Esok harinya aku kembali ke rumah sakit. Sendiri. Papa harus bekerja, dan Mama harus menjaga Saffa.Di depan ruang rawat Adi, aku melihat ada beberapa polisi yang tengah mengobrol dengan Om Gunawan. Saat aku hampir dekat pada kamar itu, bersamaan dengan para polisi berpamitan.Aku pun langsung masuk setelah dipersilahkan papa dari Adi. "Bagiamana keadaan Adi, Om?" tanyaku. Tangan ini menyimpan rantang bekal yang sengaja aku bawa dari rumah."Masih seperti semalam," jawab Om Gunawan lesu. "Oh, iya, Tadi aku lihat ada polisi. Bagiamana dengan penyelidikkannya?" "Mencengangkan, Al. Ternyata kecelakaan itu bukan murni kesalahan Adi. Tapi ... ada orang yang sengaja membuat Adi celaka."Aku tertegun. Ucapan Om Gunawan membuatku tersentak kaget. Adi dicelakai. Siapa yang berani berbuat itu?"Siapa, Om?" tanyaku kemudian. "Polisi masih terus mencari tahu pelaku itu. Dari kamera CCTV yang ada di sekitar jalan, ada satu mobil mengejar Adi dengan kecepatan tinggi. Dia terus memepet kendara
"Ayo, masuk." Usapan dipunggung menghentikan pandangan dari mobil Mas Haikal. Aku mengikuti langkah Bang Aldi yang berjalan masuk ke dalam rumah. Ternyata benar. Di ruang tamu sudah ada Mas Haikal bersama istri dan ibunya. Mereka semua menoleh ketika aku baru saja masuk dan duduk di sofa yang letaknya di depan mereka. "Ada acara apa kalian datang ke sini?" tanyaku tanpa berbasa-basi. Jangankan untuk menyambut ramah kedatangan mereka, untuk tersenyum pun rasanya bibir ini teramat berat. Apalagi setelah melihat mobil Mas Haikal barusan yang langsung membuatku curiga. "Begini, Al. Maksud dan tujuan kami datang ke sini, untuk Saffa." Mas Haikal mulai membuka suara. Keningku mengkerut tidak mengerti yang laki-laki itu katakan. "Oh, menjenguk Saffa? Alhamdulillah keadaan Saffa sudah semakin membaik," ujarku kemudian. Mas Haikal berdeham. Ia beberapa kali memperbaiki letak duduknya yang menurutku masih itu-itu saja. Di sampingnya, Amira terus mencolek bahkan mencubit lengan Mas Haika
Ketiganya terperanjat. Mareka kaget bukan hanya karena aku merusak perabot mahal itu, tapi juga tidak menyangka aku bisa melakukan hal yang kasar seperti ini. Mama dan Bang Aldi datang menghampiri. Mungkin mereka kaget juga karena mendengar suara pecahan yang begitu nyaring. "Astaghfirullah, ada apa, Al?" tanya Mama langsung mengusap bahuku yang masih berdiri dengan tatapan nyalang pada ketiga orang di depan sana. Aku tidak menjawab pertanyaan Mama. Memilih membungkukkan badan, memungut satu pecahan guci, lalu menodongkannya ke arah mereka bertiga. "Pergi kalian dari sini, atau aku akan menggores satu persatu wajah kalian!" ujarku berteriak. Dari arah belakang, Bang Aldi menarik bahuku, menenangkanku yang seperti orang kesetanan. "Tenang, Al. Ada apa?" tanya abangku itu. "Mereka ingin merebut putriku, Bang. Dia ingin mengambil Saffa!" ujarku dengan suara dan tangan yang bergetar. Emosiku sudah tidak stabil. Aku hampir kehilangan akal dan lepas kendali. Kakiku terus melangkah s
"Tuh, Mamanya Saffa datang. Duduk sini, Al." Mama menepuk kursi yang berdekatan dengannya dan Saffa. Aku menghampiri Mama, duduk di kursi meja makan seraya memindai wajah-wajah di sekelilingku.Wajah cerah berseri dengan senyum yang selalu menghiasi bibir merah itu membuatku terpaku. Seorang wanita cantik tanpa cela dalam parasnya menjadi tujuan utamaku. Kak Rindu. Dia duduk diapit dua lelaki yang melengkapi hidupnya. Bang Aldi dan Damar. Aku tidak menyuruh Kak Rindu untuk mengundang pria itu, tapi dialah yang berinisiatif untuk mengajaknya datang malam ini. Suatu kehormatan bagiku, dan suatu keharmonisan yang sebentar lagi akan berakhir malam ini. Ah, dadaku tiba-tiba sesak jika harus membayangkan kehancuran Bang Aldi saat tahu istrinya berkhianat. Namun, aku harus tega dengan tetap membongkar kebusukan mereka. Aku tidak rela jika makhluk itu mempermainkan perasaan abangku. "Terima kasih Bapak, Ibu dan adiknya Kak Rindu yang sudah datang untuk memenuhi undangan makan malam ini,
Semua orang memandangku tak mengerti. Hingga akhirnya, muncullah gambar-gambar tak senonoh Kak Rindu dan Damar yang nampak jelas terlihat di layar televisi. "A–apa-apaan itu, Al?" Bang Aldi tergagap. Wajah Kak Rindu pucat pasi, dadanya naik turun dengan mulut yang menganga. "Jangan tanyakan padaku, Bang. Tanyakan itu pada istrimu. Dia menjodohkanku dengan pria yang tak lain adalah kekasihnya. Tujuannya? Agar mereka bisa semakin bebas bertemu kapan saja jika pria itu berhasil menikahiku, menjadi bagian dari keluarga kita," ujarku seraya menatap dua wajah yang seperti maling tertangkap basah. "Rindu!" "Enggak, Pah. Ini bohong. Ini editan!" ujar Kak Rindu saat ayahnya berdiri dengan tatapan nyalang pada anak pertamanya itu. "Rindu, kamu mengkhianatiku?" "Enggak, Bang. Itu rekayasa Alina agar kita berpisah. Dia iri dengan keharmonisan rumah tangga kita." Kak Rindu membela diri. Aku tidak bicara. Namun, tanganku lincah memindahkan foto ke video. Mata mereka semakin membulat ketika
Jarak antara parkiran rumah sakit ke ruang rawat Adi begitu terasa jauh. Aku lari, tapi seperti jalan santai. Kakiku sangat berat untuk melangkah, padahal ingin segera sampai untuk membuktikan foto yang diberikan Om Gunawan tadi. Aku langsung meninggalkan rumah ketika dapat kabar tadi. Bahkan, aku belum menemui Bang Aldi yang tengah dirundung kepiluan akibat terbongkarnya rahasia Kak Rindu. Sampai di depan pintu kamar Adi, aku tidak langsung masuk. Berdiri seraya mengatur napas yang tersenggal akibat lari dari luar. Setelah beberapa kali aku menarik napas seraya menyeka keringat yang membasahi dahi, aku pun mulai menempelkan telapak tangan pada knop pintu. Menekannya perlahan dan ... pintu terbuka. Aku masuk ke dalam ruangan yang ternyata sedang ada dua dokter dan beberapa perawat yang mengelilingi ranjang Adi. Ingin aku menyingkirkan mereka untuk bisa melihat pria yang beberapa hari ini tidak sadarkan diri. Tapi, itu tidak mungkin. Mereka sangat dibutuhkan oleh Adi. Tentunya mer
"Sebentar, saja. Aku janji, nanti akan bangun lagi. Kamu jangan ke mana-mana, ya?" ujar Adi yang kemudian memejamkan matanya. Satu menit sangat terasa lama ketika dihantui rasa takut. Tanpa aku sadari, aku malah ikut terlelap dengan kepala yang kusimpan di samping tubuh Adi. Usapan di kepala akhirnya membuatku sadar. Aku mengangkat kepala, lalu mengucek mata untuk menajamkan penglihatan. Senyumku terbit saat tahu itu tangan Adi yang mengusap rambutku. "Kamu sudah bangun, Di? Maaf, jadi aku yang ketiduran," ujarku memperbaiki letak dudukku."Sudah malam. Pulang, gih. Kasihan Saffa di rumah."Aku melihat jam yang menempel di dinding. Mataku membulat saat ternyata waktu sudah menunjukkan tengah malam. Rasanya baru sebentar aku di sini, tapi waktu sudah sangat larut. Tanpa aku sadari juga, ternyata Om Gunawan sudah kembali, bahkan dia sudah terlelap di sofa panjang bawah jam dinding. "Ini sudah malam, Di. Aku gak berani pulang sekarang.""Kamu datang ke sini sendirian?" tanya Adi ter
Kabut hitam begitu terlihat jelas dari mata pria berhidung bangir itu. Wajah cerah yang semalam banyak menyunggingkan senyum manis, kini tak nampak lagi. Apalagi alasannya kalau bukan tentang berita yang dia dengar pagi ini. Semalam pun, Adi sudah merasakan ada yang tidak beres pada kedua kakinya. Tidak ada rasa dan sulit untuk digerakan. Namun, dia masih berpikir positif. Mungkin akibat benturan dari kecelakaan itu, dan juga akibat terlalu lama didiamkan selama koma kemarin. Ternyata, kenyataannya lebih mengagetkan. Adi harus mengalami kelumpuhan akibat benturan keras yang membuat otot-otot kakinya menjadi kaku dan lemah. Meskipun kata dokter tidak bersifat permanen dan bisa disembuhkan dengan terapi dan obat-obatan, tapi waktu menuju sembuh memang membutuhkan waktu yang lama, juga kesabaran dan ketelatenan dalam menjalani perawatan. "Di, kok diam saja. Mau makan, gak?" ujarku mulai membuka percakapan. Tidak ada siapa-siapa di sini. Hanya ada aku dan Adi. Kedua orang tua kami dan