Aroma makanan yang tersaji semakin membuat perutku keroncongan. Berjam-jam mengelilingi toko pakaian, menghabiskan banyak tenaga yang pada akhirnya lapar pun menyerang.Di sinilah sekarang aku berada. Di restoran cepat saji dengan nuansa yang menyegarkan mata. Sangat estetik, dan pastinya kekinian. "Enak?" tanyaku pada Saffa yang tengah mengunyah makanan favoritnya. Putriku mengangguk, lalu kembali menyuapkan paha ayam goreng yang menjadi kegemarannya. "Mah, ini tepungnya dikit, ya?" "Iya, Sayang.""Kalau di lumah Nenek, aku makan tepungnya aja, dagingnya dimakan Nenek."Sesak. Dadaku seakan dihimpit batu yang sangat besar. Sudah satu minggu aku keluar dari rumah itu, tapi Saffa masih saja mengingat kenangan pahit di dalamnya. Padahal, tidak satu kali pun aku membahas tentang kejadian itu dengannya. Aku tersenyum hambar dengan tangan mengusap ubun-ubun Saffa. Menyuruh putriku melanjutkan makan, tanpa harus mengingat masa lalu. Melihat perubahan wajahku, Adi berhenti makan dan me
Adzan maghrib berkumandang bertepatan dengan berhentinya mobil di depan rumah. Tanpa banyak bicara, aku langsung turun dan masuk seraya menuntun Saffa yang menenteng paperbag berisikan gaun miliknya. "Nah, nah ini, nih orangnya. Ditelepon gak diangkat, dikirimin pesan gak dibales. Dari mana, Tuan Putri?" ujar Mama membungkukkan badan menatap wajah putriku. Padahal aku tahu, jika pertanyaan itu ditujukan untukku. "Beli baju, Oma. Bagus, cantik kayak Caffa.""Oya? Coba Oma, lihat!" Saffa memberikan paperbag pada Mama, dan langsung dibuka oleh wanita yang masih cantik diusianya yang tak lagi muda. Mama tersenyum manis pada Saffa, tapi tidak padaku. "Masuk dan cepat bersiap. Itu orang-orang salon udah nungguin dari tadi," ujarnya menyuruh. "Iya, tapi aku mau solat dulu.""Makanya, jangan pergi lama-lama. Beli baju satu aja kayak beli segudang. Lamanya minta ampun."Tak aku hiraukan Mama yang menggerutu. Aku langsung ke kamar dan membersihkan diri. Setelahnya, melaksanakan salat tiga
Mas Haikal tidak melanjutkan kata-katanya saat Nela datang. Temanku itu ternganga memindai penampilanku dari atas hingga bawah. "Astaga ... ini beneran si Alina?" tanya teman lainnya yang ikut mengahmpiri kami. "Ck' ck' ck'. Cantik banget, kamu, Lin. Ya Allah bajunya bagus bener! Rambut dikepang sebagian, kayak putri raja, lu. Ini juga perut, kek talenan, rata banget!"Aku terkekeh mendengar pujian Nela yang terus memindaiku. Kulirik Mas Haikal yang masih berada bersama kami. Ia sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dariku. 'Kenapa? Ingat masa lalu?' Ingin sekali aku berucap demikian. Tapi, tidak mungkin karena sekarang dua dayang-dayangnya datang. Amira menarik kasar Mas Haikal untuk menjauh dariku. Wajahnya menyiratkan kecemburuan dan kebencian. 'Gitu aja, marah. Gak inget, waktu dia mesra-mesraan di depanku dulu? Aku marah? Enggak.'"Enggak usah terlalu banyak memuji. Palingan baju yang dia pakai pun dapet nyewa. Amira, dong. Yang dipakai dia dari atas hingga bawah, sem
Iya, dia si mantan suami yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Entah apa maunya, dia seperti sengaja ingin mendekat ke arahku. "Ekhem! Pindah sini," titah Bang Aldi yang menyadari keberadaan Mas Haikal. Merasa usahanya mendekatiku gagal, Mas Haikal hanya bisa pasrah saat berdiri dihimpit kakakku dan satu staf lain. Sedangkan aku, pindah ke tempat paling ujung yang hanya ada aku dan Saffa saja sebagai pemegang pisau. "Dalam hitungan ketiga, potong sama-sama, ok?!" ujar MC memberikan aba-aba. Aku dan Saffa bersiap. Putriku itu sudah cengengesan tidak sabar. "Satu, dua, tiga, potong!!"Aku menurunkan pisau hingga menggores kue raksasa itu. Tepuk tangan menggema di seluruh ruangan sebagai tanda suka cita.Musik serta taburan balon serta kertas warna-warni menambah meriah pesta malam ini. "Mama, Caffa mau balon!" ujar putriku memaksa turun dari gendonganku. Dia satu-satunya anak kecil di atas panggung yang pada akhirnya jadi pusat perhatian karena terus berlari-lari ke sana kem
"Kamu sengaja mendekatkan Saffa dengan pria lain agar dia melupakanku?" Mataku menoleh dengan cepat, menyeringai ke arah Mas Haikal yang berucap seraya menatapku tajam. "Apa untungnya aku melakukan itu?" tanyaku sembari bersidekap dada. Bersandar pada tembok yang mana di dalamnya ada putriku bersama Adi. Tadi, Mas Haikal terus berusaha mengambil hati Saffa agar mau digendong, tapi anakku menolak. Ia malah merengek meminta Adi untuk menemani dia ke dalam toilet, meskipun aku sudah membujuknya. Hingga akhirnya, kini aku diserang oleh pertanyaan Mas Haikal yang tidak terima anaknya lebih memilih Adi dibandingkan dia. Menyalahkan aku, karena putrinya enggan untuk dia sentuh. "Jelas banyak. Kamu sengaja menghilangkan identitasku sebagai ayahnya, dan kamu ganti dengan kekasihmu."Aku terkekeh. Sungguh pemikiran yang dangkal. Jika mau, aku bisa melakukan itu dengan mudah. Sayangnya, aku tidak setega dia yang dengan sangat ringan tidak mau menganggap Saffa ada. Aku seorang ibu, pikiran
Itu bukan hanya akan membuat Mas Haikal terkejut, tapi bisa membangkitkan rasa marah yang luar biasa. Dan Amira, dia pasti akan langsung menyalahkan aku atas ini. "Pah.""Sssttt ... waktu pesta akan segera berakhir. Cepat berkemas, kita akan pulang," ujar Papa seraya berdiri, lalu meninggalkan aku untuk berpamitan kepada rekan-rekannya. Aku pun demikian. Menghampiri meja teman-temanku untuk berpamitan. Sedangkan Saffa, putriku sudah dibawa Mama ke tempat istirahat yang berada di gedung ini. Setelah dari toilet tadi, Saffa tidur dan dipindahkan ke ruangan khusus yang memang untuk tidur. "Kagak nyangka gue, ternyata elu emang orang kaya, Lin. Maafin, ya selama kerja suka dengan berani nyuruh-nyuruh elu," ujar Mbak Maya saat aku mengahampiri meja mereka. "Enggak apa-apa, Mbak. Santai saja. Dulu, kan kita sama. Sama-sama buruh pabrik.""Iye, tapi tetep aja rasanya gue enggak sopan, gitu.""Santuy," ujarku lagi menghapus ketidaknyamanan mereka. Setelah berbasa-basi, kami pun keluar da
"Itu perempuan kenapa maen tampar-tampar aja sih? Aduh, merah banget. Sakit, ya, Al?" tanya Mama seraya mengusap pipiku."Lumayan, Mah.""Kenapa gak balas tampar lagi, sih?" "Di sana banyak orang mah, aku diliatin. Ya, kalau yang lihat cuma karyawan Papa doang. Kalau rekan bisnisnya? Aku gak mau bikin Papa malu.""Si Papa juga, anaknya ditampar bukannya laporin tuh orang ke keamanan biar dibawa ke polisi, malah disuruh pulang doang." Lagi-lagi Mama menggerutu. "Papa mana tahu kalau dia nampar Alina. Yang Papa lihat, waktu dia dorong Alina saja. Enggak tahu cerita awalnya gimana.""Kan, sekarang udah tahu cerita sebenarnya, tindak, dong.""Mah, sudahlah." Aku menengahi perdebatan Mama dan Papa. "Bukan sudah-sudah, Al. Kebiasaan. Itu kekerasan namanya. Bisa, kok dipidanakan," tutur Mama lagi terus mengompori. Aku cuma bisa menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Emosi Mama sedang naik. Dia tidak terima dengan perlakuan Amira tadi di parkiran. Mama juga menyuruhku untu
Papa menyuruh Bi Narsih untuk mengambilkan ponsel miliknya. Kata Papa, ia akan menelepon polisi serta keamanan perumahan tempat kami tinggal. Selang beberapa menit, keamanan datang dengan diiringi suara sirine polisi. Aku serta keluargaku keluar dari rumah untuk menemui mereka. Tetangga yang mendengar adanya polisi, mereka pun datang melihat apa yang terjadi di sini. "Mbak Alina, ada apa? Tadi, Ibu mendengar suara kaca pecah," tanya tetangga rumahku. "Itu, Bu. Ada yang lempar batu.""Ya Allah ... teror?" ujar wanita tambun berkulit putih itu seraya melihat ke arah kaca yang sudah berserakan. Polisi menanyai Papa mengenai kronologi kejadian dan waktu kejadian. Satu dari mereka pun memotret serta memvideokan kaca yang berserakan di lantai untuk bukti. Aku menyuruh Bi Narsih membuatkan minuman untuk tamu yang datang, sementara aku masuk ke dalam rumah ingin melihat Saffa. Pikiranku masih terus mencari siapa dalang dibalik teror itu. Tapi, otakku tidak menemukan orang lain selain B