"Tetep mau ke pabrik?" tanya Mama saat kami tengah menikmati sarapan pagi.
Aku mengangguk seraya menyuapkan nasi ke dalam mulut dengan cepat.
Pagi ini aku bangun kesiangan. Bukan karena saking nyenyaknya tidur di kasur besar, tapi karena Saffa yang merengek minta pulang. Ia tidak bisa tidur karena tidak ada boneka kesayangannya yang diambil ibu waktu itu.
Mama dan papa bergantian membujuk bahkan menggendong putriku, hingga akhirnya Saffa bisa tidur karena sudah terlalu lelah menangis.
"Kenapa harus ke pabrik, sih, Al. Sudahlah, mendingan kita jalan-jalan saja, yuk. Belanja, bermain dan membeli boneka untuk Saffa," tutur Mama membujuk.
Namun, keputusanku sudah bulat. Aku akan tetap pergi ke pabrik untuk bekerja. Menjalankan misi, yang semalam sudah aku bahas dengan papa.
"Tidak bisa, Mah. Alina harus tetap bekerja. Dan ... titip Saffa, ya, Mah?" ujarku melirik pada putri kecil yang ikut sarapan bersama kami.
"Gak usah dititipin juga, Saffa sudah jadi tanggung jawab kami, Al. Percaya sama Mama, Saffa akan baik-baik saja di sini." Mama berujar yakin.
Aku percaya, dan sangat percaya jika Mama bisa menjaga Saffa dengan baik. Namun, masalahnya ada pada Saffa. Gadis kecil itu merengut enggan aku tinggal. Wajar, rumah ini dan kedua orang tuaku masih asing untuk Saffa. Alhasil, kami membutuhkan banyak waktu untuk membujuk putriku itu.
Setelah sarapan dan berhasil membujuk Saffa, aku pun segera berangkat ke pabrik. Pagi sekali aku berangkat, karena jarak pabrik dari rumah Papa lumayan jauh.
"Berangkat, Di," ujarku setelah masuk ke dalam mobil.
"Tetap kerja, Non? Saya kira, Non Alina tidak akan ke pabrik lagi," ucap Adi membuka percakapan.
Adi melirikku dari kaca spion depan. Ia menyimpan ponselnya di dashboard mobil, lalu mulai menghidupkan mesin mobil.
"Mana bisa begitu, Di. Aku harus tetap kerja, untuk menghidupi putriku," ucapku.
"Alah, modus. Palingan, Non Alina mau berbuat sesuatu. Mana mungkin sudah kembali ke istana masih mau kerja jadi upik abu. Pasti ada sesuatu, ini," ujar Adi diakhiri dengan kekehan.
Aku hanya mengerucutkan bibir seraya menatap layar ponsel. Ponsel baru, yang dibelikan Mama malam tadi.
Apa yang aku pakai sekarang ini, semua serba baru. Termasuk dalaman. Identitas Mas Haikal benar-benar sudah hilang dari dalam diriku. Akan aku buang jauh-jauh semua tentang dia, meskipun hanya bayangannya sekalipun.
"Non."
"Hem." Aku bergumam menjawab panggilan Adi.
"Boleh nanya sesuatu, gak?"
Aku menghentikan jari-jariku yang sedang menjelajahi layar ponsel sejenak, lalu kembali berselancar di dunia maya.
"Tanya aja, Di."
"Non Alina sudah berpisah resmi, atau masih secara agama?"
Aku melirik sekilas pada Adi yang juga tengah melirikku lewat kaca spion depan.
Pertanyaan yang aneh.
"Kenapa tiba-tiba kamu nanya gitu? Kepo," ucapku kembali mengalihkan pandangan pada ponsel.
"Hanya nanya, Non. Biar tidak suntuk di perjalanan."
Aku diam. Menurutku, pertanyaan Adi tidak penting harus aku jawab. Itu sudah sangat pribadi, dan aku bukan tipe orang yang mudah membahas masalah rumah tangga dengan orang lain.
Kisahku dengan Mas Haikal memang sudah selesai tiga bulan yang lalu. Surat dari pengadilan pun sudah aku pegang. Bahkan, aku menghabiskan masa iddahku di rumah dia. Bukan karena aku tidak tahu malu, tapi demi menjaga harga diriku sebagai seorang wanita. Rasa sakit kutekan, demi sebuah kebebasan yang sesungguhnya.
"Maaf, Non, saya lancang," ucap Adi menyadari kebisuanku.
"Tak apa, Di. Aku hanya sedang tidak ingin membahas masalah itu," pungkasku.
Tidak ada obrolan lagi antara aku dan Adi hingga akhirnya kami sampai di depan pintu gerbang pabrik.
Saat turun, aku jadi pusat perhatian karena keluar dari mobil sedan buatan Jerman berwarna putih mengkilap.
Kasak-kusuk orang-orang kudengar tidak enak di telinga. Ada yang bilang itu adalah taksi online, tapi tak jarang juga ada yang mengatakan jika yang baru saja mengantarkanku adalah pelangganku.
Duh, pemikiran yang sangat sempit. Apa hanya karena jadi janda, aku rela menjajakkan diri pada seorang pria?
Itu tidak mungkin.
"Lin, tadi siapa? Pacar atau langgananmu? tanya wanita berambut pirang saat aku melewatinya.
"Bosnya kali," timpal teman yang ada di sampingnya.
Aku sama sekali tidak menghiraukan ucapan-ucapan sumbang mereka. Bergegas masuk ke dalam pabrik, lalu berjalan ke arah kamar kecil. Mencuci muka mungkin akan membuat suasana hatiku kembali dingin.
"Baru beberapa bulan menjanda, sekarang sudah berani diantar laki-laki kaya. Atau jangan-jangan ... sebenarnya wanita penggoda?"
Aku berhenti melangkah, menatap tajam pada seorang wanita yang baru saja menyindirku. Dia memang tidak menyebut nama, tapi kata-katanya sangat jelas mengarah padaku yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Dan hanya ada kami berdua di tempat ini.
"Apa kata-katamu tadi untukku?" tanyaku seraya melangkah pelan ke arahnya.
"Iya, untukmu."
"Terima kasih. Kata-kata mutiaramu sangat bagus. Tapi ... apa kamu tidak tersindir dengan kata-katamu itu?"
Wanita beralis tebal itu menatapku penuh tanda tanya. "Apa maksudmu?" tanyanya.
Ah, aku kira mantan maduku itu pintar. Ternyata tidak secerdas yang aku pikirkan. Atau, dia sedang berpura-pura polos seperti saat mengatakan kepada semua orang tentang pernikahannya dengan Mas Haikal yang dia akui atas permintaanku.
Dasar ratu drama.
Aku kembali melangkah. Mengikis jarak, membuat dia berada dalam ancaman. Suatu keuntungan kami bisa bertemu di sini. Karena apa? Karena di sini tidak ada CCTV yang akan merekam perbuatanku pada wanita sok kaya itu.
"Wanita penggoda. Bukankah kata itu sangat pantas untukmu? Kamu menggoda seorang pria yang pada saat itu masih menjadi suami wanita lain. Lalu kemudian menikah, tanpa sedikit pun memikirkan perasaan istrinya," ujarku mengeratkan gigi gemas.
Ingin sekali aku mencakar wajahnya dan memakan dia hidup-hidup. Namun, itu tidak akan menyenangkan untukku. Yang menyenangkan ialah ... aku terus berjalan hingga membuat dia memundurkan langkah kakinya menghindariku.
"Untuk apa aku harus memikirkan perasaanmu? Aku menikah karena Haikal yang minta. Dia bosan padamu yang tidak bisa memberikan apa yang dia inginkan. Sedangkan dariku, semuanya dia dapatkan. Kehangatan, kebahagiaan, bahkan kekayaan."
"Bangga dengan itu?" ujarku sembari terus melangkah.
"Ya, tentu saja. Buktinya, setiap hari Haikal terus memuji kecantikanku dan menjelekkanmu. Kamu tidak ada apa-apanya dibandingkan diriku, Alina," ucap Amira dengan begitu pongahnya.
Aku berhenti melangkah. Menelengkan kepala memastikan jika target akan mengenai sasaran.
"Benarkah? Ok, kita lihat, apakah Haikalmu itu akan datang menolong ketika istrinya ini berada dalam ...."
BYURRR!!
Aku mengangkat kedua tangan, mendorong pundak Amira hingga ia tercebur ke dalam ember besar berisikan air kotor bekas mengepel lantai. Kemudian aku berlari tunggang langgang menjauh dari area toilet sebelum ada orang lain yang melihat keberadaanku.
"Alina!!"
Bersambung
"Huft, ternyata ngerjain orang itu menegangkan," ujarku langsung menghenyakkan bokong pada kursi. Membuka tutup botol, menegak air minum yang ada di dalamnya. Satu persatu orang-orang mulai berdatangan menghampiri tempat duduk mereka masih-masing. Bisa aku dengar jika mereka datang seraya membahas apa yang baru saja terjadi di toilet yang letaknya berada di dekat grup A. Sedangkan aku, berada di grup G dengan ketua grup yang tak lain adalah mantan suamiku sendiri. Ih, malas sekali harus bertemu setiap hari dengannya. Bersikap santun pada pria yang sudah menggoreskan banyak luka dalam hidupku. "Lin, kamu berantem dengan Mbak Amira?" Aku menoleh pada teman satu grup yang langsung menghampiri mejaku. "Ih, berantem apaan?" ujarku mengerutkan kening, mengedikkan bahu."Itu, di grup A rame pada ngomongin kamu. Katanya kamu jorokin Qiusi mereka sampai bokongnya basah kena air di toilet," ujar Nela lagi. Aku menarik tangan temanku itu agar merendahkan tubuhnya. Berbisik di telinga dia
"Huhu ... Saffa." Aku memeluk tubuh mungil putriku dengan sangat erat. Jantung ini seakan berhenti berdetak kala sepeda motor tadi melesat cepat menghadirkan angin yang menyapu wajahku. Bayangan akan kehilangan putri semata wayangku sudah terpampang jelas. Namun, Tuhan berkehandak lain membuat bayangan menyeramkan itu hilang berganti dengan rasa syukur yang tiada tara."Kamu, tuh kalau sama anak, tangannya jangan dilepasin. Untung saja aku bisa menarik dia, kalau tidak? Mati, tuh anak!" ujar Mbak Sum yang tadi menolong Saffa. Wanita yang dikenal paling bengal di pabrik itu berujar kesal padaku. Bagiamana tidak, dia harus jatuh terjengkang ke belakang seraya memeluk tubuh Saffa demi menghindari sepeda motor tadi.Aku tidak menjawab apa-apa. Masih duduk di tanah seraya terus memeluk putriku menciumi pucuk kepalanya berulang kali. "Terima kasih, ya sudah menolong cucu saya," ujar Mama terdengar suaranya. Orang-orang berkerumun melihat diri ini yang menangis bersimpuh masih enggan me
Permainan hari ini sepertinya sudah cukup. Aku mengambil ponsel, menelepon supir mobil derek yang membawa mobil Mas Haikal. "Pak, berhenti, Pak. Ternyata itu bukan mobil suami saya. Mobil suami saya sudah diambil sama karyawan bengkel.""Lah, si Ibu gimana, sih? Katanya bener itu mobilnya. Terus ini yang saya bawa mobil siapa?" tanyanya panik. "Punya orang. Itu pemiliknya sampai ngejar-ngejar di belakang.""Aduuuh, si Ibu bikin masalah saja, kalau orangnya minta ganti rugi gimana, Bu?" "Tentang, Pak. Saya yang tangguh jawab. Biaya angkut mobil itu juga akan saya bayar dua kali lipat. Bapak gak usah khawatir."Sambungan telepon terputus. Mobil derek itu berhenti dan si supir keluar dari mobilnya. Perdebatan antara Mas Haikal dengan supir mobil derek pun terjadi. Tapi, untungnya si supir tidak mengatakan diriku sebagai dalang dari masalah ini. Aku sudah mewanti-wanti dia dan akan aku beri imbalan yang setimpal untuk kerja sama yang menyenangkan ini. Pak Yadi—supir Papa sudah datang.
Gelak tawa laki-laki terdengar begitu menyenangkan saat kaki ini mulai mendekati ruang tamu. Sepertinya, orang yang ingin bertemu denganku bukanlah orang baru untuk Papa. Apa mungkin rekan bisnis Papa? Lalu, kenapa dia mau menemuiku? Seingatku, aku tidak mengenal siapa-siapa saja yang berbisnis dengan Papa. Dekat, apalagi. Sangat tidak sama sekali. Mungkinkah temanku? Rasanya tidak mungkin temanku bisa membuat Papa tertawa lepas seperti itu. Kepulanganku ke rumah ini pun tidak diketahui mereka. "Pak Gunawan. Apa kabar, Pak?" Langkahku terhenti saat Mama menyebutkan satu nama yang tidak asing di telingaku. Kakiku refleks berhenti dan mematung di belakang sofa yang kosong. Gunawan. Aku pernah mendengar nama itu disebutkan Papa beberapa kali di rumah ini. Yang aku tahu, dia adalah seorang pengusaha textile yang tak lain adalah sahabat Papa juga. Pak Gunawan jugalah yang waktu itu menawarkan perjodohan antara aku dan putranya yang sampai saat ini belum aku ketahui. Penolakan dari
Tiga puluh menit berlalu tangis Saffa belum juga mereda. Suaranya sudah sangat parau dengan keringat membanjiri wajahnya. Kalau sudah begini, tidak ada cara lain selain pergi untuk mendapatkan apa yang Saffa inginkan. Saffa akan kuat untuk menahan tidak jajan atau tidak makan. Itu sudah biasa. Tapi, untuk pisah lama jauh dari bonekanya, ya seperti sekarang ini. Mengamuk tak tahu waktu. Salah aku juga, sih kemarin menjanjikan akan segera memberikan dia yang baru. Tapi, kejadian di depan pabrik tadi sudah menyita waktuku untuk pergi ke toko boneka. "Dah, yu beli, yuk." Bang Aldi sudah membawa kunci mobil miliknya. Dia mengangkat tubuh Saffa yang terkulai di lantai. Tidak ada perlawan dari putriku. Lama menangis membuat dia kelelahan dan pasrah digendong oleh pamannya itu. Di dalam mobil, aku memperbaiki rambut Saffa yang berantakan. Mengusap wajahnya yang penuh air mata dengan rasa yang entah mengapa membuatku ingin menangis. Seharusnya, seorang ayah ada di saat putrinya merajuk
"Ya ampun, Al, banyak banget bonekanya?" "Stttt ..." Aku memberikan isyarat kepada Mama karena putriku telah tidur dalam gendongan.Mama mengerti. Ia membiarkanku untuk masuk melewati dia yang masih kebingungan melihat banyak sekali boneka yang dikeluarkan Bang Aldi dari mobil.Sampai di kamar, aku segera menurunkan Saffa yang terlelap tidak melepaskan boneka barunya. Hati merasa lega karena Saffa tidak meminta boneka yang lama. Ia cukup senang dengan barang yang saat ini dipeluknya. "Popo."Aku menyunggingkan senyum saat bibir mungil itu berucap seraya mengeratkan pelukan pada mainan barunya. Setelah memastikan Saffa tidur dengan nyaman, aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sesudahnya, aku langsung merebahkan diri di samping putriku. Mengistirahatkan tubuh serta pikiran. Biarkanlah Bang Aldi yang menjelaskan kepada Mama kejadian di mall tadi. Jangankan Mama, Bang Aldi pun terkejut karena aku keluar dengan banyak sekali boneka itu. Ah, rasanya aku ingin tertawa denga
"Tahu, Non.""Tahu anaknya?" tanyaku membuat Adi sedikit memelankan laju mobil. "Kenapa Non Alina menanyakan anak Pak Gunawan?""Semalam, Pak Gunawan datang lagi. Kayaknya, yah mereka masih mau menjodohkan aku dengan anak Pak Gunawan itu, deh. Aku juga heran, apa laki-laki itu tidak laku-laku hingga masih sendiri sampai saat ini?""Ah, masa gak laku, Non. Anaknya Pak Gunawan ganteng, lho.""Ya, kamu pikir saja, Di. Aku udah nikah, lima tahun yang lalu. Tapi, itu cowok enggak nikah-nikah. Apa sebenarnya dia udah nikah, tapi saat mendengar aku cerai, dia juga menceraikan istrinya? Wah, gak bener, tuh laki. Sarap."Adi tidak menjawab. Dia malah terkekeh, menutup mulutnya dengan punggung tangan. Aku bukan mengada-ada, tapi menduga-duga. Umumnya, orang yang ditolak, ditinggal nikah, pasti mencari kebahagiaan baru dengan orang yang baru. Tapi orang yang tidak aku tahu namanya itu, seperti yang mati rasa. "Apa jangan-jangan dia belok, ya, Di?" "Hahaha, si Non ada-ada saja. Sudah sampai, t
"Kamu tahu kenapa dipanggil ke sini?" Aku menggelengkan kepala dengan pandangan tak lepas dari pria berjas hitam itu. Wajahnya tak asing. Aku cukup mengenal siapa dia yang tak lain mertua baru Mas Haikal, ayah dari Amira, sekaligus manager produksi di garmen cabang ini. Tadi, setelah riuh gembira teman-teman karena mendapatkan undangan dari Papa, aku dipanggil untuk menghadap pimpinan. Teman-temanku bingung, tidak tahu kenapa aku dipanggil oleh pimpinan. Seingatku, aku tidak melakukan kesalahan fatal yang merugikan perusahaan. Apa hanya karena tadi aku datang terlambat? Sepertinya bukan. Telat sepuluh menit masih bisa masuk dan bekerja, meskipun ada potongan gaji nantinya. "Apa yang kamu lakukan sudah di luar batas. Tidak seharusnya menjebak anak saya untuk membayar belanjaan kamu."Aku tertegun. Mencerna ucapan Pak Baskoro yang baru saja dia ucapkan. Dia membahas masalahku semalam dengan anak menantunya?Aku tersenyum miring."Bapak memanggil saya datang ke sini untuk membaha