Papa. Ia berjalan dengan menggendong Saffa yang sudah cantik, siap untuk pergi bersama kami. Melihat ada Ibu, putriku langsung mengeratkan tangannya yang memeluk Popo. Seperti takut, jika neneknya itu akan mengambil kembali boneka kesayangannya. "Saffa, ini Nenek, Nak. Sini, Sayang, gendong." "Jangan! Jangan ambil!" Saffa menjerit histeris menolak tangan ibu yang hendak menggendongnya. Yang ada di pikiran Saffa, neneknya itu akan mengambil Popo. Padahal, dialah yang diinginkan ibu. "Ibu, maaf. Tolong jangan paksa Saffa. Dia keberatan untuk Ibu gendong. Ibu, bisa lihat bukan, bagiamana dia menolak?" ujar Papa menghalangi Saffa dengan tangan kokohnya. "Tapi, dia cucu saya. Jangan mentang-mentang orang kaya, Anda bisa menguasai Saffa, ya? Saya juga berhak atas anak itu. Apalagi ayahnya, dia sangat merindukan Saffa!"Aku berdecih mendengar ibu berucap demikian. Rindu katanya? Hanya omong kosong! "Maaf, Bu, kami harus pergi. Lain kali saja Ibu datang ke sini. Sekarang kami harus se
"Mau bicara apa, sih? Bicara di sini, 'kan bisa?" ujar Papa menutup buku menu yang tadi dia baca. "Enggak enak, Pah." Aku berucap dengan lesu. Mataku terus mencuri pandang pada Adi, tapi pria yang sok keren itu malah santai dan sama sekali tidak menoleh ke arahku. Beberapa saat menunggu, makanan serta minuman yang kita pesan sudah datang. Namun, satu yang aku bingungkan. Kenapa anaknya Pak Gunawan belum juga datang? Bukannya aku menunggu dia, tapi katanya tadi sudah di jalan. Kok, enggak nyampe-nyampe? "Mari silahkan dimakan, Alina. Kita makan dulu lah, sebelum nanti ke pembahasan. Biar perut kenyang," tutur Pak Gunawan. Aku mulai menikmati steak yang ada di depanku dengan terus melirik ke arah Adi. Tapi orang yang aku lirik malah anteng dengan makanannya. Sama sekali tidak peka, meski beberapa kali aku memberikan kode. Tidak ada pembicaraan yang serius ketika kami makan. Obrolan didominasi Papa sama Pak Gunawan yang membicarakan tentang bisnis. Aku menyimak, seraya terus menc
"Al, kamu sudah tahu cerita sebenarnya dari Om Gun, sekarang apa yang ingin kamu tanyakan. Kami akan menjawab semuanya," ujar Papa yang melihatku hanya diam dengan memilin tisu bekas mengelap bibirku. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sangat pelan. Aku melihat wajah-wajah yang ada di meja ini satu persatu. Termasuk putriku yang masih anteng dengan makanannya. Bingung. Entah dari mana aku harus mulai bertanya. Semuanya terasa menggumpal seperti benang kusut dalam pikiranku. "Tanyakan, Al. Jangan ditahan." Mama ikut berbicara. Aku manggut-manggut, menegakkan tubuh untuk mulai berucap. "Em ... benar, Adi anaknya Om Gun?"Semuanya tertawa lagi mendengar pertanyaanku. "Sebentar." Pak Gunawan mengambil dompetnya, mengeluarkan kertas putih dari dalam sana. "Ini, coba kamu baca sendiri, deh kalau tidak percaya," ujar dia kemudian dengan memberikan kertas yang terlipat itu padaku. Aku membukanya. Dan ternyata itu adalah kartu keluarga. Benar. Adikara Wijaya adalah ana
"Sejak ... beberapa tahun ke belakang," ujar Adi. Aku mengingat beberapa tahun ke belakang itu. Di mana aku jadi lebih sering menghubungi dia untuk meminta bantuan mengumpulkan bukti perselingkuhan Mas Haikal dengan Amira. Apa sejak itu dia mulai menyukaiku? Ah, rasanya aku tidak percaya. Tidak mungkin hanya karena iba bisa jadi cinta. Apalagi pertemuan kami tidak intens. Tidak pernah juga aku melihat gelagat Adi yang memperlihatkan perhatiannya padaku. "Kenapa kamu mau menerima perjodohan ini?" tanyaku ingin tahu. "Karena aku anak baik yang nurut kepada orang tua." Aku berdecak sebal. Itu bukan jawaban dia yang sebenarnya. Tapi, sebuah sindiran untukku. "Aku serius, Adikara Wijaya." Adi terkekeh dengan memalingkan wajah ke arah Saffa. Sebelah tangannya mengusap pucuk kepala putriku yang anteng menonton kartun di ponsel milik Adi. "Okelah akan aku ceritakan. Awalnya, aku juga menolak saat Papa membicarakan ini padaku. Apalagi saat beliau memperlihatkan fotomu. Aku sama
Dua hari telah berlalu, Adi tidak lagi datang menjadi supir. Tapi sebagai Adikara Wijaya seorang pengusaha muda. Tidak ada lagi seorang Adi yang jika datang hanya memaki kaus oblong dengan celana jeans. Setelan formal selalu dia kenakan seperti pria kantoran pada umumnya. "Kamu gak kerja?" tanyaku dengan pandangan lurus pada televisi. Sedangkan Adi, ia tengah duduk lesehan bersama Saffa. Main lego, membuat menara. "Bos mah bebas, Nona. Mau pulang pagi, siang, malam pun tidak akan ada yang larang," ujarnya enteng. "Apa jadinya sebuah perusahaan, jika bosnya pemalas kayak gitu?" "Enaknya aja pemalas. Justru aku sedang rajin-rajinnya ini," tutur Adi tanpa melihat ke arahku. "Rajin apaan? Masa rajin pulang kantor siang-siang gini.""Rajin belajar jadi ayah buat Saffa. Iya, 'kan Saffa?" "Iya ...," ujar Saffa dengan polosnya. Aku yang merasa dipermainkan, langsung melayangkan bantal sofa ke punggung pria itu. Bukannya marah, Adi malah tergelak dengan lepasnya yang diikuti oleh anak
Merasa jenuh dengan keseharian yang hanya makan tidur, semalam aku meminta pekerjaan baru pada Papa. Kerjaan yang ringan, dan tidak akan menyita banyak waktu. Aku tidak ingin meninggalkan Saffa juga. Namun, jawaban Papa di luar dugaan. Ia malah menyuruhku untuk menikah saja agar aku memiliki kesibukan baru. Mengurus suami, anak dan rumah. Astaga, itu tidak ada dalam opsi pikiranku. Aku hanya ingin punya kegiatan, tapi juga tidak mengekang dan menuntutku harus masuk setiap hari. Membingungkan memang. Antara malas dan manja yang sedang aku rasakan. "Yasudah, kalau tidak mau menikah dulu, kamu ke toko pakaiannya Mama saja. Belajar berniaga di sana," ujar Papa malam tadi. Di sinilah saat ini aku berada. Duduk melihat para wanita berbelanja. Ada yang datang dengan pasangannya, temannya, juga orang tuanya. Melihat senyum puas mereka karena sudah menemukan barang yang dicari, membuatku seketika mengingat masa itu. Aku pernah muda, pernah gila belanja hingga tidak pernah memikirkan bera
Iya, di sana ada seorang pria yang tengah duduk dengan beberapa pria lainnya. Jika aku perhatikan, sepertinya mereka tengah membahas masalah pekerjaan. Terlihat di depan mereka ada beberapa laptop serta buku yang entah apa isinya. 'Kok, dia jadi beda, ya jika sedang dengan rekan kerjanya. Terlihat lebih berkarisma dan berwibawa.'"Liatin apaan, sih?" ujar Nilam menyentuh tanganku. Ia celingukan ke belakang mencari sumber tatapanku. "Ah, enggak. Tadi seperti melihat orang yang kukenal. Tapi, kayaknya bukan, deh." Aku membuang pandangan dari Adi, kembali pada Nilam. Tidak terasa sudah satu jam lamanya aku bersua dengan Nilam. Hingga akhirnya temanku itu harus pergi terlebih dahulu karena mendapatkan telepon dari suaminya. Sepertinya Nilam, aku mengambil ponsel untuk menelepon Mama. Menanyakan Saffa yang saat ini sedang berada di rumah. "Ha— aaaahhh!" Aku berteriak seraya berjingkat. Berdiri dari dudukku saat kurasakan ada air yang mengalir dari atas kepala. Aku menoleh ke belakang,
"Aku hanya membela diri, Pah.""Papa tahu, tapi karena emosi kamu yang tidak terkontrol, hampir saja kamu membunuh orang, Al."Inilah buntut dari pertengkaran aku dan Amira. Aku disidang Papa karena video di kafe tadi sudah tersebar dan meluas menjadi konsumsi publik. Tidak main-main, judul dari video itu pun sangat menyesakkan dada. [Seorang anak pengusaha menjadi pelakor dari karyawannya sendiri.]Tentu saja orang-orang yang menonton video itu langsung mencari tahu siapa pengusaha yang dimaksud. Dan dampaknya, perusahaan Papa yang ikut menjadi jelek. "Sebenarnya Alina cuma menggertak saja, Pah," kataku membela diri.Dari sekian adegan yang dilihat, Papa fokus pada aku yang hampir melemparkan kursi ke arah Amira. Iya, saat itu aku memang benar-benar emosi. Ingin sekali menghabisi wanita itu agar tidak terus mengusik hidupku. "Iya, tapi kalau kelepasan akibatnya fatal, Al. Kamu bisa masuk penjara.""Iya, Pah maaf," kataku seraya menunduk. "Lain kali, jika dia datang mencari masal