Share

Bab 407

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-27 12:29:06

Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan.

Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit.

Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa.

"Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku.

"Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."

Aku mengangguk.

Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya.

Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah.

Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter.

"Aruna, kamu mau ke mana?"

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 408 Ending season 2

    "Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-27
  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 1

    "Jangan bawa apa pun dari rumah ini!" Kaki yang sudah hampir menginjak tanah harus kutarik kembali setelah mendengar seseorang berteriak di belakangku. Aku menoleh. Wajah marah ibu mertua terpampang dia sana. Ia mendekatiku, merebut tas besar berisikan pakaianku dan Saffa. "Itu bajuku, Bu.""Tapi, ini dibeli menggunakan uang Haikal. Aku tidak ridho, kamu membawa barang yang dibeli oleh uang putraku!" sergahnya seraya merebut boneka yang tengah dipeluk Saffa. Putriku terhuyung, ia jatuh tersungkur karena kasarnya tarikan tangan ibu mertua. Aku langsung mengambil tubuh mungil putriku yang masih berusia tiga tahun itu. Saffa menangis, ia menginginkan boneka kesayangannya kembali. Namun, ibu mertua menutup mata. Ia sama sekali tidak tersentuh dengan rengekan cucunya yang meronta ingin mengambil barang miliknya. Hatinya mati karena rasa benci. Amarah sudah menutupi rasa kasih yang harusnya dia berikan kepada anakku."Nenek, Nenek," rengek Saffa berusaha menjangkau boneka yang kini sud

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-24
  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 2

    "Kita ke mana?" "Ke rumah lah, masa iya ke panti jompo," ucapku ketus. "Ke rumah Bapak? Emang masih akan diterima?" Aku diam seribu bahasa. Pertanyaan yang dilontarkan Adi membuatku memijit kepala yang sedikit cenat-cenut. Benar apa kata Adi. Apakah seorang Alina Martadinata masih diterima di rumah itu? Rumah orang tua yang sengaja ditinggalkan karena lebih memilih seorang pria yang dicintainya. Ah, otakku seperti tidak berfungsi. Apa yang akan Papa katakan ketika nanti aku pulang. Tertawa. Iya, mereka pasti akan menertawakan kemalanganku. "Jadi, kita akan ke mana, Non? Tetap ke rumah Bapak?" Adi mengulangi pertanyaan yang sama. "Tidak.""Lalu?" "Kita ke ... ah, aku tidak tahu, Adi. Aku tidak punya tempat untuk tinggal sekarang ini. Jangankan rumah, baju pun aku tidak memilikinya. Yang aku punya hanya ... Saffa," ujarku seraya memeluk tubuh putriku. Adi mengembuskan napas kasar. Supir pribadi yang selalu setia mengabdi itu tidak lagi bertanya. Ia tetap menjalankan roda empa

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-24
  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 3

    "Bangun, Al. Ayo, kita masuk," ujar Mama menarik kedua pundakku. Bingung. Sikap papa yang enggan bicara padaku membuat diri ini merasa tidak pantas untuk ikut masuk ke dalam rumah. Namun, untuk pergi pun aku tidak bisa. Papa sudah membawa Saffa ke dalam sana. Tidak mungkin aku berteriak meminta Saffa dari papa. Untuk memaksa agar Papa bicara padaku pun, aku tidak punya hak. Mulut-mulut Papa, mana bisa aku memaksakanya. Ah, aku benar-benar bingung."Alina, ayo!" Mama menarik kembali tanganku. "Tapi, Mah. Papa tidak bicara. Dia tidak memaafkan Alina.""Ck'. Lima tahun berpisah, kamu sudah lupa dengan karakter papamu? Apa kamu tidak mendengar apa yang tadi dia katakan?"Aku menggelengkan kepala tanda tidak paham. "Papa sudah menyuruh anak buahnya menyelidiki mantan suamimu, itu artinya dia akan membuat perhitungan dengan si Haikal itu. Sudah, ayo cepetan masuk," titah Mama lagi. Aku mulai bergerak. Berdiri dan melangkahkan kaki mengikuti Mama. Mata ini melihat ke sekeliling rumah.

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-24
  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 4

    "Nenek bilang jangan, ya jangan. Bandel banget, sih gak bisa dibilangin!"Aku yang tengah mencuci piring di dapur, segera meninggalkan pekerjaanku saat mendengar suara tangis Saffa dengan diiringi bentakan ibu. 'Entah apa yang diperbuat Saffa hingga membuat neneknya itu marah. Ah, paling juga nyenggol barang, atau mungkin Saffa lari-lari yang kemudian tidak sengaja menginjak kaki ibu," pikirku. Namanya juga anak-anak, pasti ada saja kelakuan dia yang membuat orang dewasa harus memakluminya. Tapi, tidak untuk ibu mertuaku itu. Sekecil apa pun kesalahan Saffa, selalu dipandang dengan serius. Dibesar-besarkan hingga tidak jarang anakku dicubit sampai menangis. "Ih ... disuruh diem, juga. Diem, jangan nangis terus!" bentak ibu lagi seraya menggiring Saffa dengan kasar hingga anakku tersungkur ke lantai. "Ya Allah, Ibu. Kenapa Saffa didorong gitu, sih?" Segera aku mengambil putriku dan mengusap kedua pipinya yang basah oleh air mata. "Didorong gimana? Orang anakmu jatuh sendiri, juga

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-24
  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 5

    "Tetep mau ke pabrik?" tanya Mama saat kami tengah menikmati sarapan pagi. Aku mengangguk seraya menyuapkan nasi ke dalam mulut dengan cepat. Pagi ini aku bangun kesiangan. Bukan karena saking nyenyaknya tidur di kasur besar, tapi karena Saffa yang merengek minta pulang. Ia tidak bisa tidur karena tidak ada boneka kesayangannya yang diambil ibu waktu itu. Mama dan papa bergantian membujuk bahkan menggendong putriku, hingga akhirnya Saffa bisa tidur karena sudah terlalu lelah menangis. "Kenapa harus ke pabrik, sih, Al. Sudahlah, mendingan kita jalan-jalan saja, yuk. Belanja, bermain dan membeli boneka untuk Saffa," tutur Mama membujuk. Namun, keputusanku sudah bulat. Aku akan tetap pergi ke pabrik untuk bekerja. Menjalankan misi, yang semalam sudah aku bahas dengan papa. "Tidak bisa, Mah. Alina harus tetap bekerja. Dan ... titip Saffa, ya, Mah?" ujarku melirik pada putri kecil yang ikut sarapan bersama kami. "Gak usah dititipin juga, Saffa sudah jadi tanggung jawab kami, Al. Per

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-24
  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 6

    "Huft, ternyata ngerjain orang itu menegangkan," ujarku langsung menghenyakkan bokong pada kursi. Membuka tutup botol, menegak air minum yang ada di dalamnya. Satu persatu orang-orang mulai berdatangan menghampiri tempat duduk mereka masih-masing. Bisa aku dengar jika mereka datang seraya membahas apa yang baru saja terjadi di toilet yang letaknya berada di dekat grup A. Sedangkan aku, berada di grup G dengan ketua grup yang tak lain adalah mantan suamiku sendiri. Ih, malas sekali harus bertemu setiap hari dengannya. Bersikap santun pada pria yang sudah menggoreskan banyak luka dalam hidupku. "Lin, kamu berantem dengan Mbak Amira?" Aku menoleh pada teman satu grup yang langsung menghampiri mejaku. "Ih, berantem apaan?" ujarku mengerutkan kening, mengedikkan bahu."Itu, di grup A rame pada ngomongin kamu. Katanya kamu jorokin Qiusi mereka sampai bokongnya basah kena air di toilet," ujar Nela lagi. Aku menarik tangan temanku itu agar merendahkan tubuhnya. Berbisik di telinga dia

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-24
  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 7

    "Huhu ... Saffa." Aku memeluk tubuh mungil putriku dengan sangat erat. Jantung ini seakan berhenti berdetak kala sepeda motor tadi melesat cepat menghadirkan angin yang menyapu wajahku. Bayangan akan kehilangan putri semata wayangku sudah terpampang jelas. Namun, Tuhan berkehandak lain membuat bayangan menyeramkan itu hilang berganti dengan rasa syukur yang tiada tara."Kamu, tuh kalau sama anak, tangannya jangan dilepasin. Untung saja aku bisa menarik dia, kalau tidak? Mati, tuh anak!" ujar Mbak Sum yang tadi menolong Saffa. Wanita yang dikenal paling bengal di pabrik itu berujar kesal padaku. Bagiamana tidak, dia harus jatuh terjengkang ke belakang seraya memeluk tubuh Saffa demi menghindari sepeda motor tadi.Aku tidak menjawab apa-apa. Masih duduk di tanah seraya terus memeluk putriku menciumi pucuk kepalanya berulang kali. "Terima kasih, ya sudah menolong cucu saya," ujar Mama terdengar suaranya. Orang-orang berkerumun melihat diri ini yang menangis bersimpuh masih enggan me

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30

Bab terbaru

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 408 Ending season 2

    "Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 407

    Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 406

    Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 405

    Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb

  • Membalas Kesombongan Mantan   404

    Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 403 tidak marah lagi

    "Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 402 gara-gara membahas anak

    Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 401 maaf dan permintaan laki-laki di balik jeruji besi

    "Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 400 menggoda Syafiq

    "Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan

DMCA.com Protection Status