🌸🌸🌸“Mas, kamu mau apa? Sudah tidak perlu diladeni orang miskin ini ayo, lebih baik kita cepat berangkat nanti keburu siang!” ajak Mbak Asih saat Mas Roni mau menghampiriku dengan kepalan tangan seperti hendak meninjuku.Aku pun gegas meninggalkan mereka berdua aku takut mereka khilaf dan mencelakaiku.Aku bergidik ngeri membayangkan mereka berbuat nekat ini masih pagi tidak akan ada yang menolongku apa lagi lewat kebun sawit begini.Meskipun aku besar dan dilahirkan dari keluarga miskin, tidak lantas kami mencelakai dan merugikan saudara kandung sendiri. Ibu dan bapak justru mengajarkan kami untuk saling welas asih.Ini berbeda sekali dengan keluarga suamiku walaupun bukan saudara kandung, tapi mereka dibesarkan bersama dalam satu asuhan apa lagi Mas Danu itu sangat sayang pada ke dua kakaknya dan juga pekerja keras.Sibuk dengan pikiranku sendiri tidak terasa sudah sampai warung Wak Haji. Alhamdulillah Wak Haji membayar kueku dulu padahal aku tidak memintanya dan takut tidak hab
“Dik, jangan bengong gitu, ini sarapannya tadi Mas masak telur dadar.” Mas Danu menyuapiku makan karena aku sedang menyusui Kia jadi tidak bisa makan sendiri.“Terima kasih banyak ya, Dik, kamu mau bantuin Mas dan menggantikan posisi Mas sementara waktu ini,” ucap Mas Danu sedih.“Iya, Mas. Aku senang bisa bantu dan aku bahagia semoga kesusahan kita tidak berlarut-larut ya, Mas.”“Maafkan suamimu ini ya, Dik, tidak bisa berbuat banyak dan tidak bisa membahagiakanmu.”“Mas, sudah jangan bilang seperti itu terus aku jadi sedih. Mas, makan juga gih, pasti belum makan karena nungguin aku, kan?” Mas Danu tersenyum lalu memasukkan nasi ke mulutnya.Terima kasih Tuhan meski kami hidup serba dalam keterbatasan, tapi hati ini bahagia karena Engkau beri pasangan hidup yang tulus menyayangiku.“Heh, Ita! Kembalikan uangku!”teriak Mbak Lili tiba-tiba lalu merampas tasku yang tadi kugeletakkan begitu saja di tikar.“Mbak, jangan asal nuduh istriku bukan pencuri!” bela Mas Danu dia kesusahan mengam
POV Mbak Lili.Assalamualaikum selamat pagi semuanya. Terima kasih atas supportnya sampai sejauh ini. Yuk bantu follow akunku biar aku makin semangat update.🌸🌸🌸"Kamu sudah yakin, Dan, dengan keputusanmu?" Itu suara ibu yang sedang ngobrol dengan Mas Danu."Yakin, Bu. kami sudah sama-sama dewasa dan siap berumah tangga."Apa? Danu mau menikah? Samar aku mendengar obrolan Danu dan juga ibu. Aku sendiri sudah berada di kamar hendak tidur karena sudah larut malam. Tadi sewaktu kami sedang berkumpul kenapa Danu tidak mengatakan niatnya itu apa dia malu.“Calonmu orang mana, Dan?” tanya ibu.“Orang kabupaten Permai Menawan, Bu.”“Cantik atau tidak? Kamu kan, ganteng Ibu enggak mau kalau punya calon menantu jelek,” tanya ibu, aku cekikikan mendengar penuturan ibu.“Insya Allah cantik hatinya, Bu,” jawab Danu. Kalau sudah begitu aku yakin calon istrinya Danu wajahnya dibawah rata-rata.“Kaya?” Kali ini aku dengar suara ibu dari dapur beliau sedikit berteriak.“Biasa saja, Bu,” jawab Dan
POV Mbak Lili.“Ah, Mbak Lili ini bisa aja. Ayo, Mbak, sarapan nanti kita telat!” ajak Danu. Kami memang sedang sarapan. Danu mau berangkat ke bengkel di kabupaten sebelah sekaligus mengantarkan aku ke tempat kerjaku di pusat kota. Aku tadi memaksanya untuk mengantarkanku. Sebenarnya ada Mas Eko, tapi sedang ogah sama dia.Aku dan Mas Eko bertemu di bus saat perjalanan pulang. Dari sana kamu mulai pendekatan dan akhirnya jadian. Aku tidak suka sama Mas Eko, tapi karena dia kaya aku mau-mau saja dijadikan pacarnya. Orang tuanya juga baik.Dulu aku jarang sekali pulang, tapi karena Mas Eko punya mobil dan sering ke kosan aku jadi hampir tiap hari pulang. Lumayan enak naik mobi tidak kepanasan dan juga tidak kehujanan.Setelah berpamitan pada ibu kami meluncur berangkat. Di jalan aku memeluk Danu erat-erat Jika Danu hendak melepaskan pelukanku maka aku beralasan takut jatuh. Jalan di kampung kami memang sangat jelek, tapi tidak mengapa ini sangat menguntungkanku.“Danu, kamu beneran mau
POV Lili.🌸🌸🌸“Ibu, kenalkan ini Ita, calon istriku.” Aku yang masih di kamar teleponan dengan Mas Eko kaget, itu Danu kapan pulang dia bawa pacarnya? Kumatikan telepon dan bersiap-siap menyambut Danu. Aku dandan secantik mungkin agar terlihat menarik. Pasti pacar Danu jelek dan kampungan dengan aku dandan begini dia akan minder dan pergi ninggalin Danu.Kuhiraukan telepon yang terus saja berdering panggilan masuk dari Mas Eko dia pasti kaget aku matikan telepon begitu saja. Danu lebih penting dari dia. Aku harus mendapatkan hati Danu.Kulihat ibu sedang menyiapkan air minum di dapur. Baik sekali ibuku ini. Ngabisin gula aja.“Bu, biar aku aja yang buat minumnya, Ibu ke depan aja sana.”“Iya, sekalian ya, kue itu kamu taruh di piring sudah ibu potong-potong, buahnya juga, ya?” titah ibu.“Bu, ini makanan yang bawa Danu?” tanyaku heran karena ini lebih mirip seperti orang hajatan ada tiga paper bag isinya aneka kue kering, empat loyang bolu yang sangat menggoda selera, dan juga dua
POV Lili.“Terima kasih, ya. Siapa tadi namamu?”“Ita, Mbak.” Duh, suaranya lembut banget lagi. Nemu di mana sih, Danu barang begini.“Gimana Mbak, udah enakan?” tanya Danu.“Belum, lah, Dan. Memang iklan obat begitu diminum langsung sembuh?” jawabku kesal. Baru saja minum semenit yang lalu sudah ditanya sembuh apa belum dasar tidak peka!Mendengar ucapanku Danu dan pacarnya tertawa, ibu juga ikutan tertawa. Memang aku pelawak apa yang ngasih hiburan gratis.“Danu, pacarmu ini kerja di mana?” tanya ibu. Bagus ibu bertanya begitu pasti ini cewek kerjanya di ladang dia, kan dari udik.“Biar Ita saja yang jawab, Bu.”“Aku kerja di toko kue, Bu,” jawab pacar Danu. Santun sekali ini orang.Kerja di toko kue saja bangga. Aku dong, kerja di minimarket Indoapril gaji UMR pasti dia gajinya kecil. Pantas saja dia pandai buat kue.“Kalau orang tuamu kerja apa, Ta?” tanya ibu lagi. Sebenarnya aku ingin sekali bertanya, tapi kepalaku tidak bisa diajak kompromi.“Bapak dan Ibu kerja di ladang dan s
“Iya, benar Bu, jadi kami memang tidak mau merepotkan keluarga,” jawab Danu, dia menatap mesra pada Ita. Tolong! Hatiku panas terbakar api cemburu.“Sykurlah kalau begitu. Oh, iya, silakan diminum tehnya ini yang buat Lili katanya spesial untuk Danu dan calon istrinya.” Duh, ibu kenapa bilang begitu si, ibu sepertinya berpihak pada mereka berdua dari tadi iya-iya saja.“Uhuk!” Pacar Danu terbatuk. Gimana teh buatanku spesial kan, jelas dong, karena rasanya asin. Tadi aku sengaja pakai garam untuk teh pacarnya Danu.“Kenapa, Dik?” tanya Danu khawatir. Dasar lebai. Sebelum menjawab pertanyaan Danu Ita melirikku aku balik melototi dia. Awas saja kalau ngadu.“Em ... enggak apa-apa, Mas, tadi aku keselek aja,” jawabnya. Bagus dah dia nurut. Sepertinya memang ini perempuan tipe orang yang penurut jadi seleranya Danu begini wanita yang penurut.Obat yang diberikan oleh pacarnya Danu sepertinya membuatku ngantuk, mataku berat sekali susah diajak melek.Aku terbangun sudah malam, Danu dan pac
POV Lili.Pengantin baru itu terus saja bermesraan. Cih, lebai udah kayak dunia milik berdua saja. Menyebalkan. Bikin tensiku terus saja naik.Aku tidak bisa berbuat lebih karena takut Danu marah padaku.Meski mereka berangkat kerja bareng naik motor, tapi terlihat bahagia. Beda denganku yang naik mobil di dalam hatiku nyesek. Aku cemburu tingkat dewa.Seperti pagi ini dia menimba air berdua dengan Ita, padahal aku sudah sengaja mengerjai Ita agar aku bisa lama-lama dengan Danu di depan. Dasar saja Danu terlalu memanjakan istri nimba air saja dibantuin.“Ita, kenapa kamu libur kerja tidur aja dari tadi. Sana bantuin Ibu beres-beres rumah. Sudah macam Nyonya besar saja kamu ini!” Aku menyeret Ita hingga dia hampir terjatuh.“Aku lagi enggak enak badan, Mbak. Kepalaku sakit dan lemas,” jawabnya alasan.“Enggak mau tahu! Cepetan bantu Ibu!” teriakku. Ita tergopoh-gopoh ke dapur bantu ibu.Aku akan buat hidupmu menderita salah kamu merebut dia yang kucinta untuk selamanya.“Ita, setelah i
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop