Itu bukan hanya akan membuat Mas Haikal terkejut, tapi bisa membangkitkan rasa marah yang luar biasa. Dan Amira, dia pasti akan langsung menyalahkan aku atas ini. "Pah.""Sssttt ... waktu pesta akan segera berakhir. Cepat berkemas, kita akan pulang," ujar Papa seraya berdiri, lalu meninggalkan aku untuk berpamitan kepada rekan-rekannya. Aku pun demikian. Menghampiri meja teman-temanku untuk berpamitan. Sedangkan Saffa, putriku sudah dibawa Mama ke tempat istirahat yang berada di gedung ini. Setelah dari toilet tadi, Saffa tidur dan dipindahkan ke ruangan khusus yang memang untuk tidur. "Kagak nyangka gue, ternyata elu emang orang kaya, Lin. Maafin, ya selama kerja suka dengan berani nyuruh-nyuruh elu," ujar Mbak Maya saat aku mengahampiri meja mereka. "Enggak apa-apa, Mbak. Santai saja. Dulu, kan kita sama. Sama-sama buruh pabrik.""Iye, tapi tetep aja rasanya gue enggak sopan, gitu.""Santuy," ujarku lagi menghapus ketidaknyamanan mereka. Setelah berbasa-basi, kami pun keluar da
"Itu perempuan kenapa maen tampar-tampar aja sih? Aduh, merah banget. Sakit, ya, Al?" tanya Mama seraya mengusap pipiku."Lumayan, Mah.""Kenapa gak balas tampar lagi, sih?" "Di sana banyak orang mah, aku diliatin. Ya, kalau yang lihat cuma karyawan Papa doang. Kalau rekan bisnisnya? Aku gak mau bikin Papa malu.""Si Papa juga, anaknya ditampar bukannya laporin tuh orang ke keamanan biar dibawa ke polisi, malah disuruh pulang doang." Lagi-lagi Mama menggerutu. "Papa mana tahu kalau dia nampar Alina. Yang Papa lihat, waktu dia dorong Alina saja. Enggak tahu cerita awalnya gimana.""Kan, sekarang udah tahu cerita sebenarnya, tindak, dong.""Mah, sudahlah." Aku menengahi perdebatan Mama dan Papa. "Bukan sudah-sudah, Al. Kebiasaan. Itu kekerasan namanya. Bisa, kok dipidanakan," tutur Mama lagi terus mengompori. Aku cuma bisa menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Emosi Mama sedang naik. Dia tidak terima dengan perlakuan Amira tadi di parkiran. Mama juga menyuruhku untu
Papa menyuruh Bi Narsih untuk mengambilkan ponsel miliknya. Kata Papa, ia akan menelepon polisi serta keamanan perumahan tempat kami tinggal. Selang beberapa menit, keamanan datang dengan diiringi suara sirine polisi. Aku serta keluargaku keluar dari rumah untuk menemui mereka. Tetangga yang mendengar adanya polisi, mereka pun datang melihat apa yang terjadi di sini. "Mbak Alina, ada apa? Tadi, Ibu mendengar suara kaca pecah," tanya tetangga rumahku. "Itu, Bu. Ada yang lempar batu.""Ya Allah ... teror?" ujar wanita tambun berkulit putih itu seraya melihat ke arah kaca yang sudah berserakan. Polisi menanyai Papa mengenai kronologi kejadian dan waktu kejadian. Satu dari mereka pun memotret serta memvideokan kaca yang berserakan di lantai untuk bukti. Aku menyuruh Bi Narsih membuatkan minuman untuk tamu yang datang, sementara aku masuk ke dalam rumah ingin melihat Saffa. Pikiranku masih terus mencari siapa dalang dibalik teror itu. Tapi, otakku tidak menemukan orang lain selain B
Mendengar teriakanku, Mama langsung datang terpogoh-pogoh. Begitu pun penjaga di luar, mereka buru-buru menghampiriku."Kenapa, Al?" tanya Mama. "Ular, isi kotak itu ular!""Ular? Mana sekarang?" Salah satu penjaga bertanya padaku. "Ke sana, ke samping sofa." Aku menunjuk ke mana perginya hewan itu. Sumpah demi apa pun, aku sangat syok setelah membuka kotak tadi. Tanganku refleks menjatuhkannya hingga ular itu merayap ke sembarang arah. Dua penjaga langsung mencarinya. Aku bergidik ngeri saat ular itu keluar dari persembunyiannya dan merayap menghindari tangkapan dua pria serta Bi Narsih yang memegang gagang sapu. Setelah beberapa lama mencari dan menikung hewan panjang itu, penjaga rumah berhasil menangkapnya. Mereka langsung membawanya keluar untuk dibuang. Aki tidak bisa membayangkan bagaimana jika tadi aku membawa kotak itu ke Mama. Dibuka putriku yang tengah bermain. "Mama harus menelepon Papa," ucap Mama masuk ke dalam rumah mendahuluiku. Aku menyusulnya dan langsung mas
Benar, aku sudah sampai di depan kafe Mutiara. Dan dari sini aku bisa melihat jika Mas Haikal masih berada di dalam sana. Duduk di dekat kaca. "Ini uangnya, Pak. Terima kasih," ucapku seraya turun dari dalam taksi. Dengan mata yang terus melihat ke sana kemari, aku pun langsung masuk ke dalam kafe. Menghampiri Mas Haikal yang melihat ke arahku dengan ekspresi tidak bersahabat. Wajahnya terlihat kusut dengan kantung mata yang menghitam. Tidak tidurkah dia semalam? "Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya tanpa basa-basi."Tolong hentikan semuanya."Mas Haikal mengerutkan kening seraya menatapku lekat. Aku pun sama. Menatap mata itu lamat-lamat. "Apa maksudmu hentikan semuanya?" tanyanya kemudian. "Kamu tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti?" kataku. "Bagaimana aku akan mengerti jika kamu tidak mengatakan duduk masalahnya. Langsung memintaku menghentikan sesuatu, yang aku pun tidak tahu apa perbuatanku."Ini." Aku memperlihatkan layar ponsel yang menyala ke arahnya. Sebu
Aku membuka mata perlahan, mengedarkan pandangan yang masih sedikit buram. Beberapa kali mengerjapkan mata, menajamkan penglihatan. Asing. Aku tidak tahu ada di mana. Tapi, tidak seperti penyekapan ataupun tempat penyanderaan. Ini seperti rumah sakit. Aku berniat untuk bangun, mencari tahu keberadaanku di sini. Namun ...."Aw." Aku memekik saat kurasakan sakit di leher bagian belakang. Kubaringkan kembali tubuhku untuk menghilangkan rasa sakit itu."Non, Alina." Adi menyibak gorden, lalu menghampiriku.Melihat kedatangan Adi, aku merasakan kelegaan yang teramat sangat. Itu artinya, aku tidak bersama peneror itu. "Di, aku di rumah sakit?" tanyaku pada supir itu. "Di klinik, Non." Ia mengambilkan air minum, lalu memberikannya padaku."Tadi ada yang memukul aku, Di. Apa orang itu Mas Haikal?" tanyaku lagi ingin tahu. Adi duduk di kursi plastik tepat di samping ranjangku. Ia pun menceritakan apa yang terjadi setelah aku keluar dari kafe. Seperti dugaanku, aku diikuti oleh seorang pr
Sore ini hujan turun dengan lebat. Aku berdiri di balkon kamar seraya mengadahkan tangan. Menikmati rintik yang menggelitik. Aku menoleh ke bawah, di mana ada gadis kecil yang berdiri dengan tangan ia ulurkan keluar dari sela railling balkon. Ia sangat senang bisa menikmati air hujan meskipun hanya tangan saja yang dibasahi. "Mama, boleh tidak Caffa ujan-ujana?" tanya putriku dengan mata yang mengerjap. "Boleh. Tapi, nanti jika Saffa sudah besar, ya? Sekarang, Saffa masih kecil, Mama takut Saffa jatuh dan kedinginan.""Kalau sama ayah, boleh?" Aku tidak langsung menjawab pertanyaan putriku. Mungkinkah Saffa merindukan ayahnya hingga bertanya demikian?Aku menarik tanganku. Berjongkok mensejajarkan tinggi dengan Saffa. "Kenapa, Saffa nanya gitu?" Aku mengusap kedua pipi yang basah terkena cipratan air hujan. "Caffa hanya mau main air hujan cepelti itu, Mah." Aku mengikuti telunjuk Saffa yang menunjuk ke bawah. Di sana, tepatnya di jalan depan rumah ada seorang anak seusia dia ya
"Pah, dia anaknya Pak Gunawan?" bisikku di telinga Papa. Anggukan kepala ayahku itu membuat tenggorokan ini terasa gersang bagaikan di padang pasir. Beberapa kali meneguk ludah, rasanya teramat sakit bak menelan duri. Tidak mungkin dia yang akan menjadi suamiku. Ini pasti salah. Papa bilang anaknya Pak Gunawan pria setia yang tidak akan pernah menduakan aku seperti Mas Haikal. Oke, aku percaya jika dia tidak akan menduakan aku dengan wanita lain. Tapi ... jika dengan lawan jenisku, aku tidak yakin."Hay, Alina ... duduk di sini, Sayang. Aku sudah memesankan makanan untukmu. Ih ... kamu pasti suka, deh dengan pilihanku."Kembali aku menelan ludah dengan sakit ketika melihat gaya dan tutur bahasanya dalam berucap."Pah, aku mau pulang.""Diam, Alina. Jangan bikin malu Papa di depan Pak Gunawan."Aku memejamkan mata, beberapa kali beristighfar dalam hati untuk mengusir segala makhluk halus, termasuk makhluk aneh yang ada di depanku. Rasanya hidupku tidak akan lebih baik dari sebelumn
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan