"Huft, ternyata ngerjain orang itu menegangkan," ujarku langsung menghenyakkan bokong pada kursi. Membuka tutup botol, menegak air minum yang ada di dalamnya.
Satu persatu orang-orang mulai berdatangan menghampiri tempat duduk mereka masih-masing.
Bisa aku dengar jika mereka datang seraya membahas apa yang baru saja terjadi di toilet yang letaknya berada di dekat grup A. Sedangkan aku, berada di grup G dengan ketua grup yang tak lain adalah mantan suamiku sendiri.
Ih, malas sekali harus bertemu setiap hari dengannya. Bersikap santun pada pria yang sudah menggoreskan banyak luka dalam hidupku.
"Lin, kamu berantem dengan Mbak Amira?"
Aku menoleh pada teman satu grup yang langsung menghampiri mejaku.
"Ih, berantem apaan?" ujarku mengerutkan kening, mengedikkan bahu.
"Itu, di grup A rame pada ngomongin kamu. Katanya kamu jorokin Qiusi mereka sampai bokongnya basah kena air di toilet," ujar Nela lagi.
Aku menarik tangan temanku itu agar merendahkan tubuhnya. Berbisik di telinga dia mengakui perbuatanku.
"Astaga Alina, cari masalah aja, lu. Tuh, lihat orang-orang melihat ke arah kamu, Lin."
Aku mengedikkan bahu. Tidak peduli dengan drama yang dibuat si Amira. Sudah biasa, dia akan terus membuat orang-orang di grupnya tidak menyukaiku dan membela dia yang katanya menjadi istri muda paling teraniaya.
"Bodo amat, Nel. Sudah biasa, 'kan kalau pihak sana membela anggotanya?" ucapku pada Nela.
"Iya, sih. Tapi, ya jangan cari masalah lah. Kamu 'kan sudah bukan siapa-siapa Pak Haikal lagi. Nanti orang-orang malah benci kamu dan peduli dia."
"Iya, iya. Enggak lagi, deh. Untuk hari ini saja, hari berikutnya lebih dari itu."
"Dasar." Nela melirikku tajam, dan aku balas dengan menaik turunkan alis padanya.
Aku tidak akan memukul kalau dia tidak mencubitku duluan. Sudah jelas sekali jika Amira yang mencari gara-gara tadi. Selama ini aku diam, tapi rasanya kediamanku terlalu menguntungkan dia.
Tidak ada salahnya sekarang aku ingin mencoba melawannya.
Bel tanda masuk sudah berbunyi. Aku disibukkan dengan setumpuk pekerjaan yang kemarin aku tinggalkan. Sudah biasa seperti ini. Tidak masuk satu hari, hari berikutnya pasti keteter.
"Ekhem!"
Aku menoleh ke samping kiri yang ternyata ada seseorang tengah berdiri memperhatikanku. Aku abai, pura-pura tidak mengetahuinya.
"Istirahat nanti, temui aku," ujarnya membungkukkan badan seolah tengah mengoreksi pekerjaanku.
"Tidak mau," kataku menolak.
"Jangan membantah, Alina. Kamu harus membayar perbuatanmu kepada istriku tadi."
Oh, ternyata Mas Haikal sudah tahu kalau aku mengerjai istrinya. Bagus, biar laki-laki rakus itu tahu, aku tidaklah selemah yang dia pikirkan.
"Istrimu duluan yang mulai," kataku tanpa melihatnya.
"Temui aku di parkiran pada saat jam istirahat. Kalau tidak, aku akan memecatmu dan aku pastikan kamu dan anakmu tidak akan bisa makan sekalian," ancam Mas Haikal membuatku geram.
Bukan takut akan ancamannya, tapi benci dengan kata-kata dia yang seolah Saffa itu hanyalah anakku.
BRAKK!
Tangan yang sedari tadi sudah terkepal kuat, aku gebrakan pada meja panjang yang berada di sampingku. Aku berdiri dengan tatapan tajam pada pria yang pernah aku gilai itu. Menarik napas panjang, memejamkan mata lalu ....
"Mbak Amira! Suamimu mengajakku rujuk! Aku, gak sudi ...!" teriakku dengan sekencang mungkin.
Sontak saja, perbuatanku itu mengundang perhatian banyak pasang mata. Bukan hanya menoleh, orang-orang yang sedari tadi sibuk dengan pekerjaannya bersorak membuat suasana terasa sangat panas.
Wajah Mas Haikal merah padam. Dengan menahan rasa kesal, dia langsung berjalan ke depan seraya mengusap keningnya.
"Diam! Semuanya diam dan kembali bekerja!"
"Kerja kerja kerja!"
Suara ketua grup terdengar saling bersahutan menghentikan anak buahnya yang masih mengomentari aksiku. Sedangkan di sana, wajah seorang wanita terlihat menahan amarah menatap tajam ke arahku.
Ini baru permulaan, nanti mereka akan mendapatkan kejutan yang lebih besar dari ini, tentunya yang tidak akan pernah orang-orang itu bayangkan sebelumnya.
Tunggu saja.
*
Waktu pulang sudah tiba. Aku segera keluar dari pabrik untuk menemui Mama yang datang menjemputku dengan Saffa.
Tadi, pada saat istirahat makan siang Mama menelepon dan akan langsung membawaku pergi jalan-jalan.
Sebenarnya badanku cukup lelah untuk pergi jalan-jalan, tapi aku tidak kuasa untuk menolak keinginan Mama. Apalagi, Mama bilang untuk menyenangkan hati Saffa yang ingin membeli boneka baru.
"Mama!" seru anakku seraya bertepuk tangan.
Aku berlari kecil menghampiri mereka yang tengah berdiri di sebrang jalan tepat di samping mobil milik Mama.
Sengaja Mama memakai kaca mata hitam serta masker agar petinggi pabrik ini tidak mengenali orang tuaku itu.
"Halo, Sayang," ujarku menyapa putri kecil yang menggemaskan itu.
Jika dibandingkan dengan beberapa garmen milik papa, pabrik ini termasuk paling kecil dan letaknya pun bukan di pusat kota. Dan baru kali ini aku melihat Mama datang ke sini selama hampir lima tahun bekerja.
Para karyawan pun rata-rata tidak ada yang tahu bagaimana wajah pemilik PT. AA Garment. Yang mereka tahu, bosnya itu sangat sibuk hingga tidak ada waktu untuk datang berkunjung melihat tempat usaha ini. Selalu mengirimkan utusan di setiap ada pertemuan.
Padahal alasan yang sebenarnya ialah karena ada aku di sini. Papa tidak mau semua orang tahu jika aku adalah putri mereka. Saking marahnya papa, ia sampai melarangku menyebut namanya di lingkungan hidupku.
"Silahkan kamu menikah dengan laki-laki itu, tapi jangan pernah mengakui kami sebagai orang tuamu. Tinggalkan atribut putri Dinata dan pergi hanya sebagai Alina," ucap Papa kala itu.
Bodohnya, aku tetap pergi meskipun orang tua tidak meridhoi. Dan hasilnya, sudah aku nikmati.
"Saffa, ikut jemput Mama?" ucapku seraya berjongkok mengecup pucuk kepala putriku.
"Iya. Kata Oma, kita akan jalan-jalan."
"Waaah, benarkah?"
"Iya, Mama!" ujar Saffa antusias.
Aku tertawa senang melihat wajah bahagia Saffa. Rasa lelahku seketika hilang dengan hanya melihat senyuman Saffa.
Mama sudah masuk terlebih dahulu ke dalam mobil, bersiap untuk mengendarai roda empatnya.
Saat aku membuka pintu, Saffa terlepas dari peganganku dan langsung berlari menyebrangi jalan sambil berteriak memanggil seseorang yang tengah membukakan pintu mobil untuk istrinya.
"Ayah ...!"
Mas Haikal membalikkan badan, lalu segera berjalan mengelilingi mobil hingga akhirnya masuk ke dalam tunggangannya dan pergi meninggalkan putriku yang berdiri di tengah jalan.
Ubun-ubunku seketika mendidih melihat pemandangan itu. Bohong, jika tadi Mas Haikal tidak melihat Saffa.
Sudah sangat jelas, jika dia membalikkan badan melihat ke arah putrinya. Namun, kesombongan dia membuat mata hatinya tertutup. Mas Haikal memilih pergi tanpa ingin menyapa Saffa sebentar saja.
"Kurang ajar!" ujar Mama geram.
Buru-buru aku lari untuk mengambil putriku yang masih mematung melihat kepergian ayahnya. Hingga akhirnya aku dikejutkan dengan suara teriakan orang-orang ketika melihat sebuah motor melaju kencang ke arah Saffa.
"Awaaass!"
"Saffa ...!"
