"Berapa, Bu?" "Seratus lima belas ribu."Aku mengulurkan uang pada pemilik kantin. Lalu, berlalu untuk kembali ke kamar Saffa. Sepanjang perjalanan, otakku terus berpikir tentang apa sekiranya yang terjadi di dalam kamar tadi. Jika harus menebak, mungkin dia kehilangan anak dalam kandungannya? Aku menggelengkan kepala menepis pikiran tentang orang yang menurutku tidak penting untuk dipikirkan. Melanjutkan langkah dengan cepat takut jika putriku bangun dan mencari keberadaan ibunya ini. Sekarang suasana di rumah sakit ini tidak terlalu sepi seperti pertama aku datang. Orang-orang mulai terlihat melakukan aktivitas, terutama petugas kebersihan yang sudah mulai bekerja. "Sepertinya itu Mas Haikal," ujarku ketika hendak melewati ruangan tadi. Aku memelankan langkah saat hendak melewati pria yang tengah duduk tertunduk di kursi tunggu. "Mas," ujarku membuat laki-laki yang pernah singgah di hatiku itu mendongak. "Alina?" Dia menyebut namaku. "Kamu kenapa? Siapa yang sakit?" "Amira
"Enggak, Pah. Kebetulan, istrinya Mas Haikal sedang dirawat di rumah sakit ini juga.""Oh.""Dia habis kehilangan calon anak mereka, juga kehilangan rahim istrinya."Papa menoleh ke arahku dengan tatapan kaget. "Serius?" tanyanya kemudian. "Iya. Tadi subuh Alina tidak sengaja bertemu di depan ruangan istrinya. Dia terlihat sangat kacau dan kehilangan." "Itu balasan karena dia telah menyia-nyiakan cucuku. Heh, dekat sekali ternyata karma yang dia terima," ujar Papa menyeringai.Aku tidak lagi menjawab. Hanya diam seraya melihat Papa yang kembali fokus menatap wajah putriku yang masih terlelap. Orang tua mana yang rela jika anaknya disakiti. Begitu juga dengan Papa. Dia sangat marah dan benci pada Mas Haikal. Hingga tidak aku lihat rasa kasihan sedikit pun saat tahu mantan suamiku itu terkena musibah. "Papa tidak bisa lama, Al. Mungkin sampai pukul tujuh saja Papa di sini. Hari ini Papa ada acara.""Ya, tadi pun Mama sudah mengatakannya.""Sebelumnya Papa sudah meminta Rindu untuk m
Melihat istrinya ditarik ke luar, Mas Haikal langsung menyusul mereka. Tidak lama kemudian, Adi kembali dengan seulas senyum manis. "Maaf, Dokter, insiden tadi mengganggu konsentrasi Dokter. Bagiamana keadaan Saffa?" ujar Adi seraya menghampiri Saffa. "Tidak apa-apa, Pak. Keadaan Saffa sudah lebih baik, demamnya pun sudah turun. Hanya saja, masih sedikit lemas karena dehidrasi."Adi menganggukkan kepala tanda mengerti. Dokter keluar dari ruangan Saffa, dan tinggallah kami bertiga di sini. Aku memberikan obat untuk Saffa, sedangkan Adi duduk di sofa. "Di, apa yang kamu lakukan pada Amira barusan?" tanyaku. "Tidak aku apa-apakan. Hanya membawa dia sedikit menjauh dari kamar ini.""Reaksi suaminya?" Aku kembali bertanya. "Sedikit emosi, tapi dia tidak berani berbuat apa-apa. Sudahlah, ngapain kamu nanya orang yang udah buat onar. Kalau udah kasih obat buat Saffa, mendingan kamu makan. Ini ada makanan, tapi belum tersentuh kayaknya."Aku melihat ke arah Adi yang membuka rantang beka
"Mama ...."Saffa menggeliat seraya memanggil. Aku menyudahi panggilan itu dengan menyuruh Adi merekam keduanya. "Iya, Sayang." Aku beranjak dari sofa, lalu menghampiri putriku."Mau pipis.""Saffa kan tadi Mama pakaikan pempers, pipis di sini saja, ya?"Anakku menggeleng. Dia tidak mau, dan meminta ke kamar mandi. Aku pun mengangkat tubuh kecil itu, lalu membawanya ke kamar mandi. Sedikit repot, karena aku melakukannya sendiri. Setelah selesai, aku kembali membawa Saffa ke ranjangnya. Namun, Saffa enggan untuk berbaring. Dia mau duduk dan menonton kartun di televisi yang ada di kamar inap ini. "Mama, Om Adi mana?" tanyanya mencari keberadaan pria itu. "Lagi beli sabun buat Mama mandi," jawabku seraya menyisir rambutnya dengan jari. Aku mengikatnya longgar, agar Saffa tidak kegerahan. "Caffa juga mau mandi, Mah. Belenang di bak lagi.""Jangan dulu, ya. Nanti kalau sudah sembuh, sudah bisa pulang ke rumah, baru mandi.""Caffa mau pulang, Mah. Mau main cepeda lagi." Saffa tiba-ti
Hatiku mulai tak tenang. Fokusku tidak lagi pada Saffa. Ada rasa takut jika Bang Aldi mengetahui perbuatan istrinya yang pasti akan menimbulkan pertengkaran di antara mereka. Namun, tidak aku pungkiri, jika ada keinginan agar Bang Aldi memergoki mereka. Agar dia tahu, istrinya itu tidak sebaik yang abangku pikirkan."Mama, Caffa mau bobok lagi." Sentuhan tangan Saffa di paha, menyadarkan aku dari lamunan kemungkinan yang akan terjadi hari ini. Aku membawa Saffa ke tempat tidurnya. Membaringkan tubuh kecil itu, lalu menepuk-nepuk bokongnya sebagai penghantar tidur. Tidak berapa lama kemudian, putriku sudah terlelap lagi. Dan kini pikiranku kembali pada Bang Aldi dan Kak Rindu. Entah apa yang ada dalam pikiran kakak iparku itu hingga dengan tega menyelingkuhi abangku. Padahal, Bang Aldi sangat setia dan sayang pada Kak Rindu. "Alina.""Eh." Aku terperanjat saat pundakku diusap dari belakang. Ternyata Bang Aldi yang datang. Ia tersenyum, lalu menyimpan kantong plastik di ujung ranj
Dua malam Saffa dirawat di rumah sakit, hari ini putriku sudah dibolehkan pulang. Raut senang terpancar dari gadisku yang sedari tadi terus menebar senyum. Apalagi saat suster membuka jarum infus dari punggung tangannya, ia terus berceloteh ingin segera pulang dan bermain sepeda lagi. "Mau pulang, Saffa?" tanya Papa seraya menggendong putriku. Saffa mengangguk. Rambutnya yang dikuncir satu membuat pipinya terlihat lebih bulat. Meskipun sedikit mengempis karena sakit kemarin. "Sudah beres semuanya, Al?" tanya Mama padaku yang tengah mengemas barang bawaan. "Sudah, Mah. Yuk, pulang sekarang."Mama mengangguk. Kami pun keluar dari ruangan Saffa bersamaan. Papa yang menggendong putriku, berjalan terlebih dahulu. Sedangkan aku dan Mama mengikuti dari belakang. Sepanjang perjalanan, aku terus melihat ke ponsel. Menanti kabar dari seseorang yang aku suruh untuk menyelidiki Kak Rindu dan Damar. Tanpa sepengetahuan Bang Aldi tentunya. Kali ini aku bergerak sendiri, dengan caraku sendir
"Apa hatimu masih belum terbuka untuknya, Al?" Aku mengembuskan napas kasar mendengar pertanyaan Mama. Pandangan kami lurus ke depan. Pada dua manusia beda jenis kelamin, juga beda usia. Saffa dan Adi yang sedang bermain sepeda di halaman rumah. Aku menarik kedua kakiku yang menjuntai ke tanah. Melipat keduanya hingga kini duduk bersila di samping Mama. Di tengah-tengah kami ada dua cangkir teh manis, satu gelas kopi, juga susu putih milik kedua orang yang asik dengan permainan mereka. Tawa Saffa menjadi candu untukku. Dan sakitnya, adalah pilu bagiku. Namun, untuk kembali menjalin hubungan pernikahan, aku masih belum bisa. Ada kepingan hati yang enggan untuk kembali utuh setelah dihancurkan. "Alina belum bisa, Mah," kataku dengan pelan. "Apa kebaikan Adi tidak sama sekali membuatmu luluh? Lihatlah, Saffa begitu bahagia bermain dengan Adi. Dia sosok ayah yang baik bagi putrimu.""Alina pun berpikir demikian, Mah. Tapi ... masalahnya ada pada hati Alina, Mah. Alina takut, jika
Hari beranjak malam. Entah kenapa hati ini merasa gelisah. Sedari kepergian Adi, pria itu sama sekali tidak menghubungiku. Semarah itu dia padaku hingga tak lagi menggangguku lewat panggilan telepon? Biasanya, Adi tidak akan semarah ini meskipun aku dengan terang-terangan menolak cintanya. Dia masih akan tetap menghubungiku, bahkan datang ke rumah. Namun, kali ini beda. Tidak ada pesan dari dia yang masuk ke ponselku. "Mama, makan kata Oma," ujar Saffa yang berdiri di ambang pintu bersama Bi Narsih.Aku mengangguk, lalu menyimpan ponsel setelah mengirimkan pesan kepada pria itu. Aneh sekali aku ini. Jika ada, aku abaikan. Tapi, jika dia menghilang, malah aku cariin. Jangan-jangan itu artinya aku sudah menaruh hati padanya? Ah, bukan. Aku hanya khawatir saja. Aku turun dari lantai dua untuk bergabung makan malam bersama keluargaku. Pemandangan romantis, tapi dramatis aku saksikan di sini. Di mana Bang Aldi dan istrinya yang saling suap dengan canda tawa yang membuatku muak. Bu