Share

Bab 5

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Tetep mau ke pabrik?" tanya Mama saat kami tengah menikmati sarapan pagi. 

Aku mengangguk seraya menyuapkan nasi ke dalam mulut dengan cepat. 

Pagi ini aku bangun kesiangan. Bukan karena saking nyenyaknya tidur di kasur besar, tapi karena Saffa yang merengek minta pulang. Ia tidak bisa tidur karena tidak ada boneka kesayangannya yang diambil ibu waktu itu. 

Mama dan papa bergantian membujuk bahkan menggendong putriku, hingga akhirnya Saffa bisa tidur karena sudah terlalu lelah menangis. 

"Kenapa harus ke pabrik, sih, Al. Sudahlah, mendingan kita jalan-jalan saja, yuk. Belanja, bermain dan membeli boneka untuk Saffa," tutur Mama membujuk. 

Namun, keputusanku sudah bulat. Aku akan tetap pergi ke pabrik untuk bekerja. Menjalankan misi, yang semalam sudah aku bahas dengan papa. 

"Tidak bisa, Mah. Alina harus tetap bekerja. Dan ... titip Saffa, ya, Mah?" ujarku melirik pada putri kecil yang ikut sarapan bersama kami. 

"Gak usah dititipin juga, Saffa sudah jadi tanggung jawab kami, Al. Percaya sama Mama, Saffa akan baik-baik saja di sini." Mama berujar yakin.

Aku percaya, dan sangat percaya jika Mama bisa menjaga Saffa dengan baik. Namun, masalahnya ada pada Saffa. Gadis kecil itu merengut enggan aku tinggal. Wajar, rumah ini dan kedua orang tuaku masih asing untuk Saffa. Alhasil, kami membutuhkan banyak waktu untuk membujuk putriku itu. 

Setelah sarapan dan berhasil membujuk Saffa, aku pun segera berangkat ke pabrik. Pagi sekali aku berangkat, karena jarak pabrik dari rumah Papa lumayan jauh. 

"Berangkat, Di," ujarku setelah masuk ke dalam mobil. 

"Tetap kerja, Non? Saya kira, Non Alina tidak akan ke pabrik lagi," ucap Adi membuka percakapan. 

Adi melirikku dari kaca spion depan. Ia menyimpan ponselnya di dashboard mobil, lalu mulai menghidupkan mesin mobil. 

"Mana bisa begitu, Di. Aku harus tetap kerja, untuk menghidupi putriku," ucapku.

"Alah, modus. Palingan, Non Alina mau berbuat sesuatu. Mana mungkin sudah kembali ke istana masih mau kerja jadi upik abu. Pasti ada sesuatu, ini," ujar Adi diakhiri dengan kekehan. 

Aku hanya mengerucutkan bibir seraya menatap layar ponsel. Ponsel baru, yang dibelikan Mama malam tadi. 

Apa yang aku pakai sekarang ini, semua serba baru. Termasuk dalaman. Identitas Mas Haikal benar-benar sudah hilang dari dalam diriku. Akan aku buang jauh-jauh semua tentang dia, meskipun hanya bayangannya sekalipun. 

"Non."

"Hem." Aku bergumam menjawab panggilan Adi.

"Boleh nanya sesuatu, gak?" 

Aku menghentikan jari-jariku yang sedang menjelajahi layar ponsel sejenak, lalu kembali berselancar di dunia maya.

"Tanya aja, Di."

"Non Alina sudah berpisah resmi, atau masih secara agama?" 

Aku melirik sekilas pada Adi yang juga tengah melirikku lewat kaca spion depan. 

Pertanyaan yang aneh. 

"Kenapa tiba-tiba kamu nanya gitu? Kepo," ucapku kembali mengalihkan pandangan pada ponsel. 

"Hanya nanya, Non. Biar tidak suntuk di perjalanan."

Aku diam. Menurutku, pertanyaan Adi tidak penting harus aku jawab. Itu sudah sangat pribadi, dan aku bukan tipe orang yang mudah membahas masalah rumah tangga dengan orang lain. 

Kisahku dengan Mas Haikal memang sudah selesai tiga bulan yang lalu. Surat dari pengadilan pun sudah aku pegang. Bahkan, aku menghabiskan masa iddahku di rumah dia. Bukan karena aku tidak tahu malu, tapi demi menjaga harga diriku sebagai seorang wanita. Rasa sakit kutekan, demi sebuah kebebasan yang sesungguhnya. 

"Maaf, Non, saya lancang," ucap Adi menyadari kebisuanku. 

"Tak apa, Di. Aku hanya sedang tidak ingin membahas masalah itu," pungkasku. 

Tidak ada obrolan lagi antara aku dan Adi hingga akhirnya kami sampai di depan pintu gerbang pabrik. 

Saat turun, aku jadi pusat perhatian karena keluar dari mobil sedan buatan Jerman berwarna putih mengkilap. 

Kasak-kusuk orang-orang kudengar tidak enak di telinga. Ada yang bilang itu adalah taksi online, tapi tak jarang juga ada yang mengatakan jika yang baru saja mengantarkanku adalah pelangganku.

Duh, pemikiran yang sangat sempit. Apa hanya karena jadi janda, aku rela menjajakkan diri pada seorang pria? 

Itu tidak mungkin. 

"Lin, tadi siapa? Pacar atau langgananmu? tanya wanita berambut pirang saat aku melewatinya. 

"Bosnya kali," timpal teman yang ada di sampingnya.

Aku sama sekali tidak menghiraukan ucapan-ucapan sumbang mereka. Bergegas masuk ke dalam pabrik, lalu berjalan ke arah kamar kecil. Mencuci muka mungkin akan membuat suasana hatiku kembali dingin. 

"Baru beberapa bulan menjanda, sekarang sudah berani diantar laki-laki kaya. Atau jangan-jangan ... sebenarnya wanita penggoda?" 

Aku berhenti melangkah, menatap tajam pada seorang wanita yang baru saja menyindirku. Dia memang tidak menyebut nama, tapi kata-katanya sangat jelas mengarah padaku yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Dan hanya ada kami berdua di tempat ini. 

"Apa kata-katamu tadi untukku?" tanyaku seraya melangkah pelan ke arahnya. 

"Iya, untukmu."

"Terima kasih. Kata-kata mutiaramu sangat bagus. Tapi ... apa kamu tidak tersindir dengan kata-katamu itu?" 

Wanita beralis tebal itu menatapku penuh tanda tanya. "Apa maksudmu?" tanyanya.

Ah, aku kira mantan maduku itu pintar. Ternyata tidak secerdas yang aku pikirkan. Atau, dia sedang berpura-pura polos seperti saat mengatakan kepada semua orang tentang pernikahannya dengan Mas Haikal yang dia akui atas permintaanku. 

Dasar ratu drama. 

Aku kembali melangkah. Mengikis jarak, membuat dia berada dalam ancaman. Suatu keuntungan kami bisa bertemu di sini. Karena apa? Karena di sini tidak ada CCTV yang akan merekam perbuatanku pada wanita sok kaya itu. 

"Wanita penggoda. Bukankah kata itu sangat pantas untukmu? Kamu menggoda seorang pria yang pada saat itu masih menjadi suami wanita lain. Lalu kemudian menikah, tanpa sedikit pun memikirkan perasaan istrinya," ujarku mengeratkan gigi gemas. 

Ingin sekali aku mencakar wajahnya dan memakan dia hidup-hidup. Namun, itu tidak akan menyenangkan untukku. Yang menyenangkan ialah ... aku terus berjalan hingga membuat dia memundurkan langkah kakinya menghindariku.

"Untuk apa aku harus memikirkan perasaanmu? Aku menikah karena Haikal yang minta. Dia bosan padamu yang tidak bisa memberikan apa yang dia inginkan. Sedangkan dariku, semuanya dia dapatkan. Kehangatan, kebahagiaan, bahkan kekayaan."

"Bangga dengan itu?" ujarku sembari terus melangkah. 

"Ya, tentu saja. Buktinya, setiap hari Haikal terus memuji kecantikanku dan menjelekkanmu. Kamu tidak ada apa-apanya dibandingkan diriku, Alina," ucap Amira dengan begitu pongahnya. 

Aku berhenti melangkah. Menelengkan kepala memastikan jika target akan mengenai sasaran. 

"Benarkah? Ok, kita lihat, apakah Haikalmu itu akan datang menolong ketika istrinya ini berada dalam ...."

BYURRR!!

Aku mengangkat kedua tangan, mendorong pundak Amira hingga ia tercebur ke dalam ember besar berisikan air kotor bekas mengepel lantai. Kemudian aku berlari tunggang langgang menjauh dari area toilet sebelum ada orang lain yang melihat keberadaanku. 

"Alina!!" 

Bersambung

Komen (17)
goodnovel comment avatar
Yani Cahaya
hahahha blas dendam di mulai
goodnovel comment avatar
Rinaray Uyahmandaun
terbaiklah Alina terus bangkit
goodnovel comment avatar
Bunda Cayang
lanjut kn balas dendam mu alina... aku suka caramu...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 6

    "Huft, ternyata ngerjain orang itu menegangkan," ujarku langsung menghenyakkan bokong pada kursi. Membuka tutup botol, menegak air minum yang ada di dalamnya. Satu persatu orang-orang mulai berdatangan menghampiri tempat duduk mereka masih-masing. Bisa aku dengar jika mereka datang seraya membahas apa yang baru saja terjadi di toilet yang letaknya berada di dekat grup A. Sedangkan aku, berada di grup G dengan ketua grup yang tak lain adalah mantan suamiku sendiri. Ih, malas sekali harus bertemu setiap hari dengannya. Bersikap santun pada pria yang sudah menggoreskan banyak luka dalam hidupku. "Lin, kamu berantem dengan Mbak Amira?" Aku menoleh pada teman satu grup yang langsung menghampiri mejaku. "Ih, berantem apaan?" ujarku mengerutkan kening, mengedikkan bahu."Itu, di grup A rame pada ngomongin kamu. Katanya kamu jorokin Qiusi mereka sampai bokongnya basah kena air di toilet," ujar Nela lagi. Aku menarik tangan temanku itu agar merendahkan tubuhnya. Berbisik di telinga dia

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 7

    "Huhu ... Saffa." Aku memeluk tubuh mungil putriku dengan sangat erat. Jantung ini seakan berhenti berdetak kala sepeda motor tadi melesat cepat menghadirkan angin yang menyapu wajahku. Bayangan akan kehilangan putri semata wayangku sudah terpampang jelas. Namun, Tuhan berkehandak lain membuat bayangan menyeramkan itu hilang berganti dengan rasa syukur yang tiada tara."Kamu, tuh kalau sama anak, tangannya jangan dilepasin. Untung saja aku bisa menarik dia, kalau tidak? Mati, tuh anak!" ujar Mbak Sum yang tadi menolong Saffa. Wanita yang dikenal paling bengal di pabrik itu berujar kesal padaku. Bagiamana tidak, dia harus jatuh terjengkang ke belakang seraya memeluk tubuh Saffa demi menghindari sepeda motor tadi.Aku tidak menjawab apa-apa. Masih duduk di tanah seraya terus memeluk putriku menciumi pucuk kepalanya berulang kali. "Terima kasih, ya sudah menolong cucu saya," ujar Mama terdengar suaranya. Orang-orang berkerumun melihat diri ini yang menangis bersimpuh masih enggan me

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 8

    Permainan hari ini sepertinya sudah cukup. Aku mengambil ponsel, menelepon supir mobil derek yang membawa mobil Mas Haikal. "Pak, berhenti, Pak. Ternyata itu bukan mobil suami saya. Mobil suami saya sudah diambil sama karyawan bengkel.""Lah, si Ibu gimana, sih? Katanya bener itu mobilnya. Terus ini yang saya bawa mobil siapa?" tanyanya panik. "Punya orang. Itu pemiliknya sampai ngejar-ngejar di belakang.""Aduuuh, si Ibu bikin masalah saja, kalau orangnya minta ganti rugi gimana, Bu?" "Tentang, Pak. Saya yang tangguh jawab. Biaya angkut mobil itu juga akan saya bayar dua kali lipat. Bapak gak usah khawatir."Sambungan telepon terputus. Mobil derek itu berhenti dan si supir keluar dari mobilnya. Perdebatan antara Mas Haikal dengan supir mobil derek pun terjadi. Tapi, untungnya si supir tidak mengatakan diriku sebagai dalang dari masalah ini. Aku sudah mewanti-wanti dia dan akan aku beri imbalan yang setimpal untuk kerja sama yang menyenangkan ini. Pak Yadi—supir Papa sudah datang.

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 9

    Gelak tawa laki-laki terdengar begitu menyenangkan saat kaki ini mulai mendekati ruang tamu. Sepertinya, orang yang ingin bertemu denganku bukanlah orang baru untuk Papa. Apa mungkin rekan bisnis Papa? Lalu, kenapa dia mau menemuiku? Seingatku, aku tidak mengenal siapa-siapa saja yang berbisnis dengan Papa. Dekat, apalagi. Sangat tidak sama sekali. Mungkinkah temanku? Rasanya tidak mungkin temanku bisa membuat Papa tertawa lepas seperti itu. Kepulanganku ke rumah ini pun tidak diketahui mereka. "Pak Gunawan. Apa kabar, Pak?" Langkahku terhenti saat Mama menyebutkan satu nama yang tidak asing di telingaku. Kakiku refleks berhenti dan mematung di belakang sofa yang kosong. Gunawan. Aku pernah mendengar nama itu disebutkan Papa beberapa kali di rumah ini. Yang aku tahu, dia adalah seorang pengusaha textile yang tak lain adalah sahabat Papa juga. Pak Gunawan jugalah yang waktu itu menawarkan perjodohan antara aku dan putranya yang sampai saat ini belum aku ketahui. Penolakan dari

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 10

    Tiga puluh menit berlalu tangis Saffa belum juga mereda. Suaranya sudah sangat parau dengan keringat membanjiri wajahnya. Kalau sudah begini, tidak ada cara lain selain pergi untuk mendapatkan apa yang Saffa inginkan. Saffa akan kuat untuk menahan tidak jajan atau tidak makan. Itu sudah biasa. Tapi, untuk pisah lama jauh dari bonekanya, ya seperti sekarang ini. Mengamuk tak tahu waktu. Salah aku juga, sih kemarin menjanjikan akan segera memberikan dia yang baru. Tapi, kejadian di depan pabrik tadi sudah menyita waktuku untuk pergi ke toko boneka. "Dah, yu beli, yuk." Bang Aldi sudah membawa kunci mobil miliknya. Dia mengangkat tubuh Saffa yang terkulai di lantai. Tidak ada perlawan dari putriku. Lama menangis membuat dia kelelahan dan pasrah digendong oleh pamannya itu. Di dalam mobil, aku memperbaiki rambut Saffa yang berantakan. Mengusap wajahnya yang penuh air mata dengan rasa yang entah mengapa membuatku ingin menangis. Seharusnya, seorang ayah ada di saat putrinya merajuk

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 11

    "Ya ampun, Al, banyak banget bonekanya?" "Stttt ..." Aku memberikan isyarat kepada Mama karena putriku telah tidur dalam gendongan.Mama mengerti. Ia membiarkanku untuk masuk melewati dia yang masih kebingungan melihat banyak sekali boneka yang dikeluarkan Bang Aldi dari mobil.Sampai di kamar, aku segera menurunkan Saffa yang terlelap tidak melepaskan boneka barunya. Hati merasa lega karena Saffa tidak meminta boneka yang lama. Ia cukup senang dengan barang yang saat ini dipeluknya. "Popo."Aku menyunggingkan senyum saat bibir mungil itu berucap seraya mengeratkan pelukan pada mainan barunya. Setelah memastikan Saffa tidur dengan nyaman, aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sesudahnya, aku langsung merebahkan diri di samping putriku. Mengistirahatkan tubuh serta pikiran. Biarkanlah Bang Aldi yang menjelaskan kepada Mama kejadian di mall tadi. Jangankan Mama, Bang Aldi pun terkejut karena aku keluar dengan banyak sekali boneka itu. Ah, rasanya aku ingin tertawa denga

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 12

    "Tahu, Non.""Tahu anaknya?" tanyaku membuat Adi sedikit memelankan laju mobil. "Kenapa Non Alina menanyakan anak Pak Gunawan?""Semalam, Pak Gunawan datang lagi. Kayaknya, yah mereka masih mau menjodohkan aku dengan anak Pak Gunawan itu, deh. Aku juga heran, apa laki-laki itu tidak laku-laku hingga masih sendiri sampai saat ini?""Ah, masa gak laku, Non. Anaknya Pak Gunawan ganteng, lho.""Ya, kamu pikir saja, Di. Aku udah nikah, lima tahun yang lalu. Tapi, itu cowok enggak nikah-nikah. Apa sebenarnya dia udah nikah, tapi saat mendengar aku cerai, dia juga menceraikan istrinya? Wah, gak bener, tuh laki. Sarap."Adi tidak menjawab. Dia malah terkekeh, menutup mulutnya dengan punggung tangan. Aku bukan mengada-ada, tapi menduga-duga. Umumnya, orang yang ditolak, ditinggal nikah, pasti mencari kebahagiaan baru dengan orang yang baru. Tapi orang yang tidak aku tahu namanya itu, seperti yang mati rasa. "Apa jangan-jangan dia belok, ya, Di?" "Hahaha, si Non ada-ada saja. Sudah sampai, t

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 13

    "Kamu tahu kenapa dipanggil ke sini?" Aku menggelengkan kepala dengan pandangan tak lepas dari pria berjas hitam itu. Wajahnya tak asing. Aku cukup mengenal siapa dia yang tak lain mertua baru Mas Haikal, ayah dari Amira, sekaligus manager produksi di garmen cabang ini. Tadi, setelah riuh gembira teman-teman karena mendapatkan undangan dari Papa, aku dipanggil untuk menghadap pimpinan. Teman-temanku bingung, tidak tahu kenapa aku dipanggil oleh pimpinan. Seingatku, aku tidak melakukan kesalahan fatal yang merugikan perusahaan. Apa hanya karena tadi aku datang terlambat? Sepertinya bukan. Telat sepuluh menit masih bisa masuk dan bekerja, meskipun ada potongan gaji nantinya. "Apa yang kamu lakukan sudah di luar batas. Tidak seharusnya menjebak anak saya untuk membayar belanjaan kamu."Aku tertegun. Mencerna ucapan Pak Baskoro yang baru saja dia ucapkan. Dia membahas masalahku semalam dengan anak menantunya?Aku tersenyum miring."Bapak memanggil saya datang ke sini untuk membaha

Bab terbaru

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 408 Ending season 2

    "Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 407

    Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 406

    Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 405

    Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb

  • Membalas Kesombongan Mantan   404

    Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 403 tidak marah lagi

    "Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 402 gara-gara membahas anak

    Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 401 maaf dan permintaan laki-laki di balik jeruji besi

    "Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 400 menggoda Syafiq

    "Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan

DMCA.com Protection Status