Bersambung
"Huhu ... Saffa." Aku memeluk tubuh mungil putriku dengan sangat erat. Jantung ini seakan berhenti berdetak kala sepeda motor tadi melesat cepat menghadirkan angin yang menyapu wajahku. Bayangan akan kehilangan putri semata wayangku sudah terpampang jelas. Namun, Tuhan berkehandak lain membuat bayangan menyeramkan itu hilang berganti dengan rasa syukur yang tiada tara."Kamu, tuh kalau sama anak, tangannya jangan dilepasin. Untung saja aku bisa menarik dia, kalau tidak? Mati, tuh anak!" ujar Mbak Sum yang tadi menolong Saffa. Wanita yang dikenal paling bengal di pabrik itu berujar kesal padaku. Bagiamana tidak, dia harus jatuh terjengkang ke belakang seraya memeluk tubuh Saffa demi menghindari sepeda motor tadi.Aku tidak menjawab apa-apa. Masih duduk di tanah seraya terus memeluk putriku menciumi pucuk kepalanya berulang kali. "Terima kasih, ya sudah menolong cucu saya," ujar Mama terdengar suaranya. Orang-orang berkerumun melihat diri ini yang menangis bersimpuh masih enggan me
Permainan hari ini sepertinya sudah cukup. Aku mengambil ponsel, menelepon supir mobil derek yang membawa mobil Mas Haikal. "Pak, berhenti, Pak. Ternyata itu bukan mobil suami saya. Mobil suami saya sudah diambil sama karyawan bengkel.""Lah, si Ibu gimana, sih? Katanya bener itu mobilnya. Terus ini yang saya bawa mobil siapa?" tanyanya panik. "Punya orang. Itu pemiliknya sampai ngejar-ngejar di belakang.""Aduuuh, si Ibu bikin masalah saja, kalau orangnya minta ganti rugi gimana, Bu?" "Tentang, Pak. Saya yang tangguh jawab. Biaya angkut mobil itu juga akan saya bayar dua kali lipat. Bapak gak usah khawatir."Sambungan telepon terputus. Mobil derek itu berhenti dan si supir keluar dari mobilnya. Perdebatan antara Mas Haikal dengan supir mobil derek pun terjadi. Tapi, untungnya si supir tidak mengatakan diriku sebagai dalang dari masalah ini. Aku sudah mewanti-wanti dia dan akan aku beri imbalan yang setimpal untuk kerja sama yang menyenangkan ini. Pak Yadi—supir Papa sudah datang.
Gelak tawa laki-laki terdengar begitu menyenangkan saat kaki ini mulai mendekati ruang tamu. Sepertinya, orang yang ingin bertemu denganku bukanlah orang baru untuk Papa. Apa mungkin rekan bisnis Papa? Lalu, kenapa dia mau menemuiku? Seingatku, aku tidak mengenal siapa-siapa saja yang berbisnis dengan Papa. Dekat, apalagi. Sangat tidak sama sekali. Mungkinkah temanku? Rasanya tidak mungkin temanku bisa membuat Papa tertawa lepas seperti itu. Kepulanganku ke rumah ini pun tidak diketahui mereka. "Pak Gunawan. Apa kabar, Pak?" Langkahku terhenti saat Mama menyebutkan satu nama yang tidak asing di telingaku. Kakiku refleks berhenti dan mematung di belakang sofa yang kosong. Gunawan. Aku pernah mendengar nama itu disebutkan Papa beberapa kali di rumah ini. Yang aku tahu, dia adalah seorang pengusaha textile yang tak lain adalah sahabat Papa juga. Pak Gunawan jugalah yang waktu itu menawarkan perjodohan antara aku dan putranya yang sampai saat ini belum aku ketahui. Penolakan dari
Tiga puluh menit berlalu tangis Saffa belum juga mereda. Suaranya sudah sangat parau dengan keringat membanjiri wajahnya. Kalau sudah begini, tidak ada cara lain selain pergi untuk mendapatkan apa yang Saffa inginkan. Saffa akan kuat untuk menahan tidak jajan atau tidak makan. Itu sudah biasa. Tapi, untuk pisah lama jauh dari bonekanya, ya seperti sekarang ini. Mengamuk tak tahu waktu. Salah aku juga, sih kemarin menjanjikan akan segera memberikan dia yang baru. Tapi, kejadian di depan pabrik tadi sudah menyita waktuku untuk pergi ke toko boneka. "Dah, yu beli, yuk." Bang Aldi sudah membawa kunci mobil miliknya. Dia mengangkat tubuh Saffa yang terkulai di lantai. Tidak ada perlawan dari putriku. Lama menangis membuat dia kelelahan dan pasrah digendong oleh pamannya itu. Di dalam mobil, aku memperbaiki rambut Saffa yang berantakan. Mengusap wajahnya yang penuh air mata dengan rasa yang entah mengapa membuatku ingin menangis. Seharusnya, seorang ayah ada di saat putrinya merajuk
"Ya ampun, Al, banyak banget bonekanya?" "Stttt ..." Aku memberikan isyarat kepada Mama karena putriku telah tidur dalam gendongan.Mama mengerti. Ia membiarkanku untuk masuk melewati dia yang masih kebingungan melihat banyak sekali boneka yang dikeluarkan Bang Aldi dari mobil.Sampai di kamar, aku segera menurunkan Saffa yang terlelap tidak melepaskan boneka barunya. Hati merasa lega karena Saffa tidak meminta boneka yang lama. Ia cukup senang dengan barang yang saat ini dipeluknya. "Popo."Aku menyunggingkan senyum saat bibir mungil itu berucap seraya mengeratkan pelukan pada mainan barunya. Setelah memastikan Saffa tidur dengan nyaman, aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sesudahnya, aku langsung merebahkan diri di samping putriku. Mengistirahatkan tubuh serta pikiran. Biarkanlah Bang Aldi yang menjelaskan kepada Mama kejadian di mall tadi. Jangankan Mama, Bang Aldi pun terkejut karena aku keluar dengan banyak sekali boneka itu. Ah, rasanya aku ingin tertawa denga
"Tahu, Non.""Tahu anaknya?" tanyaku membuat Adi sedikit memelankan laju mobil. "Kenapa Non Alina menanyakan anak Pak Gunawan?""Semalam, Pak Gunawan datang lagi. Kayaknya, yah mereka masih mau menjodohkan aku dengan anak Pak Gunawan itu, deh. Aku juga heran, apa laki-laki itu tidak laku-laku hingga masih sendiri sampai saat ini?""Ah, masa gak laku, Non. Anaknya Pak Gunawan ganteng, lho.""Ya, kamu pikir saja, Di. Aku udah nikah, lima tahun yang lalu. Tapi, itu cowok enggak nikah-nikah. Apa sebenarnya dia udah nikah, tapi saat mendengar aku cerai, dia juga menceraikan istrinya? Wah, gak bener, tuh laki. Sarap."Adi tidak menjawab. Dia malah terkekeh, menutup mulutnya dengan punggung tangan. Aku bukan mengada-ada, tapi menduga-duga. Umumnya, orang yang ditolak, ditinggal nikah, pasti mencari kebahagiaan baru dengan orang yang baru. Tapi orang yang tidak aku tahu namanya itu, seperti yang mati rasa. "Apa jangan-jangan dia belok, ya, Di?" "Hahaha, si Non ada-ada saja. Sudah sampai, t
"Kamu tahu kenapa dipanggil ke sini?" Aku menggelengkan kepala dengan pandangan tak lepas dari pria berjas hitam itu. Wajahnya tak asing. Aku cukup mengenal siapa dia yang tak lain mertua baru Mas Haikal, ayah dari Amira, sekaligus manager produksi di garmen cabang ini. Tadi, setelah riuh gembira teman-teman karena mendapatkan undangan dari Papa, aku dipanggil untuk menghadap pimpinan. Teman-temanku bingung, tidak tahu kenapa aku dipanggil oleh pimpinan. Seingatku, aku tidak melakukan kesalahan fatal yang merugikan perusahaan. Apa hanya karena tadi aku datang terlambat? Sepertinya bukan. Telat sepuluh menit masih bisa masuk dan bekerja, meskipun ada potongan gaji nantinya. "Apa yang kamu lakukan sudah di luar batas. Tidak seharusnya menjebak anak saya untuk membayar belanjaan kamu."Aku tertegun. Mencerna ucapan Pak Baskoro yang baru saja dia ucapkan. Dia membahas masalahku semalam dengan anak menantunya?Aku tersenyum miring."Bapak memanggil saya datang ke sini untuk membaha
Secepat kilat aku mengambil ponsel Baskoro yang bersandar pada tisu dengan kamera yang menyala. Aku banting ke lantai hingga terbelah menjadi dua. Berhasil menghancurkan ponsel, aku berbalik badan menyerang Amira. Kedua pipinya sudah aku hadiahi pukulan sebagai tanda perpisahan. Setelahnya, aku langsung lari keluar tanpa menghiraukan teriakan serta umpatan mereka. "Bereng-sek kamu Alina!!""Ganti ponselku!!" Saat aku kembali ke bawah, orang-orang menatapku dengan penuh tanda tanya. Tanpa kata, aku langsung mematikan mesin jahit, berniat untuk keluar dari pabrik ini. Sudah cukup aku berada di sini dengan kesombongan mereka. Baru punya jabatan segitu saja, Baskoro dan Amira sudah merasa di atas awan. Bertingkah sesuka hati merasa paling benar. "Alina, mau ke mana?" tanya Nela melihatku berkemas. "Pulang. Tempat ini sudah tidak cocok untukku.""Kenapa? Dimarahi Pak Baskoro?""Dipecat, kamu?" Pertanyaan demi pertanyaan mereka lontarkan berharap mendapatkan jawaban dariku. Aku berd
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan