Kia tidur aku baru bisa beres-beres rumah.Prang!Aku terlonjak kaget mendengar suara rantang dibanting dari rumah ibu disusul benda-benda lain yang saling bersahutan juga tangisan dari i
“Maaf Mbak, itu bukan tugasku. Lagi pula di rumah ini, kan ada sanyo ngapain Mbak nyuruh-nyurah aku. Kalau dulu aku masih tinggal di sini tidak apa-apa itu sebagai baktiku pada Ibu, tapi kalau sekarang jangan harap lagi aku mau,” tegasku. Mbak Lili melongo mendengar penuturanku. Dia hendak marah lagi, tapi aku buru-buru masuk rumah dan menutup pintu dapurku sedikit kuat biar mereka tahu aku pun bisa marah sama seperti mereka.“Kenapa, Dik?”“Itu Mas, Mbak-Mbak kamu seenak sendiri seperti ratu memerintahkan tugas pada dayangnya aku disuruh mereka menuhin semua bak dan ember di kamar mandi Ibu, memang dikira mereka enggak capek," aduku pada Mas Danu.“Syukurlah kalau kamu tegas pada mereka, Dik. Mas pun tidak mau mereka semena-mena padamu, karena saat ini Mas tidak bisa membelamu lebih dengan kondisi Mas yang begini,” ucap Mas Danu. Ah, kenapa aku jadi melow begini aku paling tidak bisa melihat suamiku bersedih.“Ssstt ... Mas jangan bilang begitu lagi ya, aku sebenarnya mau-mau saja me
🌸🌸🌸“Maaf juragan, kangkungnya belum ada, kata yang punya sawah tiga hari baru numbuh lagi tunasnya,” jawabku.“Memang itu kangkung bukan milik kamu?”“Bukan juragan, kami dapat dari ngambil di sawah tetangga,” jawabku tanpa melihat ke wajah juragan ikan. Entah kenapa aku merasa tidak enak hati.“Oh, ya, sudah tidak apa-apa, besok kalau sudah ada biar anak buah saya yang ke sini. Ini kamu mau ke mana?”“Oh, ini mau ke warung Wak Haji mau belanja bahan kue untuk jualan besok."“Jadi, selain jualan kangkung kamu juga jualan kue?” tanyanya.“Iya, benar juragan.”“Kue apa yang kamu jual?”“Donat dan bolu sarang semut.”“Hem, sepertinya enak. Kalau begitu saya mau pesan donatnya 100 biji sama bolu sarang semut ya 5 loyang, besok pagi jam 10 anak buah saya yang ambil ke sini.” Aku kaget mendengar pesanan Juragan Ikan. Aku sangat bahagia dan terharu.“Apa juragan? Sebanyak itu?” tanyaku tak percaya.“Iya, besok di rumahku akan ada pengajian anak-anak yatim-piatu jadi perlu kue banyak, ka
“Kenapa, Nak Ita, kok malah nangis? Kalau belum punya uang cukup enggak apa-apa kalau belum nyicil hutangnya. Wak, percaya sama kamu pasti kamu amanah orangnya,” tuturnya lagi.Kumenghirup udara sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya perlahan. Aku mencoba membuang rasa sesak di dada.“Bukan itu, Wak. Aku sedang sedih aja, kenapa orang-orang terdekatku sangat membenciku padahal meskipun aku miskin aku tidak merepotkan mereka apa lagi meminta-minta pada mereka.”“Sabar, Nak. Namanya kembang hidup. Kalau tidak ada cobaan nanti kita tidak dewasa dan bijak menyikapi permasalahan kita ataupun menyikapi orang lain.”“Tapi, sampai kapan, Wak. Rasanya aku benar-benar hilang kesabaran ingin sekali aku menyantet mereka aja,” kataku frustasi.“Astagfirullah, nyebut, Nak. Enggak baik ah, ngomong begitu . Wak, percaya kalau kamu wanita kuat dan Sabar makanya hanya kamu yang dikasih ujian begini. Sabar, ya Nak.” Wak Haji mengelus-elus bahuku. Mentransfer kekutan.“Cerita ke Wak, ada apa sebenarny
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop