Permainan hari ini sepertinya sudah cukup. Aku mengambil ponsel, menelepon supir mobil derek yang membawa mobil Mas Haikal.
"Pak, berhenti, Pak. Ternyata itu bukan mobil suami saya. Mobil suami saya sudah diambil sama karyawan bengkel."
"Lah, si Ibu gimana, sih? Katanya bener itu mobilnya. Terus ini yang saya bawa mobil siapa?" tanyanya panik.
"Punya orang. Itu pemiliknya sampai ngejar-ngejar di belakang."
"Aduuuh, si Ibu bikin masalah saja, kalau orangnya minta ganti rugi gimana, Bu?"
"Tentang, Pak. Saya yang tangguh jawab. Biaya angkut mobil itu juga akan saya bayar dua kali lipat. Bapak gak usah khawatir."
Sambungan telepon terputus. Mobil derek itu berhenti dan si supir keluar dari mobilnya. Perdebatan antara Mas Haikal dengan supir mobil derek pun terjadi. Tapi, untungnya si supir tidak mengatakan diriku sebagai dalang dari masalah ini. Aku sudah mewanti-wanti dia dan akan aku beri imbalan yang setimpal untuk kerja sama yang menyenangkan ini.
Pak Yadi—supir Papa sudah datang. Mama pindah ke belakang, dan kami segera pulang ke rumah meninggalkan Mas Haikal yang marah-marah. Sedangkan istrinya terduduk lemas dengan keringat yang meluluhlantakkan bedak di wajahnya.
Kasihan?
Sedikit. Karena mereka pun tidak memiliki belas kasih padaku.
Saat sampai, aku melihat ada mobil lain yang terparkir di halaman. Mungkinkah Papa kedatangan tamu? Mungkin saja, tapi ... sepertinya bukan tamu.
"Abang," lirihku ketika melihat seorang pria tampan keluar dari dalam rumah.
Buru-buru aku turun dari mobil dengan menggendong Saffa yang sudah bangun beberapa saat sebelum kita sampai.
"Bang Aldi," kataku seraya menghampiri kakakku itu.
"Dasar anak nakal, kepala batu. Sudah berani pulang sekarang, hah?" ujarnya mengacak rambutku, lalu mencium pucuk kepala ini.
Dia marah saat aku memutuskan menikah tanpa restu Papa. Namun, hatinya tidak sekeras Papa yang sama sekali enggan datang di pernikahanku.
Bang Aldi, tetap menemaniku dan bahkan dialah yang menjadi wali nikahku di saat Papa menolaknya. Sebagai gantinya, Papa membuatkan surat ikrar Taukil Wali agar aku bisa menikah dengan Bang Aldi sebagai walinya.
"Kapan tiba, Al?" tanya Mama pada abangku itu.
"Lima belas menit yang lalu, Mah. Hey, ini ponakanku?" ujar Bang Aldi menyentuh pipi chubby Saffa.
Saffa merengut. Enggan untuk disentuh oleh pamannya itu. Dia yang baru bangun tidur, ditambah lagi tidak mengenali Bang Aldi, membuat Saffa ketakutan dan menolak saat Bang Aldi ingin menggendongnya.
"Bangun tidur dia, Bang."
"Emm ... pantas manyun gitu. Ini Om, Sayang. Om tampan dan mapan," tuturnya masih menggoda putriku.
Aku memutar bola malas mendengar Bang Aldi yang memuji dirinya sendiri. Lalu kami semua masuk ke dalam rumah yang ternyata ada Kak Rindu juga. Istri Bang Aldi yang ... ah, entahlah aku belum terlalu mengenal wanita itu.
Sedikit senyum, jarang bicara dan ... kami tidak terlalu dekat sebelumnya. Karena saat aku memutuskan keluar dari rumah Papa, waktu itu Kak Rindu dan Bang Aldi belum lama menikah. Aku belum terlalu tahu mengenai sifat aslinya.
Mudah-mudahan baik dan kami bisa menjadi teman.
"Hay, Dek. Apa kabar?" sapa Kak Rindu dengan seulas senyum tipis.
"Alhamdulillah baik, Kak. Kakak sendiri? Oh, ya mana anak kalian?" tanyaku karena tak kulihat anak kecil di sekitar sini.
"Kami belum dipercaya untuk itu, Al. Doakan, ya secepatnya aku dan Rindu bisa membawa malaikat kecil ke rumah ini."
Aku mengangguk lemah dengan senyum tipis. Melihat ke arah wajah Kak Rindu yang menunduk lesu.
"Maaf, Kak aku—"
"Gak apa-apa, Al. Santai saja, kita pun santai, kok. Iya, 'kan Sayang," ujar Bang Aldi memeluk bahu istrinya.
Santai, sih. Tapi melihat rona wajah Kak Rindu membuatku tidak enak hati. Merasa bersalah karena menanyakan anak pada pasangan yang tengah berjuang untuk mendapatkannya.
Jauh dari mereka, membuatku tidak tahu bagaimana kehidupan saudara sendiri yang ternyata tidak seberuntung aku. Tapi, aku sangat yakin jika Bang Aldi bukan tipe lelaki seperti Mas Haikal yang karena istrinya melahirkan anak perempuan, lalu memutuskan untuk menikah lagi demi anak laki-laki.
Ah, kenapa juga harus membandingkan kakakku dengan dia, sih. Ya, jelas akan sangat berbeda pastinya.
*
"Papa sudah menceritakan semuanya, Al. Sedih, sih saat tahu kamu dicampakkan oleh si Haikal. Tapi ... ada senangnya juga, karena akhirnya kamu bisa kembali kepada kami. Terlebih pada Papa yang saat itu sangat terpuruk ketika kamu memilih pergi dengan laki-laki itu."
Aku menyesap teh manis yang tersaji di meja. melihat kolam renang yang dipenuhi mainan setelah tadi Saffa bermain di sana dengan Papa.
"Aku durhaka, ya, Bang?" Ucapan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban. Karena memang begitu kenyataannya.
"Aku tidak tahu devinisi anak durhaka itu apa saja. Yang pernah aku dengar, jika orang tua sudah memaafkan dosa anaknya, maka Tuhan pun akan memaafkan," ujar Bang Aldi menoleh ke arahku.
Aku menarik napas panjang, mengembuskannya dengan kasar seraya mengangguk-anggukkan kepala.
"Sekarang waktunya kamu untuk berbakti. Mengikuti apa maunya Papa."
"Memangnya apa maunya, Papa?" tanyaku membalas tatapan pria berjambang tipis itu.
"Ya, nurut. Udah, itu aja. Kamu nurut sama mereka, tidak membangkang lagi."
Aku tidak menjawab. Memilih diam menikmati teh manis seraya memandang langit yang mulai menghitam.
Aroma harum bunga melati tercium membuatku ingin memetik bunga putih yang berada di taman kecil di pinggir kolam renang.
Aku bangkit dari kursi, berjalan memutari kolam, lalu memetik dua bunga melati yang bermekaran. Membawanya ke tempat semula, kemudian memasukkannya ke dalam cangkir keramik berisikan teh manis. Menyesapnya lagi, menikmati harum serta manis yang menenangkan jiwa.
Lama aku tidak menikmati suasana ini. Rindu untuk kembali ke masa lalu pun menyerang kembali. Lari-lari nakal bersenandung riang menjelajahi taman kecil di sudut sana. Mengejar kupu-kupu cantik yang terbang dan hinggap pada setiap kelopak bunga yang bermekaran mengeluarkan aroma segar.
Itu dulu. Saat aku masih kecil, jauh sebelum mengenal cinta. Cinta semu yang membutakan mata serta nurani. Hanya mengedepankan pikiran yang akhirnya menjerumuskan diri ini pada penyesalan.
"Al!"
"Iya, Mah!"
"Iya, Mah!"
Kami menjawab bersamaan membuat Mama menutup mulut membulatkan mata.
"Lupa, jika ada dua 'Al' di rumah ini," tuturnya mengahampiri kami.
Mencium sebelah pipiku, lalu beralih ke pipi Bang Aldi.
"Coba lihat ini. Mama butuh pendapat kalian mengenai pesta hari jadi AA Garment."
Mama menyimpan buku dengan gambar-gambar dekorasi pesta di gedung mewah. Aku menggaruk alis, tidak tahu harus memberikan pendapat apa.
"Menurut kalian, mana yang bagus?"
"Ini."
"Ini."
Aku dan Bang Aldi menunjuk gambar yang berbeda.
Mama berdecak. "Kok, enggak kompak, sih? Asal banget jawabnya. Menurut Mama, ya bagusan ini, dong. Lihat, sangat cantik dan mewah. Cocok banget, nih buat pesta hari jadi perusahaan kita."
Aku dan Bang Aldi saling pandang dengan mengedikkan bahu. Ternyata Mama masih tidak berubah. Meminta pendapat kami hanya untuk mencari alasan agar bisa ngobrol dengan putra-putrinya. Yang dia ambil, tetap pendapat diri sendiri.
Ah, dasar Mama.
"Mah. Mamah sama Alina dipanggil Papa. Katanya ada tamu yang ingin bertemu Alina," ujar Kak Rindu beridiri di ambang pintu kaca.
Tamu untukku? Siapa?
Bersambung
Gelak tawa laki-laki terdengar begitu menyenangkan saat kaki ini mulai mendekati ruang tamu. Sepertinya, orang yang ingin bertemu denganku bukanlah orang baru untuk Papa. Apa mungkin rekan bisnis Papa? Lalu, kenapa dia mau menemuiku? Seingatku, aku tidak mengenal siapa-siapa saja yang berbisnis dengan Papa. Dekat, apalagi. Sangat tidak sama sekali. Mungkinkah temanku? Rasanya tidak mungkin temanku bisa membuat Papa tertawa lepas seperti itu. Kepulanganku ke rumah ini pun tidak diketahui mereka. "Pak Gunawan. Apa kabar, Pak?" Langkahku terhenti saat Mama menyebutkan satu nama yang tidak asing di telingaku. Kakiku refleks berhenti dan mematung di belakang sofa yang kosong. Gunawan. Aku pernah mendengar nama itu disebutkan Papa beberapa kali di rumah ini. Yang aku tahu, dia adalah seorang pengusaha textile yang tak lain adalah sahabat Papa juga. Pak Gunawan jugalah yang waktu itu menawarkan perjodohan antara aku dan putranya yang sampai saat ini belum aku ketahui. Penolakan dari
Tiga puluh menit berlalu tangis Saffa belum juga mereda. Suaranya sudah sangat parau dengan keringat membanjiri wajahnya. Kalau sudah begini, tidak ada cara lain selain pergi untuk mendapatkan apa yang Saffa inginkan. Saffa akan kuat untuk menahan tidak jajan atau tidak makan. Itu sudah biasa. Tapi, untuk pisah lama jauh dari bonekanya, ya seperti sekarang ini. Mengamuk tak tahu waktu. Salah aku juga, sih kemarin menjanjikan akan segera memberikan dia yang baru. Tapi, kejadian di depan pabrik tadi sudah menyita waktuku untuk pergi ke toko boneka. "Dah, yu beli, yuk." Bang Aldi sudah membawa kunci mobil miliknya. Dia mengangkat tubuh Saffa yang terkulai di lantai. Tidak ada perlawan dari putriku. Lama menangis membuat dia kelelahan dan pasrah digendong oleh pamannya itu. Di dalam mobil, aku memperbaiki rambut Saffa yang berantakan. Mengusap wajahnya yang penuh air mata dengan rasa yang entah mengapa membuatku ingin menangis. Seharusnya, seorang ayah ada di saat putrinya merajuk
"Ya ampun, Al, banyak banget bonekanya?" "Stttt ..." Aku memberikan isyarat kepada Mama karena putriku telah tidur dalam gendongan.Mama mengerti. Ia membiarkanku untuk masuk melewati dia yang masih kebingungan melihat banyak sekali boneka yang dikeluarkan Bang Aldi dari mobil.Sampai di kamar, aku segera menurunkan Saffa yang terlelap tidak melepaskan boneka barunya. Hati merasa lega karena Saffa tidak meminta boneka yang lama. Ia cukup senang dengan barang yang saat ini dipeluknya. "Popo."Aku menyunggingkan senyum saat bibir mungil itu berucap seraya mengeratkan pelukan pada mainan barunya. Setelah memastikan Saffa tidur dengan nyaman, aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sesudahnya, aku langsung merebahkan diri di samping putriku. Mengistirahatkan tubuh serta pikiran. Biarkanlah Bang Aldi yang menjelaskan kepada Mama kejadian di mall tadi. Jangankan Mama, Bang Aldi pun terkejut karena aku keluar dengan banyak sekali boneka itu. Ah, rasanya aku ingin tertawa denga
"Tahu, Non.""Tahu anaknya?" tanyaku membuat Adi sedikit memelankan laju mobil. "Kenapa Non Alina menanyakan anak Pak Gunawan?""Semalam, Pak Gunawan datang lagi. Kayaknya, yah mereka masih mau menjodohkan aku dengan anak Pak Gunawan itu, deh. Aku juga heran, apa laki-laki itu tidak laku-laku hingga masih sendiri sampai saat ini?""Ah, masa gak laku, Non. Anaknya Pak Gunawan ganteng, lho.""Ya, kamu pikir saja, Di. Aku udah nikah, lima tahun yang lalu. Tapi, itu cowok enggak nikah-nikah. Apa sebenarnya dia udah nikah, tapi saat mendengar aku cerai, dia juga menceraikan istrinya? Wah, gak bener, tuh laki. Sarap."Adi tidak menjawab. Dia malah terkekeh, menutup mulutnya dengan punggung tangan. Aku bukan mengada-ada, tapi menduga-duga. Umumnya, orang yang ditolak, ditinggal nikah, pasti mencari kebahagiaan baru dengan orang yang baru. Tapi orang yang tidak aku tahu namanya itu, seperti yang mati rasa. "Apa jangan-jangan dia belok, ya, Di?" "Hahaha, si Non ada-ada saja. Sudah sampai, t
"Kamu tahu kenapa dipanggil ke sini?" Aku menggelengkan kepala dengan pandangan tak lepas dari pria berjas hitam itu. Wajahnya tak asing. Aku cukup mengenal siapa dia yang tak lain mertua baru Mas Haikal, ayah dari Amira, sekaligus manager produksi di garmen cabang ini. Tadi, setelah riuh gembira teman-teman karena mendapatkan undangan dari Papa, aku dipanggil untuk menghadap pimpinan. Teman-temanku bingung, tidak tahu kenapa aku dipanggil oleh pimpinan. Seingatku, aku tidak melakukan kesalahan fatal yang merugikan perusahaan. Apa hanya karena tadi aku datang terlambat? Sepertinya bukan. Telat sepuluh menit masih bisa masuk dan bekerja, meskipun ada potongan gaji nantinya. "Apa yang kamu lakukan sudah di luar batas. Tidak seharusnya menjebak anak saya untuk membayar belanjaan kamu."Aku tertegun. Mencerna ucapan Pak Baskoro yang baru saja dia ucapkan. Dia membahas masalahku semalam dengan anak menantunya?Aku tersenyum miring."Bapak memanggil saya datang ke sini untuk membaha
Secepat kilat aku mengambil ponsel Baskoro yang bersandar pada tisu dengan kamera yang menyala. Aku banting ke lantai hingga terbelah menjadi dua. Berhasil menghancurkan ponsel, aku berbalik badan menyerang Amira. Kedua pipinya sudah aku hadiahi pukulan sebagai tanda perpisahan. Setelahnya, aku langsung lari keluar tanpa menghiraukan teriakan serta umpatan mereka. "Bereng-sek kamu Alina!!""Ganti ponselku!!" Saat aku kembali ke bawah, orang-orang menatapku dengan penuh tanda tanya. Tanpa kata, aku langsung mematikan mesin jahit, berniat untuk keluar dari pabrik ini. Sudah cukup aku berada di sini dengan kesombongan mereka. Baru punya jabatan segitu saja, Baskoro dan Amira sudah merasa di atas awan. Bertingkah sesuka hati merasa paling benar. "Alina, mau ke mana?" tanya Nela melihatku berkemas. "Pulang. Tempat ini sudah tidak cocok untukku.""Kenapa? Dimarahi Pak Baskoro?""Dipecat, kamu?" Pertanyaan demi pertanyaan mereka lontarkan berharap mendapatkan jawaban dariku. Aku berd
"Bu, kalau tidak ada uang, tidak usah perawatan."Aku dan Mama yang hendak pulang, harus menghentikan langkah saat penjaga kasir berucap dengan nada tinggi. Saat aku lihat, ada ibu yang berdiri dengan wajah gugup di sana. "Ada apa, Mbak?" tanyaku menghampirinya. "Ini, lho Mbak. Ibu ini bukannya bayar, malah minta ngutang. Emangnya ini warung," ujar si Mbak kasir dengan nada ketus. Wajah ibu semakin memerah menahan malu. Tangannya bergetar karena gugup. "Makanya, Bu. Yang harusnya ditinggikan itu keimanan, bukan gaya hidup. Jadinya malu sendiri 'kan kalau gak bisa bayar."Ibu langsung menarik tanganku agar lebih rapat dengannya. Lalu, ia berkata yang membuatku melebarkan mata. "Ini menantu saya, Mbak. Dia yang akan membayar semua tagihan perawatan saya tadi.""Bukan!" kataku langsung melepaskan tangannya. "Mantan. Saya dan anaknya sudah bercerai. Dan tidak ada lagi hak dan kewajiban saya untuk menanggung hidup Ibu. Maaf, saya sudah pensiun jadi mesin uangnya Ibu," tuturku langsun
"Gimana, Pah? Tadi Papa meeting apa?" tanyaku setelah Papa kembali. "Banyak yang Papa bahas tadi. Papa juga sudah menyuruh orang untuk memasang cctv di pabrik tempatmu kerja, dan secara diam-diam tentunya."Aku tersenyum senang mendengar itu. Artinya, sedikit demi sedikit kecurangan yang ada di sana akan terbongkar. Papa pun bisa melihat mana karyawan yang baik dan mana yang buruk. Inginku bukan hanya menjatuhkan Mas Haikal dan Baskoro. Dengan adanya kamera pengawas tambahan itu, aku harap agar para karyawan yang sudah senior tidak semena-mena sama juniornya. Mencegah adanya bullying agar suasana kerja jadi nyaman dan aman. Kita membutuhkan karyawan, maka kita harus memberikan rasa nyaman untuk mereka agar tetap setia mengabdikan diri pada perusahaan. "Al, ada hal yang ingin Papa bicarakan denganmu. Ini serius," ucap Papa seraya menegakkan tubuh. Aku sedikit tegang, harap-harap cemas menunggu kata selanjutnya yang akan diucapkan Papa. "Kamu juga tahu, Al. Papa ini sudah tua, tid