"Huhu ... Saffa." Aku memeluk tubuh mungil putriku dengan sangat erat.
Jantung ini seakan berhenti berdetak kala sepeda motor tadi melesat cepat menghadirkan angin yang menyapu wajahku.
Bayangan akan kehilangan putri semata wayangku sudah terpampang jelas. Namun, Tuhan berkehandak lain membuat bayangan menyeramkan itu hilang berganti dengan rasa syukur yang tiada tara.
"Kamu, tuh kalau sama anak, tangannya jangan dilepasin. Untung saja aku bisa menarik dia, kalau tidak? Mati, tuh anak!" ujar Mbak Sum yang tadi menolong Saffa.
Wanita yang dikenal paling bengal di pabrik itu berujar kesal padaku. Bagiamana tidak, dia harus jatuh terjengkang ke belakang seraya memeluk tubuh Saffa demi menghindari sepeda motor tadi.
Aku tidak menjawab apa-apa. Masih duduk di tanah seraya terus memeluk putriku menciumi pucuk kepalanya berulang kali.
"Terima kasih, ya sudah menolong cucu saya," ujar Mama terdengar suaranya.
Orang-orang berkerumun melihat diri ini yang menangis bersimpuh masih enggan melepaskan tubuh mungil putriku. Saffa pun diam saja. Dia tidak sama sekali berontak ingin melepaskan diri. Apa yang terjadi barusan, mungkin membuat jiwanya terguncang. Saffa ketakutan dan kaget karena orang-orang berteriak dan tubuhnya yang ditarik kencang.
Beberapa saat diam dan menangis di depan pabrik, Mama menyuruhku bangun dan membawa Saffa ke mobil. Aku pun menurut dan mengendong putri kecilku.
Namun, tidak dengan Mama. Wanita cantik yang telah melahirkanku itu masih di depan pabrik seraya berbincang dengan Mbak Sum. Hingga bisa aku lihat dari sini, Mama memberikan sejumlah uang kepada Mbak Sum.
"Mama, Cafa haus."
"Oh, Saffa mau minum? Ini, Nak. Minum, Sayang." Aku mengambil satu botol air mineral, membuka tutupnya lalu memberikan kepada Saffa.
Saat mata ini kembali melihat ke sana, ternyata Mama sudah tidak ada. Hanya ada Mbak Sum yang sedang mengobrol sambil memegang uang seratus ribuan di tangannya.
"Gimana, Saffa?"
Oh, ternyata Mama sudah kembali. Ia masuk, kemudian duduk di belakang kemudi.
"Masih syok, kayaknya, Mah. Maafin, Mama, Sayang," ujarku untuk kesekian kalinya.
"Yasudah, sekarang kita langsung pergi saja, ya? Huh, rasanya jantung Mama seperti akan copot, Al."
Jangankan Mama, aku pun sangat amat kaget. Rasanya seperti mimpi melihat kejadian yang menegangkan di depan mata.
Tidak siap jika aku harus kehilangan Saffa. Jangankan untuk kehilangan, melihat dia sakit pun aku sangat menderita.
"Mah, barusan Mama ngasih uang buat Mbak Sum?"
"Iya, Al. Hanya untuk ucapan terima kasih. Kalau bukan karena dia, tidak tahu, deh nasib Saffa seperti apa."
"Banyak? Kelihatannya Mbak Sum seneng banget, tadi," ucapku lagi.
"Emm ... ada kali, ya sejuta. Gak ngitung, Mamah. Asal ambil aja tadi dari tas dan langsung nyamperin kamu dan Saffa."
Aku manggut-manggut. Nanti akan aku pikirkan jawaban apa yang harus aku berikan jika besok Mbak Sum menanyakan tentang Mama. Akan sangat tidak masuk akal jika seorang Alina wanita miskin memiliki ibu yang kaya raya.
Ya, memang pada kenyataannya seperti itu. Tapi, belum saatnya aku mengakui yang sebenarnya. Masih ada beberapa hari untuk aku menjadi buruh pabrik di sana.
"Aduh, Al. Tangan Mama gemetaran, nih. Kita menepi dulu, ya?" ujar Mama membuatku khawatir.
"Mama, sakit?"
"Tidak, Al. Cuma agak gemetaran saja. Mungkin karena syok mengingat kembali kejadian Saffa tadi."
Mama menepikan mobil, lalu mengambil ponsel dari tasnya. Sedangkan Saffa, ternyata putriku itu sudah terlelap dalam dekapan.
Ah, jantungku kembali berdenyut ketika mengingatnya lagi. Benar kata Mama, kejadian tadi benar-benar membuatku syok berkali-kali.
Saat Mama sedang menelepon supir, mataku menangkap sesuatu di depan sana. Tepat di depan sebuah restoran, aku melihat ada mobil Mas Haikal terparkir paling belakang. Tiba-tiba saja sebuah ide muncul untuk memberikan pembalasan atas apa yang dia lakukan pada Saffa tadi.
"Mah, lihat, deh mobil itu."
Mama mengikuti ke mana arah telunjukku.
"Terus?"
"Itu mobil Mas Haikal. Aku ingin melakukan sesuatu pada mobil itu, tanpa aku menyentuhnya."
"Jangan gegabah, jangan berbuat kriminal," tutur Mama memberi peringatan.
"Tidak akan, Mah. Kan sudah Alina bilang, tidak akan menyentuhnya. Alina hanya ingin bermain-main saja."
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Mama menatapku serius.
Aku mengeluarkan ponsel, mencari nomor jasa mobil derek melalui internet. Beberapa saat mencarinya, aku mendapatkan nomor itu. Aku pun langsung menghubunginya dan menyuruh mereka untuk segera datang menderek mobil Mas Haikal yang aku akui sebagai mobil milikku.
Ah, sepertinya ini akan sangat menyenangkan. Tidak sabar rasanya ingin melihat ekspresi wajah mereka ketika mobilnya dibawa.
Sekitar lima belas menit menunggu, aku melihat ada mobil derek yang berhenti di sekitar tempatku berada sekarang. Langsung aku turun dari mobil setelah menitipkan Saffa kepada Mama terlebih dahulu.
"Pak." Aku menghampiri supir mobil.
"Ibu, yang menelepon kami?" tanyanya.
"Iya, Pak. Itu mobilnya." Aku menunjuk mobil milik Mas Haikal.
Supir mobil derek itu langsung melakukan apa yang aku instruksikan. Menderek mobil Mas Haikal keluar dari parkiran restoran di mana mantan suamiku dan istrinya berada.
Saat mobil sudah berada di jalan raya, aku buru-buru masuk ke dalam mobil Mama. Bersiap menikmati hiburan yang sebentar lagi akan dimulai.
"Al, ini gak bener, Nak. Nanti kamu kena pasal karena menderek mobil dengan tanpa izin pemiliknya. Kalau Haikal nuntut kamu gimana?" ujar Mama mulai panik.
"Tenang, Mah. Mas Haikal mana tahu yang begituan. Lima tahun hidup bersama, cukup untukku mengenal dia sampai ke dalam isi otaknya."
Perlahan, mobil derek kembali melaju membawa kendaraan roda empat milik mantan suamiku. Dan pada saat itu juga, ternyata Mas Haikal dan Amira keluar dari dalam restoran.
Mereka kaget luar biasa melihat kendaraan miliknya dibawa begitu saja.
"Hey, hentikan! Kenapa membawa mobilku?!" teriak Mas Haikal seraya berlari mengejar mobilnya.
"Mah, jalan, Mah." Aku menyuruh Mama melajukan mobil untuk mengikuti Mas Haikal.
"Astaga, ini anak udah tahu tangan Mamanya gemetaran malah disuruh nyetir lagi," tutur Mama menggerutu.
Aku mengambil putriku kembali agar Mama bisa mengendarai mobil.
"Pelan-pelan saja," kataku.
Sedangkan di sana, seorang pria dan wanita terus berlari mengejar kendaraan mereka sembari berteriak.
"Hey, berengsek, kembalikan mobilku!!" Mas Haikal melambaikan tangan berharap si supir mobil mau berhenti.
Di belakangnya, sang istri ikut berteriak menghentikan suaminya yang meninggalkan dia demi menyusul kendaraan mereka.
"Mas, tungguin aku!" ujar Amira kepayahan mengikuti langkah cepat suaminya.
Punggung Mas Haikal sudah basah oleh keringat. Begitu pun dengan Amira yang kini berlari dengan kaki telanjang. Menenteng sepasang sandal miliknya, juga tas selempang yang terombang-ambing tidak beraturan.
Orang-orang yang berada di sekitar jalan raya hanya bisa melihat dua orang itu tanpa ingin membantunya. Mungkin mereka pikir, suami istri itu melakukan parkir liar hingga mobilnya dibawa paksa.
"Mas, aku cape! Aku gak kuat, Mas!!"
"Kamu, tuh segitu saja sudah capek! Buruan lari nanti kita kehilangan jejak!!"
"Ah, kamu saja yang kejar sampai dapat, Mas! Kalau tidak, tidak akan aku izinkan masuk ke dalam rumah!!"
"Aahh berengsek!!" jerit Mas Haikal frustrasi.
