Secepat kilat aku mengambil ponsel Baskoro yang bersandar pada tisu dengan kamera yang menyala. Aku banting ke lantai hingga terbelah menjadi dua. Berhasil menghancurkan ponsel, aku berbalik badan menyerang Amira. Kedua pipinya sudah aku hadiahi pukulan sebagai tanda perpisahan. Setelahnya, aku langsung lari keluar tanpa menghiraukan teriakan serta umpatan mereka. "Bereng-sek kamu Alina!!""Ganti ponselku!!" Saat aku kembali ke bawah, orang-orang menatapku dengan penuh tanda tanya. Tanpa kata, aku langsung mematikan mesin jahit, berniat untuk keluar dari pabrik ini. Sudah cukup aku berada di sini dengan kesombongan mereka. Baru punya jabatan segitu saja, Baskoro dan Amira sudah merasa di atas awan. Bertingkah sesuka hati merasa paling benar. "Alina, mau ke mana?" tanya Nela melihatku berkemas. "Pulang. Tempat ini sudah tidak cocok untukku.""Kenapa? Dimarahi Pak Baskoro?""Dipecat, kamu?" Pertanyaan demi pertanyaan mereka lontarkan berharap mendapatkan jawaban dariku. Aku berd
"Bu, kalau tidak ada uang, tidak usah perawatan."Aku dan Mama yang hendak pulang, harus menghentikan langkah saat penjaga kasir berucap dengan nada tinggi. Saat aku lihat, ada ibu yang berdiri dengan wajah gugup di sana. "Ada apa, Mbak?" tanyaku menghampirinya. "Ini, lho Mbak. Ibu ini bukannya bayar, malah minta ngutang. Emangnya ini warung," ujar si Mbak kasir dengan nada ketus. Wajah ibu semakin memerah menahan malu. Tangannya bergetar karena gugup. "Makanya, Bu. Yang harusnya ditinggikan itu keimanan, bukan gaya hidup. Jadinya malu sendiri 'kan kalau gak bisa bayar."Ibu langsung menarik tanganku agar lebih rapat dengannya. Lalu, ia berkata yang membuatku melebarkan mata. "Ini menantu saya, Mbak. Dia yang akan membayar semua tagihan perawatan saya tadi.""Bukan!" kataku langsung melepaskan tangannya. "Mantan. Saya dan anaknya sudah bercerai. Dan tidak ada lagi hak dan kewajiban saya untuk menanggung hidup Ibu. Maaf, saya sudah pensiun jadi mesin uangnya Ibu," tuturku langsun
"Gimana, Pah? Tadi Papa meeting apa?" tanyaku setelah Papa kembali. "Banyak yang Papa bahas tadi. Papa juga sudah menyuruh orang untuk memasang cctv di pabrik tempatmu kerja, dan secara diam-diam tentunya."Aku tersenyum senang mendengar itu. Artinya, sedikit demi sedikit kecurangan yang ada di sana akan terbongkar. Papa pun bisa melihat mana karyawan yang baik dan mana yang buruk. Inginku bukan hanya menjatuhkan Mas Haikal dan Baskoro. Dengan adanya kamera pengawas tambahan itu, aku harap agar para karyawan yang sudah senior tidak semena-mena sama juniornya. Mencegah adanya bullying agar suasana kerja jadi nyaman dan aman. Kita membutuhkan karyawan, maka kita harus memberikan rasa nyaman untuk mereka agar tetap setia mengabdikan diri pada perusahaan. "Al, ada hal yang ingin Papa bicarakan denganmu. Ini serius," ucap Papa seraya menegakkan tubuh. Aku sedikit tegang, harap-harap cemas menunggu kata selanjutnya yang akan diucapkan Papa. "Kamu juga tahu, Al. Papa ini sudah tua, tid
"Apa itu, Al?" Aku membalikkan badan, melihat pada Mama yang berdiri di teras rumah. "Enggak tahu, Mah. Ini juga yang ngirimnya sok-sokan banget pake nulis 'teruntuk calon istri', padahal siapa juga yang mau nikah sama dia," ujarku menggerutu seorang diri. Mama tidak lagi bicara. Ia malah mengambil kotak dari tanganku yang kini sudah berada tepat di depan pintu. Lalu membawanya dan duduk di ruang tamu."Berat, Al. Apa, ya isinya?" ujar Mama menimbang kotak berwarna merah marun itu. Aku mengedikkan bahu. Sama sekali tidak tertarik dengan isi dari kado tersebut. Yang mau aku tahu, siapa pengirimnya? Jangan-jangan anaknya Pak Gunawan? Aish, bertemu saja belum, sudah berani panggil calon istri. Percaya diri banget kalau aku akan menerima lamaran dia. "Ya Allah .... Alina lihat, ini bagus banget!" Mendengar Mama histeris, aku yang tadinya tidak tertarik, kini malah melirik hadiah yang Mama buka. Mataku memicing ketika sebuah gaun panjang Mama ambil dari dalam kotak tadi. Indah. I
Dua hari telah berlalu dari keluarnya aku dari pabrik. Hari ini, semua orang rumah sibuk. Mama, Papa, sampai Bi Narsih pun ikut sibuk mempersiapkan diri untuk pesta malam nanti. Aku pun sama, fokus mencari gaun untuk Saffa. Masalahnya bukan pada Saffa, tapi pada Adi si supir yang sulit sekali aku hubungi akhir-akhir ini. Alasannya banyak banget ketika aku menyuruh dia datang. Padahal Papa bayar dia buat jadi supir pribadiku, tapi malah mengambil pekerjaan lain. "Itu, Om Adi!" tunjuk Saffa pada mobil yang memasuki halaman rumah. "Euhh ... lama banget!" Aku menggerutu dan langsung masuk ke dalam mobil yang sudah berhenti.Disuruh datang pagi-pagi, sudah hampir tengah hari baru datang. "Maaf, Non. Tadi saya nganter dulu penumpang," ujarnya cengengesan. "Emang gaji kamu dari Papa kurang, sampe harus kerja sampingan jadi supir taksi online? Mana ini mobil punya Papa, lagi yang pake buat narik orang." Aku mengeluarkan unek-unek yang sejak tadi ditahan. "Maaf, Non. Kalau untuk narik, s
Aroma makanan yang tersaji semakin membuat perutku keroncongan. Berjam-jam mengelilingi toko pakaian, menghabiskan banyak tenaga yang pada akhirnya lapar pun menyerang.Di sinilah sekarang aku berada. Di restoran cepat saji dengan nuansa yang menyegarkan mata. Sangat estetik, dan pastinya kekinian. "Enak?" tanyaku pada Saffa yang tengah mengunyah makanan favoritnya. Putriku mengangguk, lalu kembali menyuapkan paha ayam goreng yang menjadi kegemarannya. "Mah, ini tepungnya dikit, ya?" "Iya, Sayang.""Kalau di lumah Nenek, aku makan tepungnya aja, dagingnya dimakan Nenek."Sesak. Dadaku seakan dihimpit batu yang sangat besar. Sudah satu minggu aku keluar dari rumah itu, tapi Saffa masih saja mengingat kenangan pahit di dalamnya. Padahal, tidak satu kali pun aku membahas tentang kejadian itu dengannya. Aku tersenyum hambar dengan tangan mengusap ubun-ubun Saffa. Menyuruh putriku melanjutkan makan, tanpa harus mengingat masa lalu. Melihat perubahan wajahku, Adi berhenti makan dan me
Adzan maghrib berkumandang bertepatan dengan berhentinya mobil di depan rumah. Tanpa banyak bicara, aku langsung turun dan masuk seraya menuntun Saffa yang menenteng paperbag berisikan gaun miliknya. "Nah, nah ini, nih orangnya. Ditelepon gak diangkat, dikirimin pesan gak dibales. Dari mana, Tuan Putri?" ujar Mama membungkukkan badan menatap wajah putriku. Padahal aku tahu, jika pertanyaan itu ditujukan untukku. "Beli baju, Oma. Bagus, cantik kayak Caffa.""Oya? Coba Oma, lihat!" Saffa memberikan paperbag pada Mama, dan langsung dibuka oleh wanita yang masih cantik diusianya yang tak lagi muda. Mama tersenyum manis pada Saffa, tapi tidak padaku. "Masuk dan cepat bersiap. Itu orang-orang salon udah nungguin dari tadi," ujarnya menyuruh. "Iya, tapi aku mau solat dulu.""Makanya, jangan pergi lama-lama. Beli baju satu aja kayak beli segudang. Lamanya minta ampun."Tak aku hiraukan Mama yang menggerutu. Aku langsung ke kamar dan membersihkan diri. Setelahnya, melaksanakan salat tiga
Mas Haikal tidak melanjutkan kata-katanya saat Nela datang. Temanku itu ternganga memindai penampilanku dari atas hingga bawah. "Astaga ... ini beneran si Alina?" tanya teman lainnya yang ikut mengahmpiri kami. "Ck' ck' ck'. Cantik banget, kamu, Lin. Ya Allah bajunya bagus bener! Rambut dikepang sebagian, kayak putri raja, lu. Ini juga perut, kek talenan, rata banget!"Aku terkekeh mendengar pujian Nela yang terus memindaiku. Kulirik Mas Haikal yang masih berada bersama kami. Ia sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dariku. 'Kenapa? Ingat masa lalu?' Ingin sekali aku berucap demikian. Tapi, tidak mungkin karena sekarang dua dayang-dayangnya datang. Amira menarik kasar Mas Haikal untuk menjauh dariku. Wajahnya menyiratkan kecemburuan dan kebencian. 'Gitu aja, marah. Gak inget, waktu dia mesra-mesraan di depanku dulu? Aku marah? Enggak.'"Enggak usah terlalu banyak memuji. Palingan baju yang dia pakai pun dapet nyewa. Amira, dong. Yang dipakai dia dari atas hingga bawah, sem