🌸🌸🌸“Maaf juragan, kangkungnya belum ada, kata yang punya sawah tiga hari baru numbuh lagi tunasnya,” jawabku.“Memang itu kangkung bukan milik kamu?”“Bukan juragan, kami dapat dari ngambil di sawah tetangga,” jawabku tanpa melihat ke wajah juragan ikan. Entah kenapa aku merasa tidak enak hati.“Oh, ya, sudah tidak apa-apa, besok kalau sudah ada biar anak buah saya yang ke sini. Ini kamu mau ke mana?”“Oh, ini mau ke warung Wak Haji mau belanja bahan kue untuk jualan besok."“Jadi, selain jualan kangkung kamu juga jualan kue?” tanyanya.“Iya, benar juragan.”“Kue apa yang kamu jual?”“Donat dan bolu sarang semut.”“Hem, sepertinya enak. Kalau begitu saya mau pesan donatnya 100 biji sama bolu sarang semut ya 5 loyang, besok pagi jam 10 anak buah saya yang ambil ke sini.” Aku kaget mendengar pesanan Juragan Ikan. Aku sangat bahagia dan terharu.“Apa juragan? Sebanyak itu?” tanyaku tak percaya.“Iya, besok di rumahku akan ada pengajian anak-anak yatim-piatu jadi perlu kue banyak, ka
“Kenapa, Nak Ita, kok malah nangis? Kalau belum punya uang cukup enggak apa-apa kalau belum nyicil hutangnya. Wak, percaya sama kamu pasti kamu amanah orangnya,” tuturnya lagi.Kumenghirup udara sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya perlahan. Aku mencoba membuang rasa sesak di dada.“Bukan itu, Wak. Aku sedang sedih aja, kenapa orang-orang terdekatku sangat membenciku padahal meskipun aku miskin aku tidak merepotkan mereka apa lagi meminta-minta pada mereka.”“Sabar, Nak. Namanya kembang hidup. Kalau tidak ada cobaan nanti kita tidak dewasa dan bijak menyikapi permasalahan kita ataupun menyikapi orang lain.”“Tapi, sampai kapan, Wak. Rasanya aku benar-benar hilang kesabaran ingin sekali aku menyantet mereka aja,” kataku frustasi.“Astagfirullah, nyebut, Nak. Enggak baik ah, ngomong begitu . Wak, percaya kalau kamu wanita kuat dan Sabar makanya hanya kamu yang dikasih ujian begini. Sabar, ya Nak.” Wak Haji mengelus-elus bahuku. Mentransfer kekutan.“Cerita ke Wak, ada apa sebenarny
Aku cukup lama berdiri di jalan depan rumah Mbak Desi. Anak remaja yang kutanya tadi sudah pergi begitu saja padahal aku belum selesai bertanya. Seorang ibu keluar lagi membawa besek ini kesempatanku untuk bertanya.“Ibu, permisi apa acara di dalam sudah selesai?" tanyaku sedikit keki.“Alhamdulillah, sudah Mbak. Acaranya kan, memang dari tadi pagi dan Alhamdulillah berjalan lancar. Ada apa ya, Mbak?”“Em ... a—ku. Maksudnya acara apa ya, Bu?” kataku enggak jelas. Duh, jadi salah tingkah gini. Ibu itu melihatku curiga kemudian tersenyum lebar.“Jadi, ini acara aqiqah anak Mbak Desi dan sekaligus nikahan dia.”“Memang Mbak Desi kapan melahirkannya kemarin kami bertemu masih hamil.”“Kemarin sore lahirannya di Bidan Tuti. Gangsar gitu bayinya pinter. Eh, dia itu kan, enggk punya suami alias hamil di luar nikah. Terus pagi tadi langsung aqiqahan anaknya nah, siang tadi sehabis Zuhur sekaligus nikahan,” terang ibu ini. Duh, sepertinya aku salah orang untuk bertanya sepertinya ibu ini suka
Kutarik nafas panjang menghirup udara sebanyak-banyaknya. Aku seperti habis lari kiloan meter nafasku tersengal-sengal, capek sekali dari tadi berontak, tapi tidak dihiraukan.“Duh, kan bayinya nangis. Kalian si, bar-bar.”“Eh, iya. Maaf ya, Mbak.” Aku kewalahan menenangkan Kia.“Sini Mbak, duduk dulu.” Aku dibawa ke teras rumah tetangga Mbak Desi. Rumahnya tepat di samping rumah Mbak Desi hanya berjarak lima langkah.Kususui Kia, dia lahap sekali minumnya. Aku duduk dikelilingi ibu-ibu kepo ini kuhitung jumlahnya ada lima orang pantas saja aku tidak bisa mengalahkan tenaga mereka.Kuperhatikan rumah Mbak Desi masih ramai orang, tapi di dalam. Terdengar riuh suasana bahagia tampak terlihat. Mereka memutar musik dengan suara keras pantas saja tidak mendengar keributan di luar. Kalau dengar sudah pasti Mas Eko menghampiriku.“Mbak, enggak usah tengok-tengok begitu. Mending langsung masuk aja, yuk! Kami temani,” ucap ibu yang tadi aku tanyai.Aku diam saja masih bingung haruskah aku masu
🌸🌸🌸“Suamimu itu ke mana, Li. Jarang sekali pulang ini sudah dua hari malah enggak pulang, gimana kamu mau punya anak kalau ditinggal-tinggal terus begitu?” ucap ibu mertuaku. Aku sedang mandi sore jadi dengar obrolan mereka.“Kerjalah, Bu. Tadi pagi aku sudah ditransfer sama Mas Eko banyak nanti aku mau beli perhiasan,” jawab Mbak Lili terdengar sangat senang.Aku jadi kasihan padanya apa aku jujur saja perihal pernikahan Mas Eko, tapi apa mereka akan percaya padaku.“Ibu, kalau anak menantu lagi kerja itu enggak usah ditanyain terus. Beruntung loh, Lili dapat suami pekerja keras dari pada anak Ibu itu si Danu udah pengangguran sekarang cacat pula,” sahut Mbak Asih.“Ibu punya firasat yang tidak enak.”“Itu Cuma perasaan Ibu aja lagi pula nih, si Lili itu cantik Bu sedang Eko jelek mana mungkin dia mau macam-macam,” kata Mbak Asih lagi.“Duh, Ibu, aku juga jadi merasa tidak enak ini,” sahut Mbak Lili.“Nah, kan, udahlah kalian ini enggak usah neting mulu, mending besok kita shoppi
“Semoga, ya, Dik. Allah beri kita rezeki banyak biar bisa pasang listrik jadi kamu dan juga Kia enggak kegelapan gini.”“Aamiin, Mas, semoga Allah SWT kabulkan do’a kita.”“Gimana kakinya apa sudah banyak perubahan, Mas?”“Alhamdulillah, Dik. Sudah semakin enteng untuk digerakkan. Lihatlah Mas, jalannya sudah semakin lancar, kan?” jawab Mas Danu bahagia dia mempraktikkan jalannya di depanku.Aku tak kuasa menahan haru, kupeluk dan kucium suamiku semoga saja Mas Danu cepat sembuh dengan begitu semoga kehidupan kami berubah jadi lebih baik.“Oh, iya, Mas, duduk sini ada yang ingin aku sampaikan,” kataku sedikit berbisik takut ada yang dengar.“Kamu lucu sekali, kenapa harus bisik-bisik begitu?” Mas Danu menjawil hidungku kemudian duduk di dekatku.“Aku bingung musti dari mana ngomongnya.”“Lah, tinggal ngomong aja, Mas siap jadi pendengar setia.”“Itu em ... Mas Eko tadi— itu, anu ... Mas Eko tadi sudah melangsungkan pernikahan sirinya dengan wanita yang aku ceritakan kemarin, Mas,” kat
🌸🌸🌸“Mas, kamu mau apa? Sudah tidak perlu diladeni orang miskin ini ayo, lebih baik kita cepat berangkat nanti keburu siang!” ajak Mbak Asih saat Mas Roni mau menghampiriku dengan kepalan tangan seperti hendak meninjuku.Aku pun gegas meninggalkan mereka berdua aku takut mereka khilaf dan mencelakaiku.Aku bergidik ngeri membayangkan mereka berbuat nekat ini masih pagi tidak akan ada yang menolongku apa lagi lewat kebun sawit begini.Meskipun aku besar dan dilahirkan dari keluarga miskin, tidak lantas kami mencelakai dan merugikan saudara kandung sendiri. Ibu dan bapak justru mengajarkan kami untuk saling welas asih.Ini berbeda sekali dengan keluarga suamiku walaupun bukan saudara kandung, tapi mereka dibesarkan bersama dalam satu asuhan apa lagi Mas Danu itu sangat sayang pada ke dua kakaknya dan juga pekerja keras.Sibuk dengan pikiranku sendiri tidak terasa sudah sampai warung Wak Haji. Alhamdulillah Wak Haji membayar kueku dulu padahal aku tidak memintanya dan takut tidak hab
“Dik, jangan bengong gitu, ini sarapannya tadi Mas masak telur dadar.” Mas Danu menyuapiku makan karena aku sedang menyusui Kia jadi tidak bisa makan sendiri.“Terima kasih banyak ya, Dik, kamu mau bantuin Mas dan menggantikan posisi Mas sementara waktu ini,” ucap Mas Danu sedih.“Iya, Mas. Aku senang bisa bantu dan aku bahagia semoga kesusahan kita tidak berlarut-larut ya, Mas.”“Maafkan suamimu ini ya, Dik, tidak bisa berbuat banyak dan tidak bisa membahagiakanmu.”“Mas, sudah jangan bilang seperti itu terus aku jadi sedih. Mas, makan juga gih, pasti belum makan karena nungguin aku, kan?” Mas Danu tersenyum lalu memasukkan nasi ke mulutnya.Terima kasih Tuhan meski kami hidup serba dalam keterbatasan, tapi hati ini bahagia karena Engkau beri pasangan hidup yang tulus menyayangiku.“Heh, Ita! Kembalikan uangku!”teriak Mbak Lili tiba-tiba lalu merampas tasku yang tadi kugeletakkan begitu saja di tikar.“Mbak, jangan asal nuduh istriku bukan pencuri!” bela Mas Danu dia kesusahan mengam
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop