"Pah, benar Adi kecelakaan?" tanyaku menghampiri Papa yang baru saja selesai menelepon Om Gunawan. "Benar, Al. Sekarang Adi sudah dibawa ke rumah sakit. Tapi, Om Gunawan belum mengatakan kondisi Adi sekarang. Dokter masih menanganinya," tutur Papa membuat persendianku terasa lemas. "Kecelakaannya tunggal?" Mama ikut bertanya. "Ya, tunggal. Polisi juga sedang memeriksa tempat kejadian. Papa akan ke rumah sakit sekarang.""Ikut, Pah," kataku. Papa menyetujui aku ikut dengannya. Namun, tidak untuk Mama. Papa menyuruh istrinya itu untuk menjaga Saffa selama kami di rumah sakit.Aku langsung masuk ke dalam kamar, mengambil hoodie untuk menutupi kaus pendek yang aku pakai. Tas serta ponsel pun tak lupa aku bawa. Pandangan yang sedari tadi mengabur, kini mulai berjatuhan cairan bening dari sana. Rasa bersalah menyeruak semakin nyata ketika mendengar Adi kecelakaan. Mungkinkah Adi melamunkan kata-kataku yang akhirnya membuat dia tidak konsentrasi berkendara? Ya Tuhan, aku telah berdosa
Esok harinya aku kembali ke rumah sakit. Sendiri. Papa harus bekerja, dan Mama harus menjaga Saffa.Di depan ruang rawat Adi, aku melihat ada beberapa polisi yang tengah mengobrol dengan Om Gunawan. Saat aku hampir dekat pada kamar itu, bersamaan dengan para polisi berpamitan.Aku pun langsung masuk setelah dipersilahkan papa dari Adi. "Bagiamana keadaan Adi, Om?" tanyaku. Tangan ini menyimpan rantang bekal yang sengaja aku bawa dari rumah."Masih seperti semalam," jawab Om Gunawan lesu. "Oh, iya, Tadi aku lihat ada polisi. Bagiamana dengan penyelidikkannya?" "Mencengangkan, Al. Ternyata kecelakaan itu bukan murni kesalahan Adi. Tapi ... ada orang yang sengaja membuat Adi celaka."Aku tertegun. Ucapan Om Gunawan membuatku tersentak kaget. Adi dicelakai. Siapa yang berani berbuat itu?"Siapa, Om?" tanyaku kemudian. "Polisi masih terus mencari tahu pelaku itu. Dari kamera CCTV yang ada di sekitar jalan, ada satu mobil mengejar Adi dengan kecepatan tinggi. Dia terus memepet kendara
"Ayo, masuk." Usapan dipunggung menghentikan pandangan dari mobil Mas Haikal. Aku mengikuti langkah Bang Aldi yang berjalan masuk ke dalam rumah. Ternyata benar. Di ruang tamu sudah ada Mas Haikal bersama istri dan ibunya. Mereka semua menoleh ketika aku baru saja masuk dan duduk di sofa yang letaknya di depan mereka. "Ada acara apa kalian datang ke sini?" tanyaku tanpa berbasa-basi. Jangankan untuk menyambut ramah kedatangan mereka, untuk tersenyum pun rasanya bibir ini teramat berat. Apalagi setelah melihat mobil Mas Haikal barusan yang langsung membuatku curiga. "Begini, Al. Maksud dan tujuan kami datang ke sini, untuk Saffa." Mas Haikal mulai membuka suara. Keningku mengkerut tidak mengerti yang laki-laki itu katakan. "Oh, menjenguk Saffa? Alhamdulillah keadaan Saffa sudah semakin membaik," ujarku kemudian. Mas Haikal berdeham. Ia beberapa kali memperbaiki letak duduknya yang menurutku masih itu-itu saja. Di sampingnya, Amira terus mencolek bahkan mencubit lengan Mas Haika
Ketiganya terperanjat. Mareka kaget bukan hanya karena aku merusak perabot mahal itu, tapi juga tidak menyangka aku bisa melakukan hal yang kasar seperti ini. Mama dan Bang Aldi datang menghampiri. Mungkin mereka kaget juga karena mendengar suara pecahan yang begitu nyaring. "Astaghfirullah, ada apa, Al?" tanya Mama langsung mengusap bahuku yang masih berdiri dengan tatapan nyalang pada ketiga orang di depan sana. Aku tidak menjawab pertanyaan Mama. Memilih membungkukkan badan, memungut satu pecahan guci, lalu menodongkannya ke arah mereka bertiga. "Pergi kalian dari sini, atau aku akan menggores satu persatu wajah kalian!" ujarku berteriak. Dari arah belakang, Bang Aldi menarik bahuku, menenangkanku yang seperti orang kesetanan. "Tenang, Al. Ada apa?" tanya abangku itu. "Mereka ingin merebut putriku, Bang. Dia ingin mengambil Saffa!" ujarku dengan suara dan tangan yang bergetar. Emosiku sudah tidak stabil. Aku hampir kehilangan akal dan lepas kendali. Kakiku terus melangkah s
"Tuh, Mamanya Saffa datang. Duduk sini, Al." Mama menepuk kursi yang berdekatan dengannya dan Saffa. Aku menghampiri Mama, duduk di kursi meja makan seraya memindai wajah-wajah di sekelilingku.Wajah cerah berseri dengan senyum yang selalu menghiasi bibir merah itu membuatku terpaku. Seorang wanita cantik tanpa cela dalam parasnya menjadi tujuan utamaku. Kak Rindu. Dia duduk diapit dua lelaki yang melengkapi hidupnya. Bang Aldi dan Damar. Aku tidak menyuruh Kak Rindu untuk mengundang pria itu, tapi dialah yang berinisiatif untuk mengajaknya datang malam ini. Suatu kehormatan bagiku, dan suatu keharmonisan yang sebentar lagi akan berakhir malam ini. Ah, dadaku tiba-tiba sesak jika harus membayangkan kehancuran Bang Aldi saat tahu istrinya berkhianat. Namun, aku harus tega dengan tetap membongkar kebusukan mereka. Aku tidak rela jika makhluk itu mempermainkan perasaan abangku. "Terima kasih Bapak, Ibu dan adiknya Kak Rindu yang sudah datang untuk memenuhi undangan makan malam ini,
Semua orang memandangku tak mengerti. Hingga akhirnya, muncullah gambar-gambar tak senonoh Kak Rindu dan Damar yang nampak jelas terlihat di layar televisi. "A–apa-apaan itu, Al?" Bang Aldi tergagap. Wajah Kak Rindu pucat pasi, dadanya naik turun dengan mulut yang menganga. "Jangan tanyakan padaku, Bang. Tanyakan itu pada istrimu. Dia menjodohkanku dengan pria yang tak lain adalah kekasihnya. Tujuannya? Agar mereka bisa semakin bebas bertemu kapan saja jika pria itu berhasil menikahiku, menjadi bagian dari keluarga kita," ujarku seraya menatap dua wajah yang seperti maling tertangkap basah. "Rindu!" "Enggak, Pah. Ini bohong. Ini editan!" ujar Kak Rindu saat ayahnya berdiri dengan tatapan nyalang pada anak pertamanya itu. "Rindu, kamu mengkhianatiku?" "Enggak, Bang. Itu rekayasa Alina agar kita berpisah. Dia iri dengan keharmonisan rumah tangga kita." Kak Rindu membela diri. Aku tidak bicara. Namun, tanganku lincah memindahkan foto ke video. Mata mereka semakin membulat ketika
Jarak antara parkiran rumah sakit ke ruang rawat Adi begitu terasa jauh. Aku lari, tapi seperti jalan santai. Kakiku sangat berat untuk melangkah, padahal ingin segera sampai untuk membuktikan foto yang diberikan Om Gunawan tadi. Aku langsung meninggalkan rumah ketika dapat kabar tadi. Bahkan, aku belum menemui Bang Aldi yang tengah dirundung kepiluan akibat terbongkarnya rahasia Kak Rindu. Sampai di depan pintu kamar Adi, aku tidak langsung masuk. Berdiri seraya mengatur napas yang tersenggal akibat lari dari luar. Setelah beberapa kali aku menarik napas seraya menyeka keringat yang membasahi dahi, aku pun mulai menempelkan telapak tangan pada knop pintu. Menekannya perlahan dan ... pintu terbuka. Aku masuk ke dalam ruangan yang ternyata sedang ada dua dokter dan beberapa perawat yang mengelilingi ranjang Adi. Ingin aku menyingkirkan mereka untuk bisa melihat pria yang beberapa hari ini tidak sadarkan diri. Tapi, itu tidak mungkin. Mereka sangat dibutuhkan oleh Adi. Tentunya mer
"Sebentar, saja. Aku janji, nanti akan bangun lagi. Kamu jangan ke mana-mana, ya?" ujar Adi yang kemudian memejamkan matanya. Satu menit sangat terasa lama ketika dihantui rasa takut. Tanpa aku sadari, aku malah ikut terlelap dengan kepala yang kusimpan di samping tubuh Adi. Usapan di kepala akhirnya membuatku sadar. Aku mengangkat kepala, lalu mengucek mata untuk menajamkan penglihatan. Senyumku terbit saat tahu itu tangan Adi yang mengusap rambutku. "Kamu sudah bangun, Di? Maaf, jadi aku yang ketiduran," ujarku memperbaiki letak dudukku."Sudah malam. Pulang, gih. Kasihan Saffa di rumah."Aku melihat jam yang menempel di dinding. Mataku membulat saat ternyata waktu sudah menunjukkan tengah malam. Rasanya baru sebentar aku di sini, tapi waktu sudah sangat larut. Tanpa aku sadari juga, ternyata Om Gunawan sudah kembali, bahkan dia sudah terlelap di sofa panjang bawah jam dinding. "Ini sudah malam, Di. Aku gak berani pulang sekarang.""Kamu datang ke sini sendirian?" tanya Adi ter
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan