Jarak antara parkiran rumah sakit ke ruang rawat Adi begitu terasa jauh. Aku lari, tapi seperti jalan santai. Kakiku sangat berat untuk melangkah, padahal ingin segera sampai untuk membuktikan foto yang diberikan Om Gunawan tadi. Aku langsung meninggalkan rumah ketika dapat kabar tadi. Bahkan, aku belum menemui Bang Aldi yang tengah dirundung kepiluan akibat terbongkarnya rahasia Kak Rindu. Sampai di depan pintu kamar Adi, aku tidak langsung masuk. Berdiri seraya mengatur napas yang tersenggal akibat lari dari luar. Setelah beberapa kali aku menarik napas seraya menyeka keringat yang membasahi dahi, aku pun mulai menempelkan telapak tangan pada knop pintu. Menekannya perlahan dan ... pintu terbuka. Aku masuk ke dalam ruangan yang ternyata sedang ada dua dokter dan beberapa perawat yang mengelilingi ranjang Adi. Ingin aku menyingkirkan mereka untuk bisa melihat pria yang beberapa hari ini tidak sadarkan diri. Tapi, itu tidak mungkin. Mereka sangat dibutuhkan oleh Adi. Tentunya mer
"Sebentar, saja. Aku janji, nanti akan bangun lagi. Kamu jangan ke mana-mana, ya?" ujar Adi yang kemudian memejamkan matanya. Satu menit sangat terasa lama ketika dihantui rasa takut. Tanpa aku sadari, aku malah ikut terlelap dengan kepala yang kusimpan di samping tubuh Adi. Usapan di kepala akhirnya membuatku sadar. Aku mengangkat kepala, lalu mengucek mata untuk menajamkan penglihatan. Senyumku terbit saat tahu itu tangan Adi yang mengusap rambutku. "Kamu sudah bangun, Di? Maaf, jadi aku yang ketiduran," ujarku memperbaiki letak dudukku."Sudah malam. Pulang, gih. Kasihan Saffa di rumah."Aku melihat jam yang menempel di dinding. Mataku membulat saat ternyata waktu sudah menunjukkan tengah malam. Rasanya baru sebentar aku di sini, tapi waktu sudah sangat larut. Tanpa aku sadari juga, ternyata Om Gunawan sudah kembali, bahkan dia sudah terlelap di sofa panjang bawah jam dinding. "Ini sudah malam, Di. Aku gak berani pulang sekarang.""Kamu datang ke sini sendirian?" tanya Adi ter
Kabut hitam begitu terlihat jelas dari mata pria berhidung bangir itu. Wajah cerah yang semalam banyak menyunggingkan senyum manis, kini tak nampak lagi. Apalagi alasannya kalau bukan tentang berita yang dia dengar pagi ini. Semalam pun, Adi sudah merasakan ada yang tidak beres pada kedua kakinya. Tidak ada rasa dan sulit untuk digerakan. Namun, dia masih berpikir positif. Mungkin akibat benturan dari kecelakaan itu, dan juga akibat terlalu lama didiamkan selama koma kemarin. Ternyata, kenyataannya lebih mengagetkan. Adi harus mengalami kelumpuhan akibat benturan keras yang membuat otot-otot kakinya menjadi kaku dan lemah. Meskipun kata dokter tidak bersifat permanen dan bisa disembuhkan dengan terapi dan obat-obatan, tapi waktu menuju sembuh memang membutuhkan waktu yang lama, juga kesabaran dan ketelatenan dalam menjalani perawatan. "Di, kok diam saja. Mau makan, gak?" ujarku mulai membuka percakapan. Tidak ada siapa-siapa di sini. Hanya ada aku dan Adi. Kedua orang tua kami dan
Hari ini aku tidak menginap di rumah sakit. Aku pulang setelah Om Gunawan datang dengan beberapa rekan bisnis Adi. Tidak enak terus berada di sana dengan orang-orang yang tidak kukenal, aku pun berpamitan untuk pulang. Namun, aku tidak langsung pergi ke rumah. Memilih untuk pergi ke kafe yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit. Memanjakan mata sebentar, sembari menikmati makanan yang ada di tempat ini. Mataku terpaku pada sepasang wanita dan pria yang tengah menikmati makanan di depan mejaku. Si wanita dengan telaten menyuapi seorang pria yang duduk di kursi roda dengan tangan dan kaki yang kecil. Jika harus aku menebak, mungkin pria itu terkena stroke. Bibirnya pun tidak seperti orang pada umumnya. Terlihat miring ke kiri yang membuat sebagian makanan sulit untuk masuk ke dalam mulut. Tulus sekali wanita itu mengurus pria yang mungkin suaminya. Dia bahkan tidak malu membawa pasangannya itu ke tempat umum seperti ini. "Apa aku akan bisa sabar seperti wanita itu, jika nanti menik
"Alina ....""Jangan tolak aku! Aku tidak menerima penolakan, Di," ujarku langsung mengangkat kepala, menatapnya penuh harap. Adi mengulum senyum, dan detik kemudian ia tertawa lebar hingga Saffa melihatnya dengan bingung. "Adi, malah ketawa. Jawab, dong," ujarku lagi menarik selimut yang menutupi kakinya. "Aku harus jawab apa?" "Jawab iya, aku mau. Plis jangan tolak aku, Di. Aku bakalan malu seumur hidup. Kalau kamu bilang gak mau, aku terjun dari lantai tiga ini.""Eh, kok ngancam? Ngelamar, kok maksa," ujar Adi semakin terbahak. Bagiamana gak maksa, aku sudah melepaskan urat malu yang ada di seluruh tubuh ini untuk merangkai kata menjadi sebuah kalimat yang sangat begitu berat untuk diungkapkan. Dan dia, malah terus tertawa seolah-olah ucapanku adalah komedi penghibur hati. Aku diam seraya menekuk wajah. Mata ini menatap pria yang memakai baju rumah sakit dengan bengis. Melihat tatapanku, Adi langsung menghentikan tawanya. Ia berdehem, lalu memindahkan posisi Saffa yang tadi
"Mau!""Eh!" Aku berseru kaget seraya menoleh ke arah pintu yang terbuka. Om Gunawan, dia masuk sembari berseru menjawab pertanyaan Adi yang ditujukan padaku. Tentu saja, hal itu membuat suasana menjadi canggung. Adi yang tadi memasang wajah serius, kini malah cengengesan seraya menyugar rambutnya yang mulai gondrong. Setali tiga uang dengan Adi, aku pun dibuat salah tingkah karena malu ketahuan dilamar di rumah sakit. Menyebalkan. Om Gun membuat suasana romantis menjadi mistis. "Kok, diam, Al? Jawab, dong," ujar Om Gunawan mencolek pundakku seraya menjatuhkan bokongnya pada ujung ranjang. Bukannya menjawab, aku malah mengusap wajah yang mulai terasa menghangat. Entah seperti apa rupa kedua pipiku saat ini. Seperti udang rebuskah, atau seperti tomat masak? "Papa, sih malah masuk dulu. Jadinya, gak romantis lagi, 'kan?" "Geregetan, Papa melihat kalian ini. Udah sama-sama dewasa, tapi masih malu-malu mengakui perasaan. Udahlah, nunggu apa lagi. Nikah aja," ujar Om Gunawan menjawa
Acara lamaran yang sudah tersusun rapi, menjadi dipercepat. Semuanya menjadi panik karena Bang Aldi dibawa polisi. Entah karena masalah apa dan entah perbuatan kriminal apa yang dilakukan abangku hingga berurusan dengan hukum. "Tenang, Al. Semuanya akan baik-baik saja," ujar Adi seraya menggenggam tanganku. Tadi, Adi sudah menyematkan cincin tanda pengikat jika aku adalah calon istrinya. Sekarang kami sedang melakukan pemotretan dengan keluarga. Beberapa saat harus memaksakan tersenyum di depan semua tamu, akhirnya acara pun berakhir setelah semua orang yang ada di sini menikmati jamuan yang kami siapkan. Seharusnya tidak seperti itu. Harusnya mereka berada di sini lebih lama lagi. Namun, kami sebagai tuan rumah yang baru saja mendapatkan kejutan dengan dibawanya Bang Aldi, membuat kami harus menghentikan acara dengan sangat terpaksa. "Gun, aku minta maaf untuk hari ini. Sungguh, aku benar-benar tidak tahu akan ada kejadian seperti tadi," ujar Papa setelah hanya ada keluarga inti
"Kak Rindu meninggal?" ujarku semakin penasaran. Baru empat hari yang lalu Kakak iparku itu datang ke sini. Memohon-mohon, berlutut di kedua kaki Bang Aldi untuk mencabut gugatan cerai yang dilayangkan abangku ke pengadilan agama. Sambil terisak, Kak Rindu mengucapkan maaf dan menyesali kekhilafan yang dia lakukan bersama Damar. Namun, abangku sudah mati rasa. Jangankan mengabulkan permintaan istrinya itu, untuk memaafkan pun sepertinya berat. Sekarang, aku malah mendengar Kak Rindu meninggal? Ini mimpi, apa hanya khayalanku saja?"Om, apa papa tidak mengatakan kronologi kejadian meninggalkan Kak Rindu?" Lagi-lagi aku bertanya pada calon mertuaku itu. "Tenang, Al. Sebentar, aku akan menelepon seseorang dulu," ujar Adi, mencoba menenangkanku. Calon suamiku tengah berbicara dengan seseorang yang entah siapa. Dia juga menyebut nama Damar dan Rindu untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tidak berapa lama, Adi menyudahi panggilannya. Ia menyimpan ponsel di meja, lalu beralih
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan