Meja yang biasanya hanya berisi satu atau dua lauk saja, kini berubah seperti ala rumah makan. Shanti memasak banyak macam menu akhir-akhir ini.
Sebenarnya, bagiku ini sesuatu yang asing, karena biasanya rasa masakan di rumah dengan yang biasa kunikmati di warung makan cenderung sama. Shanti memilih membeli dengan alasan aku lebih sering makan di luar. Jadi, dia pun lebih banyak makan makanan di luar pula. Tidak menyangka juga jika kesempatan itu disalah gunakan sampai terjadi sebuah kesalahan fatal.
“Di sana, aku gak pernah makan makanan sebanyak ini.”
Tiba-tiba Fikri berkomentar. Ia masih lahap menyantap meskipun sudah masuk piring kedua. Memandangnya seperti itu, aku jadi merasa senang. Setidaknya mengubur sejenak rasa sakit hati.
“Makan yang banyak. Besok, ibu akan masak sebanyak ini lagi.” Aku menanggapi.
“Nggak usah banyak-banyak. Nanti mubazir kalau gak habis.” Fikri membalas.
“Nggak ada yang mubazir di sini, Fikri. Tuh, tetangga kita pun banyak. Nanti setelah ini, biar diberikan sama mereka. hitung-hitungan sedekah." Aku menjawab.
“Nanti Fikri yang ngasihkan saja. Sudah lama nggak kumpul sama mereka,” ucap Fikri.
“Boleh. Tapi, nggak usah keluyuran. Ngobrol di sana saja.” Shanti mengingatkan.
“Iya, Bu. Bosan juga beberapa hari cuma d rumah saja,” jawab Fikri.
“Lanjutkan makannya dulu. Kamu masih punya waktu seminggu bermain-main sama mereka.”
Aku menyudahi makan siangku setelah menghabiskan satu piring penuh. Inilah rutinitas selama Fikri di rumah. Menikmati makan siang bersama mereka.
Sampai saat ini, Fikri tidak mengetahui jika bapak dan ibunya sedang bermasalah. Akan lebih baik begitu. Dia jadi tidak banyak pikiran.
*
Hari ini aku memutuskan libur satu hari. Sebab, dua hari sebelumnya sudah menerima pelanggan yang berpergian ke luar kota. Sehingga tidak ada waktu untuk bercengkrama dengan Fikri.
“Bang, cemilannya.”
Shanti mendekat membawa sepiring pisang goreng dan secangkir kopi. Aku segera bangkit dari posisi tidur. Bukan untuk menyambut Shanti, tapi merasa tidak nyaman saja.
Setelah peristiwa itu, aku berusaha menjaga jarak. Meskipun Shanti berusaha mati-matian untuk memperbaiki diri, tapi dalam hatiku masih jauh dari kata mengikhlaskan.
“Abang gak kerja hari ini?” tanyanya. Mungkin heran melihatku seharian hanya tiduran.
“Istirahat. Capek.”
“Mau aku pijit?”
“Enggak usah.”
Raut wajahnya terlihat kecewa. Aku hanya ingin membiasakan diri untuk tidak berharap padanya. Dan Shanti pun harus belajar juga untuk terbiasa.
Mungkin, saatnya nanti perpisahan itu harus terjadi. Entahlah.
Saat kami masih duduk dengan kecanggungan, tiba-tiba Fikri mendorong pintu dengan kasar. Dia terlihat marah dan langsung masuk ke kamarnya.
Apa sudah terjadi sesuatu dengannya?
Tapi Fikri adalah anak yang tidak suka menganggu temannya apalagi sampai berkelahi.
Ketidakberesan Fikri ditangkap oleh Shanti. Dia buru-buru mengikuti anaknya. Aku pun demikian.
“Kenapa? Ada masalah?” tanya Shanti sambil duduk di samping Fikri, di tepi ranjang.
Bocah itu terdiam dengan posisi tertunduk.
“Bilang sama ibu. Kamu berantem sama teman-temanmu?” tanya Shanti memancing.
Barulah Fikri menggeleng.
Aku memerhatikan mereka dengan menyandar pada sisi pintu.
“Lalu?” tanya ibunya.
Fikri masih tak bersuara. Sepertinya, memang ada masalah yang sedang dia hadapi.
“Kalau nggak ngomong, mana tau bapak dan ibu apa masalahmu,” ucap Shanti.
Tiba-tiba Fikri menegakkan kepala seperti akan menyampaikan sesuatu.
“Ngomonglah,” bujuk Shanti lagi.
“Bapak sama ibu mau pisah?”
Pertanyaan itu mendadak membuatku resah. Akhirnya, terkuak juga rahasia kami. Shanti menatapku, ragu.
“Tau dari mana?” tanya Shanti setelah lama berpandangan denganku.
“Jawab saja. Fikri ini sudah besar. Pantas saja Bapak dan Ibu jarang ngobrol. Nggak kayak dulu-dulu.”
“Kamu salah paham. Bapak kalau lagi capek kan memang pendiam.” Shanti memberi alasan.
“Bohong! Mereka saja bilang begitu.”
“Mereka siapa? Bilang apa?” tanyaku baru membuka suara.
“Mereka, ya tetangga-tetangga kita. Bapak sama Ibu sering berantem kata mereka.”
Aku dan Shanti bungkam, merasa tidak mampu lagi beralasan.
“Jadi benar, Bapak dan ibu mau pisah?” Fikri kembali menekan dengan pertanyaan.
“Pak! Ngomong, dong! Kenapa? Apa ibu sudah tak cantik lagi?”
Ngomong apa bocah ini? Kenapa mikirnya langsung ke sana?
“Nggak boleh bicara begitu. Bapak nggak seperti itu.” Shanti menjawab.
“Terus kenapa, Bu?” tanya Fikri ngotot.
Shanti kembali menatapku, kali ini netranya berembun.
Aku berjalan mendekati Fikri. Berdiri di depannya, lalu mengusap kepalanya dengan perasaan sayang.
“Jangan pikirkan apapun tentang bapak dan ibu. Tugasmu hanya belajar. Kamu gak akan kehilangan bapak, juga ibu. Sudah, istirahatlah. Jangan pikirkan apa-apa, termasuk omongan tetangga.”
Aku berbalik, lalu pergi. Belum saatnya Fikri tau. Sebab, kenyataan yang sesungguhnya justru lebih menyakitkan dari pada mendengar kabar perpisahan bapak dan ibunya.
Aku tau, dia harus belajar memahami kondisi kami. Tapi tidak untuk saat ini.
Setidaknya saat ini, dia tidak mendengar pertengkarannya kami. Itu sudah cukup.
*
Shanti menggenggam tangan putra semata wayangnya. Akhirnya, perpisahan itu harus terjadi juga.
“Baik-baik di sana, rajin belajar, jangan lupa doakan bapak sama ibu,” ucap Shanti mengingatkan, seperti yang sudah-sudah.
“Fikri doakan Bapak sama Ibu biar gak jadi pisahan.”
Jawabannya membuatku tercengang. Sesak rasanya dada ini.
Terlihat juga Shanti sedang menyeka air mata.
“Berjanjilah, bahwa kalian gak akan pisah,” tuntutnya.
Dia bukan lagi bocah lima tahun yang bisa dibohongi dengan kepura-puraan. Melihat gelagat kami saja, aku yakin Fikri sudah bisa membaca kondisi hubungan orang tuanya. Lalu, apa yang bisa kami sembunyikan, selain kejujuran dan kenyataan pahit?
“Fikri, bapak tau kamu sudah besar, sudah paham. Bapak gak bisa berjanji apa-apa. Bapak hanya bisa memastikan kalau kamu gak akan kehilangan bapak dan ibu.”
“Tapi Bapak gak akan menceraikan ibu kan? Bukankah sebuah keluarga itu kuncinya ada di kepala keluarga?”
Pertanyaannya membuatku tersenyum kecut.
"Masalahnya tak sesederhana itu, Fik." Sayangnya, aku hanya bisa membatin.
*
Fikri sudah menghilang dari pandangan. Sedangkan aku dan Shanti harus pulang.
"Bang."
Aku tak menoleh ketika mendengar panggilannya.
"Fikri sudah kembali. Apa niat Abang gak bisa diubah lagi?" tanyanya dengan suara sendu. Jujur, aku tak tega.
"Abang butuh menyendiri untuk saat ini. Kamu juga butuh introspeksi diri."
"Abang bercanda kan?"
"Abang antarkan pulang. Nanti biar abang yang ngomong ke bapak."
"Bang."
"Abang butuh waktu menyendiri. Butuh terbiasa sendiri juga. Akan lebih baik bagi kita seperti ini dulu. Sambil abang urus perpisahan kita nanti."
****
Next
Mobil melaju dengan kencang. Sepertinya perjalanan kali ini akan cepat sampai tujuan, karena tak ada basa-basi dan perbincangan. Aku dan Shanti sama-sama diam.Satu jam yang lalu, Shanti tersedu seperti menangisi sebuah kematian. Sejak awal memindahkan pakaiannya ke koper, kemudian meninggalkan rumah yang sudah dua tahun kami tempati, dia berhenti menangis.Aku bisa apa? Jika pada kenyataannya dialah penyebab kegagalan ini.Selain hanya diam, tak ada lagi yang bisa kulakukan. Hatiku tidak hanya beku, tapi rasanya sudah mati.Perjalanan yang biasanya penuh tawa pun, berubah bagai mengendarai sebuah ambulans, sepi, sendu dan hanya berisi tangisan di sepanjang perjalanan.Maafkan bapak, Fikri, karena bapak tidak bisa menepati janji.*Shanti terus tertunduk di depan Bapak. Tak terdengar ucapannya, hanya suara tangis yang berusaha dia tahan terdengar perih. Ibu memeluk putrinya, sambil mengelus punggung yang terguncang itu.Kulihat Bapak berkali-kali menghela nafas panjang, lalu mengembus
Kutingglkan wanita yang dulu sangat dikagumi kecantikannya, sampai harus berdebat bahkan berkelahi untuk merebutkannya.Wanita yang kunikahi karena sebuah kesalahan karena masa lalu.Dulu, dialah wanita tercantik di kampung ini. Putri semata wayang seorang kepala desa, pak Anwar.Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, Shanti, si gadis remaja sering mencuri-curi pandang padaku.Aku dan enam orang lainnya sedang menjalankan tugas sebagai mahasiswa KKN yang ditempatkan di kampung ini. Selama dua bulan lamanya, kami berinteraksi dengan sangat dekat dengan keluarga Shanti. Apalagi kami tinggal di rumah itu.Aku dan Shanti sama-sama di mabuk cinta, sama-sama mengagumi dan sama-sama merasa saling memiliki. Berat rintangan yang harus kulalui untuk bisa menaklukkan hatinya, termasuk harus berebut dan berkelahi dengan dua orang teman lainnya.Akhirnya, aku menenangkan hati Shanti. Cinta yang memabukkan itu membuat kami lupa daratan, hingga kami melakukan hubungan yang dilarang. Namun
“Aku kan sudah punya pekerjaan? Apa kamu mau memecatku?” tanyaku, bingung.“Bo—doh! Pekerjaan lain maksudku. Siapa tau cocok. Kamu gak harus bekerja denganku kalau sudah mendapat pekerjaan yang lebih baik. Buruan!”“Tapi ....”“Halah! Kamu kan sudah gak punya istri. Buat apa menunggurumah yang kosong?”“O-oke. Tunggu sebentar.”Aku bergegas ke dalam. Menyiapkan syarat yang diminta olehRoni, kemudian pergi. Rumah kutingglkan dalam keadaan kosong. Jelas kosong,karena hanya aku satu-satunya penghuni.“Ayo!”Roni terlihat lebih bersemangat dibandingkan denganku.Semenjak aku dan Shanti bertengkar, dialah tempatku mengeluh.“Ke mana, sih?” tanyaku.“Ada kerjaan untuk tenaga ahli komputer di kantor punyatemanku. Kamu bisa melamar ke sana.”“Kenapa nggak ngomong? Lihat penampilanku?”Aku menunjuk tubuh sendiri. Kaos oblong, celana jeanssobek-sobek dan rambut yang acak-acakan.“Gampanglah. Kita ke salon dulu, sekalian mengganti bajugembelmu itu.”“Sialan lo!”“Eh, ngomong-ngomong, aku mau kas
“Dari mana kamu tau?” tanyaku. Sementara Rena malah tersenyum saja. “Roni?” Aku menebak.“Bukan. Aku sering melihat kalian antar jemput anak kalian, kamu dan istrimu. Dia masih cantik ya, walaupun anakmu sudah besar. Salut,”ucapnya.Dia sedang memuji, tapi bagiku terdengar seperti sebuah ejekan. Renatak tau permasalahan kami, itu masalahnya.“Mau, ya? Lagian istrimu pasti setuju.”“Oke,” jawabku cepat, karena tidak ingin Rena terus membahas Shanti.“Kapan aku bisa langsung kerja?”“Sesuka kamu saja kapan mulainya. Setelah kalian pindahan malah lebih baik.”“Oke. Lusa aku mulai kerja.”“Sip. Eh, tapi bukannya kamu harus bicarakan ini dengan istrimu?'“Buat apa? Kan kamu sudah memutuskannya tadi. Penting gitu?”“Kamu tersinggung?”“Enggak sama sekali. Tapi aku memang setuju kok.”“Oke, terima kasih. Sementara bawa saja mobilku. Biar nanti enak datangnya."“Eh, gak usah.”“Gak pa-pa. Aku masih ada mobil yang lain.”Kami mulai memasuki kawasan rumah yang maha luas ini. Memandangnya dengan
“Jadi ... kalian sudah pisah?”Aku menunduk, kali ini sambil menyedot jus jeruk hingga tandas.“Fikri tau?” Rena bertanya lagi.Aku menghela nafas panjang, lalu menggeleng.“Dia pasti bakal syok,” ucap Rena lagi. Dia menyudahi makannyadengan meletakkan sendok, meneguk jusnya lalu mengelap kedua ujung bibir menggunakantisu. Aku memperhatikannya hampir tanpa berkedip. Kebiasaannya saat ini masih samaseperti Rena yang dulu.“Fikri sudah remaja. Dia akan mengerti keadaan bapak danibunya. Walaupun dia akan memberontak. Dan mungkin menyalahkan aku,” ucapku.“Aku turut prihatin,” ucapnya lirih.Aku tidak berani menatapnya saat ini. Aku malu seandainya menyadaridia iba dengan keadaanku.“Biasa saja. Hidup kan memang berproses. Lagi digilir beradadi bawah, ya sabar aja,” balasku pura-pura kuat.“Rohan, Rohan, kamu gak berubah dari dulu. Sok tegar, padahalrapuh.”Sialan. Kenapa tebakan tidak pernah meleset, sih.“Kamu boleh pura-pura tegas, tapi tidak bisa jika di hadapanku.”“Ck, sudahlah, ga
Aku berjongkok di depan kolam renang sambil menikmatisegelas kopi dan menghabiskan sisa-sisa rokok. Sehabis makan siang tadi,aku berpindah tempat ke bagian samping rumah ini. Sekedar mengambil udara.Sejenak menyendiri, tiba-tiba teringat akan diri Shanti. Tak terasa sudah dua Minggu berpisah dengannya. Rasanyarindu juga.Beruntung sekarang punya kesibukan, sehingga hanya saat-saatsendiri begini baru teringat padanya.Di sini, di kediaman pak Baskoro ini aku diterima denganbaik. Dengan para pekerja lainnya juga mulai akrab. Rata-rata mereka malahsungkan padaku, padahal seprofesi, sama-sama sopir. Tukang kebun dan parapembantu juga pada segan.Kata mereka, aku sedikit berbeda dari mereka. “Mas Rohan kansopir merangkap asisten pribadinya non Rena. Ya jelas berbeda dengan kita,”kata pak Mun, si tukang kebun.“Rohan!”Sebuah teriakan mengagetkan aku. Suaranya berasal darilantai atas. Aku memutar kepala dan mendongak, Rena tampak melambai.“Naiklah! Aku butuh bantuanmu!”“Baik, Non.”Aku m
Lewat tengah malam pak Baskoro dan aku ke luar dari sebuah kafe miliknya. Beliau mengajakku bertemu dengan seorang bawahannya, pak Adam, lalu aku pun diberi kesempatan untuk mendengarkan. Mereka membicarakan masalah suatu bisnisyang sedang mereka rancang. Sedikit banyak, aku mulai paham.Hanya itu saja. Aku hanya mendengarkan, setelah itu tidakada yang di bebankan ke padaku. Termasuk laptop yang kubawa pun menganggur. Tak tau rencana pak Baskoro melibatkan aku dalam pertemuan itu. Padahal, bisa saja beliau menyuruhku menunggu di luar.“Kamu perhatikan sikap Adam tadi?” tiba-tiba beliau menanyakan hal yang membuatku bingung, saat dalam perjalanan pulang.Aku tak menjawab, hanya meliriknya melalui kaca.“Bingung?” tanyanya lagi.“Iya, Pak,” akuku.“Kamu bakal tau,” ucapnya.Apa maksudnya? Sama sekali tak tertebak..Suara alarm berdering nyaring membangunkan aku. Semalam,untuk pertama kali mendiami kamar yang sudah dipersiapkan oleh Rena.Jam enam pagi aku bersiap-siap untuk pulang, kar
POV Shanti Kenapa cobaanku sedemikian dahsyatnya. Belum juga membaik hubunganku dengan bang Rohan, dia malah sengaja menjauhiku. Bagaimana caranya untuk menebus dosa-dosaku, kalau dia saja seakan sengaja menjauhi. Bang Roni. Aku langsung teringat padanya. Dia pasti tau tempat tinggal bang Rohan yang baru, karena hanya dialah satu-satunya orang yang dekat dengan keluarga kami di kota ini. Aku bergegas berdiri, lalu menuju ke tempat yang lebih teduh untuk memesan ojek online. Saat aku melintas untuk menyeberang jalan, tiba-tiba sebuah tangan meraihku. Tak tau dari mana sangkanya, seseorang ini datang kemudian menarikku ke pinggir jalan. “Lepaskan!” ucapku bernada teriakan. Dia tidak menghiraukan. Malah mendekatkan aku pada mobilnya. “Masuk!” perintahnya. “Enggak!” tolakku. “Kamu mau kita menjadi pusat perhatian!” Aku mengitari sekeliling dengan pandangan. Dan benar saja, tingkah kami dilihat oleh beberapa orang. Akhirnya aku masuk ke dalam mobilnya. Dia duduk di belakang stir.
Dua di antara empat pembegal itu tanpa aba-aba langsung menyerangnya. Terlihat pria itu sedikit kewalahan. Tetapi akhirnya dia bisa membuat dua orang tadi terkapar. Maka, dua orang yang semula membekapku juga turun tangan. Salah satu di antara mereka mengeluarkan sebilah pisau.Mereka menyerang secara membabi buta. Dua orang ini terlihat nekat dan semakin brutal. Hingga naas, pria itu terkenal sayatan pisau. Tidak hanya mengaduh, dia juga setengah terkapar di jalanan.Saat itu, Udin punya kesempatan untuk mengambil balok di pinggir jalan, kemudian memukulkannya pada salah seorang pembegal yang memegang pisau. Melihat itu, mereka langsung lari. Apalagi apa yang mereka inginkan sudah mereka dapatkan.Aku dan Udin buru-buru membawa pria itu ke rumah sakit terdekat. Dia mendapatkan luka yang cukup serius, dua puluh jahitan sepanjang bahu kiri hingga lengan.Aku hanya menunggu di mobil, karena masih syok dengan kejadian yang baru saja kualami.Udin lah yang mengurus pria itu.Saat Udin mem
“Kamu pasti heran kenapa saya menjadikan kamu orang kepercayaan saya?”Pertanyaan yang tidak perlu kujawab. Dia paham ekspresi wajahku seperti apa saja ini. Dan aku hanya bisa mengangguk saja.“Ya, karena kamu punya kemampuan. Ketika beberapa kali melihatmu membantu Renata, saya yakin kamu bisa. Hanya saja, saya butuh faktor pendukung lainnya untuk memutuskan apakah saya memilihmu atau tidak.”Setiap tuturnya, seperti membawa hawa sejuk di hatiku. Aku merasa disanjung. Tapi, aku yakin pak Baskoro memutuskannya bukan karena hanya melihatku pernah membantu putrinya. Dia pasti punya maksud terselubung. Otak politikus, mudah ditebak.“Maaf, saya masih belum mengerti maksud pak Baskoro,” ujarku.“Oke. Terang-terangan saja saya bicaranya. Jadi begini, Rohan.” Pak Baskoro memindahkan tangannya ke atas meja, menatapku dengan tajam, lalu mulai bertutur kembali.“Saya hentikan kamu dari sopir pribadi. Kamu saya angkat menjadi orang kepercayaan saya. Tugas kamu, memegang data penting perusahaan
POV RohanHidup memang dihadapkan pada banyak pilihan. Kehidupan yang dijalani pada dasarnya merupakan hasil dari pilihan-pilihan.Aku sendiri tidak selalu bisa membuat keputusan yang tepat, kendati sudah melakukan banyak pertimbangan. Apapun keputusan akhirnya, pasti membawa ke dalam jurang penyesalan.Betapapun kusadari, bahwa melalui kesalahan dan kegagalan dalam hidup, maka bertambah kedewasaan itu. Jadi, tidak guna terus menyesali pilihan. Mestinya, belajar dari kegagalan dan menjadi lebih bijaksana ke depannya.Itu harapku.Tetapi lagi-lagi, tinggal bijaksana seperti apa dulu yang sudah menjadi keputusan saat ini. Walaupun mungkin, Shanti masih menganggapku tidak adil karena tidak memberinya pilihan. Tapi, yang jelas, luka batinnya tidak begitu dahsyat jika dibandingkan dengan lukaku..Kuantarkan Shanti ke terminal, sekadar menjalankan tugasku yang terakhir. Mungkin setelah ini, kutemui dirinya sebagai sosok yang lain, yaitu sang mantan.Aku mengamati dari kejauhan. Shanti meno
POV ShantiKupandangi foto di atas meja. Seorang anak yang tersenyum sedang bergandengan dengan empat teman lainnya. Pakaian yang dikenakannya membuat sejuk, mengenakan baju koko putih, memakai sarung dan lengkap dengan pecinya. Tampan, sepert bapaknya.Tidak ada foto lain yang tersisa. Bang Rohan hanya membawa foto Fikri seorang ke kontrakan barunya. Sedangkan foto kami bertiga, foto-foto pernikahan dan foto-foto kebersamaan keluarga kecilnya, tidak tampak lagi saat ini.Mungkin bang Rohan sudah menyembunyikannya, atau bahkan mungkin sudah membakarnya.Maafkan aku, bang . Aku merusak bangunan rumah tangga yang sudah susah payah kita bangun berdua. Batinku merintih.Tak dapat lagi kubendung air mata ini.Menyesal, dan sangat sakit menerima kenyataan pahit ini.Berkali-kali kusentuh handphone. Berharap ada sebuah panggilan atau pesan yang tertinggal di sana, tapi tak ada. Harapanku musnah. Bang Rohan enggan menghubungiku, bahkan ketika aku tinggal di rumah kontrakannya.Bang, tak adaka
“Mencintai tidak harus memiliki. Justru dengan tidak memiliki bisa saling mendoakan. Andai kamu bisa ikhlas menerima keputusan Rohan, andai saja kamu menyadari bahwa pucuk permasalahannya ada sama kamu, kamu nggak akan seegois ini.Biarkan dia pergi, menentukan keputusannya. Dia akan bahagia tanpa kamu, dan kamu pun bisa melanjutkan hidupmu tanpa dia. Simple kan?” Aku berusaha menanggapi dengan tenang.Shanti tertunduk. Menarik tangannya yang sedari tadi kuusap dengan lembut. Mungkin ucapanku tidak akan dia dengar. Aku yakin itu. Kesimpulannya, dia menginginkan Rohan, entah bagaimana caranya. Sedangkan aku hanya bisa menjadi pendengar, tanpa bisa memberikan solusi. Dan itu sangat Menyakitkan bagiku.Apa yang dia pikirkan tentang diriku, tentang perasaanku pada suaminya adalah sebuah kekeliruan.Aku mencintai suaminya, dan dia sadar itu. Dengan begitu,dia berharap aku bisa mengalah, lalu membantunya. Mana bisa begitu. Sedangkan Rohan, tidak bisa tertebak di mana sisi hatinya berdiri.
“Shan,” panggilku yang kemudian membuatnya menatapku. Anehnya hanya sesaat saja, lalu dia tertunduk. Bahkan terdengar isakannya.“Kenapa menangis?” tanyaku.Dia menggigit bawah bibirnya, seperti sedang menahan rasa sakit.“Aku sudah kehilangan dia,” jawabnya.Aku menghela nafas. Merasa prihatin. Sebab, aku pun pernah merasakan perasaan yang sama. Sangat mencintai, berharap memiliki, tetapi dihadapkan pada pilihan harus melepas perasaan itu karena tidak mungkin memilikinya.“Aku ikut prihatin. Sabar, ya.”Aku berusaha menguatkan. Terdengarnya lucu, di balik berita yang seharusnya membuatku gembira. Tapi aku tak setega itu.“Aku pikir, kamu akan bisa membantuku, “ ucapnya.“Membantu? Membuatnya kembali padamu?” Aku menebak dengan mudah.“Iya. Kamu kan temannya.”“Kami nggak seakrab yang ada dalam pikiranmu, Shan. Rohan itu tertutup, termasuk permasalahan kalian.”“Tapi setidaknya kamu bisa membujuknya.”Sebuah keinginan yang sulit.Aku menegakkan punggung sebagai respons ketegangan pad
POV Renata BaskoroAku memandangnya dari samping. Tampan, meskipun terlihat garis-garis di bawah kelopak matanya. Pertanda usia yang matang, ditambah lagi tempaan beban kehidupan yang berat selama ini, semakin membuatnya terlihat jauh lebih dewasa dari pria yang kukenal belasan tahun yang lalu.Dia sopir pribadiku sekarang ini.Tangannya kokoh memegang stir kemudi. Diam-diam, sering kuperhatikan setiap gerak tubuhnya. Dia, lelaki yang pernah kukagumi, sekaligus satu-satunya lelaki yang membuatku patah hati hingga bertahun-tahun. Dan ketika kata-kata move on itu hampir terwujud, dia malah datang kembali. Meskipun sudah menjadi sosok yang berbeda.Rohan Radityawan, seorang bapak dan suami yang baik. Tapi nasibnya tidak seberuntung kebaikannya. Kasihan. Sayang sekali, wanita yang beruntung mendapatkan cinta dan pelukan hangatnya bukanlah aku.“Aku mau ketemuannya di kafe saja, ya?” pintaku padanya. “Biar lebih bebas ngobrolnya.”Aku memang bersemangat kali ini. Bisa mengobrol dengan Sha
Rena memutar bola mata, menimbang permintaanku.“Untuk apa?” tanyanya kemudian.“Nanti juga kamu akan tau. Urusan perempuan pastinya.”“Emm ... oke!”Rena menjawab seperti tidak ada beban. Dia pun berbalik danpergi.Ternyata tidak sesulit perkiraanku mempertemukan mereka.*Rena menikmati perjalanan dengan santai. Kedua telinganya disumpal menggunakan earphone. Entah musik apa yang diperdengarkan melalui benda itu.Yang jelas, dia terlihat begitu asyik, hingga sesekali tangannya ikut bergerak, seperti tanpa sadar.Aku mengamati setiap pergerakannya. Sangat lucu menurutku, hingga membuatku tersenyum.Sudah lama aku tidak merasakan perasaan bebas seperti ini. Bersama dengan Rena, aku seperti dilempar ke masa lalu. Bebas dan tidak perlu terbebani dengan apapun itu. Sungguh, aku rindu dengan masa-masa dulu.“Han!” Rena menepuk pundakku, membuatku berjingkrak kaget. Beruntung stir kemudi tetap kokoh dalam genggaman.“Apaan, sih? Bikin kaget aja!” keluhku menanggapi.“Kenapa senyum-senyum se
“Iya, Mas. Kan saya sudah lama bekerja dengan pak Baskoro.Dulu saya bekerja di villa yang lama, karena villanya sudah tua dan bangunannya padakeropos, saya dipindahkan kemari. Oya, ngomong-ngomong, pak Tito bukan priabaik-baik menurut saya. Maaf lo ya, hanya menurut perasaan saya saja.”Beberapa orang yang kutemui mengatakan hal yang sama tentangTito. Apa benar begitu? Lalu, kenapa pak Baskoro nekat menjodohkan Rena denganTito? Dan sekarang, beliau malah seakan-akan sedang menjauhkan anaknya dari pria itu.“Apa Mas Rohan nggak tau, kalau sebenarnya non Rena terpaksabertunangan dengan pak Tito?”Aku menoleh ke arah pria yang tampak serius dengankata-katanya itu.Aku pun menggeleng.“Non Rena itu nggak pernah pacaran. Beberapa kali dekatdengan anak temannya pak Baskoro, tapi nggak pernah jadi.”“Kok, Mamang tau?”“Ya tau saja, isteri saya dulu bekerja jadi pembantu dirumah pak Baskoro dan sering cerita keadaan di sana. Karena istri saya sakit, terus berhenti.”“Oh.” Aku menanggapi.“Kas