Bersambung
Permainan hari ini sepertinya sudah cukup. Aku mengambil ponsel, menelepon supir mobil derek yang membawa mobil Mas Haikal. "Pak, berhenti, Pak. Ternyata itu bukan mobil suami saya. Mobil suami saya sudah diambil sama karyawan bengkel.""Lah, si Ibu gimana, sih? Katanya bener itu mobilnya. Terus ini yang saya bawa mobil siapa?" tanyanya panik. "Punya orang. Itu pemiliknya sampai ngejar-ngejar di belakang.""Aduuuh, si Ibu bikin masalah saja, kalau orangnya minta ganti rugi gimana, Bu?" "Tentang, Pak. Saya yang tangguh jawab. Biaya angkut mobil itu juga akan saya bayar dua kali lipat. Bapak gak usah khawatir."Sambungan telepon terputus. Mobil derek itu berhenti dan si supir keluar dari mobilnya. Perdebatan antara Mas Haikal dengan supir mobil derek pun terjadi. Tapi, untungnya si supir tidak mengatakan diriku sebagai dalang dari masalah ini. Aku sudah mewanti-wanti dia dan akan aku beri imbalan yang setimpal untuk kerja sama yang menyenangkan ini. Pak Yadi—supir Papa sudah datang.
Gelak tawa laki-laki terdengar begitu menyenangkan saat kaki ini mulai mendekati ruang tamu. Sepertinya, orang yang ingin bertemu denganku bukanlah orang baru untuk Papa. Apa mungkin rekan bisnis Papa? Lalu, kenapa dia mau menemuiku? Seingatku, aku tidak mengenal siapa-siapa saja yang berbisnis dengan Papa. Dekat, apalagi. Sangat tidak sama sekali. Mungkinkah temanku? Rasanya tidak mungkin temanku bisa membuat Papa tertawa lepas seperti itu. Kepulanganku ke rumah ini pun tidak diketahui mereka. "Pak Gunawan. Apa kabar, Pak?" Langkahku terhenti saat Mama menyebutkan satu nama yang tidak asing di telingaku. Kakiku refleks berhenti dan mematung di belakang sofa yang kosong. Gunawan. Aku pernah mendengar nama itu disebutkan Papa beberapa kali di rumah ini. Yang aku tahu, dia adalah seorang pengusaha textile yang tak lain adalah sahabat Papa juga. Pak Gunawan jugalah yang waktu itu menawarkan perjodohan antara aku dan putranya yang sampai saat ini belum aku ketahui. Penolakan dari
Tiga puluh menit berlalu tangis Saffa belum juga mereda. Suaranya sudah sangat parau dengan keringat membanjiri wajahnya. Kalau sudah begini, tidak ada cara lain selain pergi untuk mendapatkan apa yang Saffa inginkan. Saffa akan kuat untuk menahan tidak jajan atau tidak makan. Itu sudah biasa. Tapi, untuk pisah lama jauh dari bonekanya, ya seperti sekarang ini. Mengamuk tak tahu waktu. Salah aku juga, sih kemarin menjanjikan akan segera memberikan dia yang baru. Tapi, kejadian di depan pabrik tadi sudah menyita waktuku untuk pergi ke toko boneka. "Dah, yu beli, yuk." Bang Aldi sudah membawa kunci mobil miliknya. Dia mengangkat tubuh Saffa yang terkulai di lantai. Tidak ada perlawan dari putriku. Lama menangis membuat dia kelelahan dan pasrah digendong oleh pamannya itu. Di dalam mobil, aku memperbaiki rambut Saffa yang berantakan. Mengusap wajahnya yang penuh air mata dengan rasa yang entah mengapa membuatku ingin menangis. Seharusnya, seorang ayah ada di saat putrinya merajuk
"Ya ampun, Al, banyak banget bonekanya?" "Stttt ..." Aku memberikan isyarat kepada Mama karena putriku telah tidur dalam gendongan.Mama mengerti. Ia membiarkanku untuk masuk melewati dia yang masih kebingungan melihat banyak sekali boneka yang dikeluarkan Bang Aldi dari mobil.Sampai di kamar, aku segera menurunkan Saffa yang terlelap tidak melepaskan boneka barunya. Hati merasa lega karena Saffa tidak meminta boneka yang lama. Ia cukup senang dengan barang yang saat ini dipeluknya. "Popo."Aku menyunggingkan senyum saat bibir mungil itu berucap seraya mengeratkan pelukan pada mainan barunya. Setelah memastikan Saffa tidur dengan nyaman, aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sesudahnya, aku langsung merebahkan diri di samping putriku. Mengistirahatkan tubuh serta pikiran. Biarkanlah Bang Aldi yang menjelaskan kepada Mama kejadian di mall tadi. Jangankan Mama, Bang Aldi pun terkejut karena aku keluar dengan banyak sekali boneka itu. Ah, rasanya aku ingin tertawa denga
"Tahu, Non.""Tahu anaknya?" tanyaku membuat Adi sedikit memelankan laju mobil. "Kenapa Non Alina menanyakan anak Pak Gunawan?""Semalam, Pak Gunawan datang lagi. Kayaknya, yah mereka masih mau menjodohkan aku dengan anak Pak Gunawan itu, deh. Aku juga heran, apa laki-laki itu tidak laku-laku hingga masih sendiri sampai saat ini?""Ah, masa gak laku, Non. Anaknya Pak Gunawan ganteng, lho.""Ya, kamu pikir saja, Di. Aku udah nikah, lima tahun yang lalu. Tapi, itu cowok enggak nikah-nikah. Apa sebenarnya dia udah nikah, tapi saat mendengar aku cerai, dia juga menceraikan istrinya? Wah, gak bener, tuh laki. Sarap."Adi tidak menjawab. Dia malah terkekeh, menutup mulutnya dengan punggung tangan. Aku bukan mengada-ada, tapi menduga-duga. Umumnya, orang yang ditolak, ditinggal nikah, pasti mencari kebahagiaan baru dengan orang yang baru. Tapi orang yang tidak aku tahu namanya itu, seperti yang mati rasa. "Apa jangan-jangan dia belok, ya, Di?" "Hahaha, si Non ada-ada saja. Sudah sampai, t
"Kamu tahu kenapa dipanggil ke sini?" Aku menggelengkan kepala dengan pandangan tak lepas dari pria berjas hitam itu. Wajahnya tak asing. Aku cukup mengenal siapa dia yang tak lain mertua baru Mas Haikal, ayah dari Amira, sekaligus manager produksi di garmen cabang ini. Tadi, setelah riuh gembira teman-teman karena mendapatkan undangan dari Papa, aku dipanggil untuk menghadap pimpinan. Teman-temanku bingung, tidak tahu kenapa aku dipanggil oleh pimpinan. Seingatku, aku tidak melakukan kesalahan fatal yang merugikan perusahaan. Apa hanya karena tadi aku datang terlambat? Sepertinya bukan. Telat sepuluh menit masih bisa masuk dan bekerja, meskipun ada potongan gaji nantinya. "Apa yang kamu lakukan sudah di luar batas. Tidak seharusnya menjebak anak saya untuk membayar belanjaan kamu."Aku tertegun. Mencerna ucapan Pak Baskoro yang baru saja dia ucapkan. Dia membahas masalahku semalam dengan anak menantunya?Aku tersenyum miring."Bapak memanggil saya datang ke sini untuk membaha
Secepat kilat aku mengambil ponsel Baskoro yang bersandar pada tisu dengan kamera yang menyala. Aku banting ke lantai hingga terbelah menjadi dua. Berhasil menghancurkan ponsel, aku berbalik badan menyerang Amira. Kedua pipinya sudah aku hadiahi pukulan sebagai tanda perpisahan. Setelahnya, aku langsung lari keluar tanpa menghiraukan teriakan serta umpatan mereka. "Bereng-sek kamu Alina!!""Ganti ponselku!!" Saat aku kembali ke bawah, orang-orang menatapku dengan penuh tanda tanya. Tanpa kata, aku langsung mematikan mesin jahit, berniat untuk keluar dari pabrik ini. Sudah cukup aku berada di sini dengan kesombongan mereka. Baru punya jabatan segitu saja, Baskoro dan Amira sudah merasa di atas awan. Bertingkah sesuka hati merasa paling benar. "Alina, mau ke mana?" tanya Nela melihatku berkemas. "Pulang. Tempat ini sudah tidak cocok untukku.""Kenapa? Dimarahi Pak Baskoro?""Dipecat, kamu?" Pertanyaan demi pertanyaan mereka lontarkan berharap mendapatkan jawaban dariku. Aku berd
"Bu, kalau tidak ada uang, tidak usah perawatan."Aku dan Mama yang hendak pulang, harus menghentikan langkah saat penjaga kasir berucap dengan nada tinggi. Saat aku lihat, ada ibu yang berdiri dengan wajah gugup di sana. "Ada apa, Mbak?" tanyaku menghampirinya. "Ini, lho Mbak. Ibu ini bukannya bayar, malah minta ngutang. Emangnya ini warung," ujar si Mbak kasir dengan nada ketus. Wajah ibu semakin memerah menahan malu. Tangannya bergetar karena gugup. "Makanya, Bu. Yang harusnya ditinggikan itu keimanan, bukan gaya hidup. Jadinya malu sendiri 'kan kalau gak bisa bayar."Ibu langsung menarik tanganku agar lebih rapat dengannya. Lalu, ia berkata yang membuatku melebarkan mata. "Ini menantu saya, Mbak. Dia yang akan membayar semua tagihan perawatan saya tadi.""Bukan!" kataku langsung melepaskan tangannya. "Mantan. Saya dan anaknya sudah bercerai. Dan tidak ada lagi hak dan kewajiban saya untuk menanggung hidup Ibu. Maaf, saya sudah pensiun jadi mesin uangnya Ibu," tuturku langsun
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan