Iya, di sana ada seorang pria yang tengah duduk dengan beberapa pria lainnya. Jika aku perhatikan, sepertinya mereka tengah membahas masalah pekerjaan. Terlihat di depan mereka ada beberapa laptop serta buku yang entah apa isinya. 'Kok, dia jadi beda, ya jika sedang dengan rekan kerjanya. Terlihat lebih berkarisma dan berwibawa.'"Liatin apaan, sih?" ujar Nilam menyentuh tanganku. Ia celingukan ke belakang mencari sumber tatapanku. "Ah, enggak. Tadi seperti melihat orang yang kukenal. Tapi, kayaknya bukan, deh." Aku membuang pandangan dari Adi, kembali pada Nilam. Tidak terasa sudah satu jam lamanya aku bersua dengan Nilam. Hingga akhirnya temanku itu harus pergi terlebih dahulu karena mendapatkan telepon dari suaminya. Sepertinya Nilam, aku mengambil ponsel untuk menelepon Mama. Menanyakan Saffa yang saat ini sedang berada di rumah. "Ha— aaaahhh!" Aku berteriak seraya berjingkat. Berdiri dari dudukku saat kurasakan ada air yang mengalir dari atas kepala. Aku menoleh ke belakang,
"Aku hanya membela diri, Pah.""Papa tahu, tapi karena emosi kamu yang tidak terkontrol, hampir saja kamu membunuh orang, Al."Inilah buntut dari pertengkaran aku dan Amira. Aku disidang Papa karena video di kafe tadi sudah tersebar dan meluas menjadi konsumsi publik. Tidak main-main, judul dari video itu pun sangat menyesakkan dada. [Seorang anak pengusaha menjadi pelakor dari karyawannya sendiri.]Tentu saja orang-orang yang menonton video itu langsung mencari tahu siapa pengusaha yang dimaksud. Dan dampaknya, perusahaan Papa yang ikut menjadi jelek. "Sebenarnya Alina cuma menggertak saja, Pah," kataku membela diri.Dari sekian adegan yang dilihat, Papa fokus pada aku yang hampir melemparkan kursi ke arah Amira. Iya, saat itu aku memang benar-benar emosi. Ingin sekali menghabisi wanita itu agar tidak terus mengusik hidupku. "Iya, tapi kalau kelepasan akibatnya fatal, Al. Kamu bisa masuk penjara.""Iya, Pah maaf," kataku seraya menunduk. "Lain kali, jika dia datang mencari masal
"Bicara apa, Papa?" tanya Mama saat aku ikut duduk bersama mereka. "Soal video."Mama membulatkan mulut membentuk huruf O. "Oh, ya Mah. Aku mau belajar mengendarai mobil, ah."Mama mengangkat kepala menatapku dengan menyipitkan mata."Yakin? Waktu itu kamu pernah nyoba, tapi katanya lebih enak disupirin.""Itu, kan dulu, Mah. Sekarang beda lagi. Saffa sudah semakin besar, sebentar lagi dia sekolah. Masa, aku terus ngandelin Mama.""Yaudah boleh, nanti Mama carikan guru yang handal buat kamu belajar mobil.""Terus mobilnya?" tanyaku. "Kan ada yang di Adi. Nanti akan Mama telepon dia biar sekalian bawa mobil itu nanti malam."Aku mengangguk paham. Lalu ikut bermain bersama Saffa dan Mama. Semakin hari, anakku semakin pintar dan bawel. Dia juga tidak segan untuk meminta jika ada yang diinginkan. Seperti pagi tadi, ia meminta sepeda kecil yang dilihatnya pada kartun di televisi. Niatnya, setelah pulang dari toko Mama, aku hendak pergi ke toko mainan untuk membelikan sepeda untuk Saff
Seperti rencana kemarin, hari ini aku akan belajar mengemudi. Bukan pada orang lain, tapi pada Papa yang kebetulan tidak berangkat ke pabrik. Kebetulan, hari ini hari minggu. Jadi, aku tidak perlu repot-repot untuk menyesuaikan diri dengan guru kemudiku. Satu putaran aman. Aku berhasil tanpa kendali. Hingga putaran ke tiga, Papa menyuruhku menyudahi belajar untuk hari ini, karena Mama menelepon ada Bang Aldi yang datang berkunjung. Aku tidak puas sebenarnya. Masih ingin terus belajar. Tapi, tidak berani juga untuk belajar sendiri. Akhirnya, kami pun pulang dari lapangan yang memang dikhususkan untuk belajar mengemudi. "Minggu depan kita belajar lagi. Atau, kamu belajar sama Pak Yadi jika Papa sedang bekerja," tutur Papa mengobati kekecewaanku. Aku tidak menjawab. Lebih memilih diam menikmati suasana jalan yang sepi dari kendaraan. Hari yang masih pagi dengan ditambah langit yang mendung membuat suasana ibu kota terasa sejuk. Saat kami sampai, ternyata benar ada kakakku yang sed
Pria yang memakai kemeja kotak-kotak itu tersenyum saat kami berdiri di samping mejanya. Ia membungkukkan badan, lalu mengulurkan tangan saat Kak Rindu memperkenalkan aku sebagai iparnya. "Oh, ini yang namanya Alina? Cantik, lebih cantik dari yang di foto," tutur pria itu menatapku lekat. Buru-buru aku menarik tangan yang masih digenggam pria itu. "Duduk, Al. Damar ini seorang arsitek, lho. Dia juga pengusaha properti yang sukses. Gak akan susah hidupmu jika nikah sama dia," ujar Kak Rindu memuji temannya. Aku hanya tersenyum dengan anggukan kecil. Rasanya risih sekali sejak tadi dipandangi sama orang yang baru saja ditemui. Beberapa kali Kak Rindu mengajak ngobrol Damar, tapi tatapan pria itu tak lepas dariku. "Jangan dipandang terus, Dam. Dia tidak suka, tuh," ujar Kak Rindu menarik kemeja pria itu. "Eh, maaf-maaf. Soalnya dia ... cantik."Sama sekali tidak membuat hatiku tersanjung dengan ucapan Damar. Justru malah semkain tidak nyaman. Makanan yang dipesan sudah datang, tap
Dilihat dari luar semuanya baik-baik saja. Sangat baik bahkan. Namun, siapa yang tahu di balik senyum manis itu, wajah ceria itu menyimpan sejuta rahasia yang akan membuat salah satu hati terluka.Aku menundukkan pandangan saat mata itu melihat ke arahku. Pura-pura tidak tahu apa-apa sama seperti tadi. Pura-pura tidak menyaksikan sesuatu yang menyakitkan. Malam ini, Bang Aldi menginap di sini. Suasana makan malam pun jadi rame, karena kakakku itu terus menggoda dan becanda dengan Saffa. Sebagai seorang laki-laki dewasa yang sudah berumah tangga, tentulah abangku itu menginginkan keturunan. Namun, sayangnya Tuhan belum berpihak kepada dia akan hal itu. Padahal, usai pernikahannya hampir menginjak enam tahun. Saffa memintaku menurunkannya dari kursi. Dia sudah kenyang dan katanya ingin mengambil Popo di kamar. Aku menyuruh Bi Narsih untuk menemani putriku naik ke lantai dua."Kamu sakit, Al?" "Ah, enggak ...," tuturku menjawab pertanyaan Bang Aldi. "Dari tadi Abang perhatikan kamu
Dadaku bertalu-talu melihat kondisi putriku yang seperti itu. Tangan tidak diam. Langsung membuka kancing baju piyama yang dikenakan Saffa. Memindahkan tubuh putriku ke lantai beralaskan karpet tipis, lalu memiringkan tubuhnya. Mama membantu Mengompres ketiak dan kaki Saffa agar panasnya segera turun. Untunglah, usahaku membuahkan hasil. Saffa tidak lagi kejang, dan dia pun bangun. Minta air minum karena kehausan. "Ya Allah, Al. Mama takut sekali," ujar Mama setelah Saffa sudah baik-baik saja. Mama sampai mengeluarkan air mata karena syok dan takut. "Ini bukan yang pertama dialami Saffa, Mah." "Mama tidak menyangka, anak manja Mama bisa mengurus anak yang kejang. Keadaan merubahmu, Al," ujarnya lagi seraya melirik Saffa yang kembali berbaring setelah minum air putih. Pintu kamar terbuka. Papa masuk dengan wajah khas bangun tidur. "Ada apa? Tadi Papa dengar suara dari sini?" "Saffa barusan kejang, Papa. Mama takut banget, tapi untungnya Alina bisa mengatasinya. Ya Allah ... amp
"Berapa, Bu?" "Seratus lima belas ribu."Aku mengulurkan uang pada pemilik kantin. Lalu, berlalu untuk kembali ke kamar Saffa. Sepanjang perjalanan, otakku terus berpikir tentang apa sekiranya yang terjadi di dalam kamar tadi. Jika harus menebak, mungkin dia kehilangan anak dalam kandungannya? Aku menggelengkan kepala menepis pikiran tentang orang yang menurutku tidak penting untuk dipikirkan. Melanjutkan langkah dengan cepat takut jika putriku bangun dan mencari keberadaan ibunya ini. Sekarang suasana di rumah sakit ini tidak terlalu sepi seperti pertama aku datang. Orang-orang mulai terlihat melakukan aktivitas, terutama petugas kebersihan yang sudah mulai bekerja. "Sepertinya itu Mas Haikal," ujarku ketika hendak melewati ruangan tadi. Aku memelankan langkah saat hendak melewati pria yang tengah duduk tertunduk di kursi tunggu. "Mas," ujarku membuat laki-laki yang pernah singgah di hatiku itu mendongak. "Alina?" Dia menyebut namaku. "Kamu kenapa? Siapa yang sakit?" "Amira