POV Shanti Kenapa cobaanku sedemikian dahsyatnya. Belum juga membaik hubunganku dengan bang Rohan, dia malah sengaja menjauhiku. Bagaimana caranya untuk menebus dosa-dosaku, kalau dia saja seakan sengaja menjauhi. Bang Roni. Aku langsung teringat padanya. Dia pasti tau tempat tinggal bang Rohan yang baru, karena hanya dialah satu-satunya orang yang dekat dengan keluarga kami di kota ini. Aku bergegas berdiri, lalu menuju ke tempat yang lebih teduh untuk memesan ojek online. Saat aku melintas untuk menyeberang jalan, tiba-tiba sebuah tangan meraihku. Tak tau dari mana sangkanya, seseorang ini datang kemudian menarikku ke pinggir jalan. “Lepaskan!” ucapku bernada teriakan. Dia tidak menghiraukan. Malah mendekatkan aku pada mobilnya. “Masuk!” perintahnya. “Enggak!” tolakku. “Kamu mau kita menjadi pusat perhatian!” Aku mengitari sekeliling dengan pandangan. Dan benar saja, tingkah kami dilihat oleh beberapa orang. Akhirnya aku masuk ke dalam mobilnya. Dia duduk di belakang stir.
POV ShantiTernyata, kontrakan yang dipilih bang Rohan berdekatan dengan pondok di mana Fikri belajar. Aku menjadi lebih bersemangat, karena dengan begini bisa sering-sering mengunjungi Fikri.Lebih bagus lagi lingkungan di sini juga lebih baik. Mungkin aku bisa belajar ilmu agama di sini. Dan sejauhnya bisa menghindari mas Dirga. Semoga saja dimudahkan.Kontrakan bang Rohan sudah di depan mata. Dan kunci rumah pun sudah kukantongi. Aku mendapatkannya langsung dari pemilik kontrakan. Dengan menunjukkan bukti buku nikah, maka mereka percaya kalau aku istri bang Rohan. Tapi, memang begitu kan?Setelah memasuki rumah itu, aku ingin segera menyiapkan makanan. Tapi sayang, kulkas hanya berisi makanan cepat saji. Berbagai macam makanan kaleng tersimpan di sana. Ada cake dan sisa makanan yang tidak habis.Sebenarnya, bang Rohan bekerja sebagai apa? Kenapa banyak sekali makanan enak dan mahal tersimpan di kulkasnya?Biasanya, dia akan cerewet sekali ketika aku membeli makan mahal seperti ini.
“Serius?” tanyaku tak percaya.“Masa mas Rohan gak tau, sih.”“Ya, aku kan baru tiga Minggu di sini. Mana aku tau.”“Iya juga, sih. Pak Tito itu baru selesai S2 di luar negeri, terus pulang untuk menduduki jabatan penting di kantor ini. Begitu sih,dengar-dengar, tapi baru gosip. Lihat saja sebentar lagi, pasti mereka, anaksama papanya itu sok berkuasa di sini.”“Pak Adam maksudnya?”“Iyalah. Pak Adam sama pak Tito. Dulu sebelum pergi ke luarnegeri, pak Tito kan bekerja di sini lebih dulu. Dia banyak memerintah daripada kerja dengan tangannya sendiri.” Mei berucap setengah berbisik.Lama-lama, obrolan kami sudah di luar batas. Jangan-jangan ada yang mendengar terus melaporkan pada pak Adam. Bisa gawat.“Sudah, ah. Gak ada hubungannya sama saya. Saya ke luar sajakalau begitu.” Aku meninggalkan Mei yang sebenarnya dia sibuk. Tapi,sempat-sempatnya mengobrol hal tak penting seperti tadi.Tak penting? Gak juga sebenarnya. Dengan begitu, aku tidakperlu menebak-nebak diri Tito. Rupanya dia an
Saat keinginan itu seperti air yang mengalir, maka aku hanyabutuh muaranya.Tanganku ikut bergerak, mengikuti pergerakan Shanti yang semakinliar. Nafas mulai memburu di antara jemari ini yang bergerak membuka helai demihelai pakaiannya di bagian atas.Di saat yang sama, aku pun berusaha membalas usapan lembut tanganShanti, hingga terdengar jelas suaranya.“Ahhh ....”Aku menghentikan gerakan tangan. Otakku berhasil merekam kembalidesa—han itu, seperti desa—hannya kala itu.Tiba-tiba telapak tanganku mendorong tubuh Shanti. Menyentak lebih tepatnya.Dia terkejut, bahkan sedikit memekik karena punggungnya terbentur dinding.“Au, Abang ....”Nafasku terengah-engah. Mataku nanar menatapnya.Dia ... terlihat begitu menjijikkan.“Maaf, aku nggak bisa.”Amarahku memuncak seketika. Tapi tak mungkin kulampiaskan padanya. Aku tau, dia bersalah.“Abang, maafkan aku.”“Kenakan pakaianmu!” Perintahku.Aku mundur beberapa langkah, lalu bersandar di dinding lemari. Beberapa saat, sambil melihatnya y
“Aku melihat cinta di matanya.”Aku berdecak kesal. Tak ingin kutanggapi ucapannya yang ngelanturke mana-mana. Rena sudah bertunangan, dan itu sudah cukup sebagai bukti bahwadi antara aku dengannya tidak memiliki hubungan apa-apa.“Dia menyukai Abang,” ucapnya lagi.“Jangan ngawur, dan jangan mengada-ada.”Aku berdiri, lalu menyingkir dari hadapannya. Sakit dikepalaku saja belum reda, Shanti sudah menambahkannya lagi masalah yang lainnya.“Abang, tolong pertemuan aku dengannya. Setelah itu, akuakan pergi dari sini.”Shanti mengikutiku sampai ke kamar. Aku mengenyakkan bokong untuksekadar duduk mendengarkan ocehannya yang tak penting.“Kalau kamu sudah bertemu dengannya, apa yang akan kamulakukan? Dia, Rena tidak selevel dengan kita, Shanti. Aku tak mungkinmenyuruhnya meluangkan waktu hanya untuk mendengarkan ocehan kamu yang gakpenting itu.”“Aku gak penting. Iya, benar sekali. Setelah satu kesalahan fatal yang aku lakukan, semuanya seakan tidak ada yang penting lagi bagi Abang. Aku m
“Maaf, Pak. Karena saya pikir, pak Tito lebih berhak membawanon Rena pergi. Mereka kan ....”“Tunangan?” Pak Baskoro menyahut ketika aku tidak berani meneruskan kata-kata.“Iya, begitu.”“Sekarang juga, kamu susul mereka. Saya tidak yakin Rena akan baik-baik saja bersama dengan Tito.”“Tapi ... mereka pasti marah sama saya.”“Kamu mau melihat mereka marah atau saya yang marah sama kamu?”Suara bas seorang Baskoro menggelegar seisi paviliun. Aku semakin tertunduk dan tidak berani mengangkat wajah.“Ba-baik, Pak. Saya permisi.”Aku memundurkan kaki dua langkah, lalu berbalik untuk menjalankanperintah.“Tunggu dulu!” cegah pak Baskoro. Aku pun berbalik lagi, menatap pria itu yang sekarang berjalan mendekatiku.“Saya lihat, cuma kamu satu-satunya orang yang pernah dan berani memarahi Rena dan Rena pun tidak membalas. Itulah makanya saya percaya padamu. Tolong, jangan ingkari kepercayaan saya.”Aku mengangguk, lalu membalas, “Mengerti, Pak. Saya permisi.”Langkahku pun terasa ringan karena
“Anda mau melukai saya? Ingat, saya melakukan ini karena perintah pak Baskoro.”Aku buru-buru bangkit, tapi tetap membiarkan Rena tergeletak di rerumputan yang basah. Aku harus bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk dari pemuda yang tengah mabuk ini.“Kembalikan Rena padaku!”“Anda pria berpendidikan. Tidak sepantasnya Anda berperilaku seperti ini. Rena adalah tunangan Anda. Dia pasti bakal menjadi milik Anda, tetapi tidak dengan cara hina seperti ini.”Bukannya surut, justru langkahnya malah semakin maju. Tito mulai memainkan pisau ke kanan dan ke kiri untuk mengelabuhi. Dengan jarak yang semakin dekat, bisa kubaui jika dirinya mabuk berat.“Silahkan simpan senjata Anda. Saya hanya berniat melindungi Rena, bukan merampasnya dari Anda,” ucapku lagi. Tapi sepertinya, alkohol itu telah melumpuhkan kesadarannya sehingga otaknya tidak mampu bekerja dengan benar.“Kamu takut? Sebenarnya kamu takut. Tapi aku tidak takut padamu. Tidak akan pernah takut. Kamu takut padaku, kan? Heh, kam
“Hei, pemabuk, lepaskan tanganmu,” ucapku sambil menepuk pipinya.“Aku sadar, aku nggak lagi mabuk,” jawabnya.“Kalau dia bisa menjeratmu dengan menyerahkan tubuhnya, sekarang kamu pun bisa melakukan hal yang sama,” ucapnya lagi, semakin tak kumengerti.“Jangan macam-macam. Aku lagi malas bercanda. Lepaskan tanganmu.” Aku meraih tangannya agar segera terlepas dari leherku. Tapi memang Rena ini sengaja mengerjai. Dia tetap tidak mau melepaskan.“Apa bedanya aku dengannya?” Sebuah pertanyaan keluar dari mulutnya yang masih berbau alkohol.“Jelas beda. Dia itu istriku. Ayo lepaskan!” jawabku masih memegangi tangannya.“Dulu, dia orang lain. Aku pun sama. Tapi kamu memilih dia, padahal kamu lebih dekat denganku.”“Ngawur kamu. Cepat lepaskan!”“Katakan, apa kurangnya aku?”“Gak ada yang kurang dari dirimu. Justru aku tidak memacari kamu itu sebuah keberuntungan bagimu.”“Untungnya di mana? Kamu pikir enak menahan sakit hati selama bertahun-tahun? Aku menderita, Rohan!”“Salah kamu sendiri
Dua di antara empat pembegal itu tanpa aba-aba langsung menyerangnya. Terlihat pria itu sedikit kewalahan. Tetapi akhirnya dia bisa membuat dua orang tadi terkapar. Maka, dua orang yang semula membekapku juga turun tangan. Salah satu di antara mereka mengeluarkan sebilah pisau.Mereka menyerang secara membabi buta. Dua orang ini terlihat nekat dan semakin brutal. Hingga naas, pria itu terkenal sayatan pisau. Tidak hanya mengaduh, dia juga setengah terkapar di jalanan.Saat itu, Udin punya kesempatan untuk mengambil balok di pinggir jalan, kemudian memukulkannya pada salah seorang pembegal yang memegang pisau. Melihat itu, mereka langsung lari. Apalagi apa yang mereka inginkan sudah mereka dapatkan.Aku dan Udin buru-buru membawa pria itu ke rumah sakit terdekat. Dia mendapatkan luka yang cukup serius, dua puluh jahitan sepanjang bahu kiri hingga lengan.Aku hanya menunggu di mobil, karena masih syok dengan kejadian yang baru saja kualami.Udin lah yang mengurus pria itu.Saat Udin mem
“Kamu pasti heran kenapa saya menjadikan kamu orang kepercayaan saya?”Pertanyaan yang tidak perlu kujawab. Dia paham ekspresi wajahku seperti apa saja ini. Dan aku hanya bisa mengangguk saja.“Ya, karena kamu punya kemampuan. Ketika beberapa kali melihatmu membantu Renata, saya yakin kamu bisa. Hanya saja, saya butuh faktor pendukung lainnya untuk memutuskan apakah saya memilihmu atau tidak.”Setiap tuturnya, seperti membawa hawa sejuk di hatiku. Aku merasa disanjung. Tapi, aku yakin pak Baskoro memutuskannya bukan karena hanya melihatku pernah membantu putrinya. Dia pasti punya maksud terselubung. Otak politikus, mudah ditebak.“Maaf, saya masih belum mengerti maksud pak Baskoro,” ujarku.“Oke. Terang-terangan saja saya bicaranya. Jadi begini, Rohan.” Pak Baskoro memindahkan tangannya ke atas meja, menatapku dengan tajam, lalu mulai bertutur kembali.“Saya hentikan kamu dari sopir pribadi. Kamu saya angkat menjadi orang kepercayaan saya. Tugas kamu, memegang data penting perusahaan
POV RohanHidup memang dihadapkan pada banyak pilihan. Kehidupan yang dijalani pada dasarnya merupakan hasil dari pilihan-pilihan.Aku sendiri tidak selalu bisa membuat keputusan yang tepat, kendati sudah melakukan banyak pertimbangan. Apapun keputusan akhirnya, pasti membawa ke dalam jurang penyesalan.Betapapun kusadari, bahwa melalui kesalahan dan kegagalan dalam hidup, maka bertambah kedewasaan itu. Jadi, tidak guna terus menyesali pilihan. Mestinya, belajar dari kegagalan dan menjadi lebih bijaksana ke depannya.Itu harapku.Tetapi lagi-lagi, tinggal bijaksana seperti apa dulu yang sudah menjadi keputusan saat ini. Walaupun mungkin, Shanti masih menganggapku tidak adil karena tidak memberinya pilihan. Tapi, yang jelas, luka batinnya tidak begitu dahsyat jika dibandingkan dengan lukaku..Kuantarkan Shanti ke terminal, sekadar menjalankan tugasku yang terakhir. Mungkin setelah ini, kutemui dirinya sebagai sosok yang lain, yaitu sang mantan.Aku mengamati dari kejauhan. Shanti meno
POV ShantiKupandangi foto di atas meja. Seorang anak yang tersenyum sedang bergandengan dengan empat teman lainnya. Pakaian yang dikenakannya membuat sejuk, mengenakan baju koko putih, memakai sarung dan lengkap dengan pecinya. Tampan, sepert bapaknya.Tidak ada foto lain yang tersisa. Bang Rohan hanya membawa foto Fikri seorang ke kontrakan barunya. Sedangkan foto kami bertiga, foto-foto pernikahan dan foto-foto kebersamaan keluarga kecilnya, tidak tampak lagi saat ini.Mungkin bang Rohan sudah menyembunyikannya, atau bahkan mungkin sudah membakarnya.Maafkan aku, bang . Aku merusak bangunan rumah tangga yang sudah susah payah kita bangun berdua. Batinku merintih.Tak dapat lagi kubendung air mata ini.Menyesal, dan sangat sakit menerima kenyataan pahit ini.Berkali-kali kusentuh handphone. Berharap ada sebuah panggilan atau pesan yang tertinggal di sana, tapi tak ada. Harapanku musnah. Bang Rohan enggan menghubungiku, bahkan ketika aku tinggal di rumah kontrakannya.Bang, tak adaka
“Mencintai tidak harus memiliki. Justru dengan tidak memiliki bisa saling mendoakan. Andai kamu bisa ikhlas menerima keputusan Rohan, andai saja kamu menyadari bahwa pucuk permasalahannya ada sama kamu, kamu nggak akan seegois ini.Biarkan dia pergi, menentukan keputusannya. Dia akan bahagia tanpa kamu, dan kamu pun bisa melanjutkan hidupmu tanpa dia. Simple kan?” Aku berusaha menanggapi dengan tenang.Shanti tertunduk. Menarik tangannya yang sedari tadi kuusap dengan lembut. Mungkin ucapanku tidak akan dia dengar. Aku yakin itu. Kesimpulannya, dia menginginkan Rohan, entah bagaimana caranya. Sedangkan aku hanya bisa menjadi pendengar, tanpa bisa memberikan solusi. Dan itu sangat Menyakitkan bagiku.Apa yang dia pikirkan tentang diriku, tentang perasaanku pada suaminya adalah sebuah kekeliruan.Aku mencintai suaminya, dan dia sadar itu. Dengan begitu,dia berharap aku bisa mengalah, lalu membantunya. Mana bisa begitu. Sedangkan Rohan, tidak bisa tertebak di mana sisi hatinya berdiri.
“Shan,” panggilku yang kemudian membuatnya menatapku. Anehnya hanya sesaat saja, lalu dia tertunduk. Bahkan terdengar isakannya.“Kenapa menangis?” tanyaku.Dia menggigit bawah bibirnya, seperti sedang menahan rasa sakit.“Aku sudah kehilangan dia,” jawabnya.Aku menghela nafas. Merasa prihatin. Sebab, aku pun pernah merasakan perasaan yang sama. Sangat mencintai, berharap memiliki, tetapi dihadapkan pada pilihan harus melepas perasaan itu karena tidak mungkin memilikinya.“Aku ikut prihatin. Sabar, ya.”Aku berusaha menguatkan. Terdengarnya lucu, di balik berita yang seharusnya membuatku gembira. Tapi aku tak setega itu.“Aku pikir, kamu akan bisa membantuku, “ ucapnya.“Membantu? Membuatnya kembali padamu?” Aku menebak dengan mudah.“Iya. Kamu kan temannya.”“Kami nggak seakrab yang ada dalam pikiranmu, Shan. Rohan itu tertutup, termasuk permasalahan kalian.”“Tapi setidaknya kamu bisa membujuknya.”Sebuah keinginan yang sulit.Aku menegakkan punggung sebagai respons ketegangan pad
POV Renata BaskoroAku memandangnya dari samping. Tampan, meskipun terlihat garis-garis di bawah kelopak matanya. Pertanda usia yang matang, ditambah lagi tempaan beban kehidupan yang berat selama ini, semakin membuatnya terlihat jauh lebih dewasa dari pria yang kukenal belasan tahun yang lalu.Dia sopir pribadiku sekarang ini.Tangannya kokoh memegang stir kemudi. Diam-diam, sering kuperhatikan setiap gerak tubuhnya. Dia, lelaki yang pernah kukagumi, sekaligus satu-satunya lelaki yang membuatku patah hati hingga bertahun-tahun. Dan ketika kata-kata move on itu hampir terwujud, dia malah datang kembali. Meskipun sudah menjadi sosok yang berbeda.Rohan Radityawan, seorang bapak dan suami yang baik. Tapi nasibnya tidak seberuntung kebaikannya. Kasihan. Sayang sekali, wanita yang beruntung mendapatkan cinta dan pelukan hangatnya bukanlah aku.“Aku mau ketemuannya di kafe saja, ya?” pintaku padanya. “Biar lebih bebas ngobrolnya.”Aku memang bersemangat kali ini. Bisa mengobrol dengan Sha
Rena memutar bola mata, menimbang permintaanku.“Untuk apa?” tanyanya kemudian.“Nanti juga kamu akan tau. Urusan perempuan pastinya.”“Emm ... oke!”Rena menjawab seperti tidak ada beban. Dia pun berbalik danpergi.Ternyata tidak sesulit perkiraanku mempertemukan mereka.*Rena menikmati perjalanan dengan santai. Kedua telinganya disumpal menggunakan earphone. Entah musik apa yang diperdengarkan melalui benda itu.Yang jelas, dia terlihat begitu asyik, hingga sesekali tangannya ikut bergerak, seperti tanpa sadar.Aku mengamati setiap pergerakannya. Sangat lucu menurutku, hingga membuatku tersenyum.Sudah lama aku tidak merasakan perasaan bebas seperti ini. Bersama dengan Rena, aku seperti dilempar ke masa lalu. Bebas dan tidak perlu terbebani dengan apapun itu. Sungguh, aku rindu dengan masa-masa dulu.“Han!” Rena menepuk pundakku, membuatku berjingkrak kaget. Beruntung stir kemudi tetap kokoh dalam genggaman.“Apaan, sih? Bikin kaget aja!” keluhku menanggapi.“Kenapa senyum-senyum se
“Iya, Mas. Kan saya sudah lama bekerja dengan pak Baskoro.Dulu saya bekerja di villa yang lama, karena villanya sudah tua dan bangunannya padakeropos, saya dipindahkan kemari. Oya, ngomong-ngomong, pak Tito bukan priabaik-baik menurut saya. Maaf lo ya, hanya menurut perasaan saya saja.”Beberapa orang yang kutemui mengatakan hal yang sama tentangTito. Apa benar begitu? Lalu, kenapa pak Baskoro nekat menjodohkan Rena denganTito? Dan sekarang, beliau malah seakan-akan sedang menjauhkan anaknya dari pria itu.“Apa Mas Rohan nggak tau, kalau sebenarnya non Rena terpaksabertunangan dengan pak Tito?”Aku menoleh ke arah pria yang tampak serius dengankata-katanya itu.Aku pun menggeleng.“Non Rena itu nggak pernah pacaran. Beberapa kali dekatdengan anak temannya pak Baskoro, tapi nggak pernah jadi.”“Kok, Mamang tau?”“Ya tau saja, isteri saya dulu bekerja jadi pembantu dirumah pak Baskoro dan sering cerita keadaan di sana. Karena istri saya sakit, terus berhenti.”“Oh.” Aku menanggapi.“Kas