Acara lamaran yang sudah tersusun rapi, menjadi dipercepat. Semuanya menjadi panik karena Bang Aldi dibawa polisi. Entah karena masalah apa dan entah perbuatan kriminal apa yang dilakukan abangku hingga berurusan dengan hukum. "Tenang, Al. Semuanya akan baik-baik saja," ujar Adi seraya menggenggam tanganku. Tadi, Adi sudah menyematkan cincin tanda pengikat jika aku adalah calon istrinya. Sekarang kami sedang melakukan pemotretan dengan keluarga. Beberapa saat harus memaksakan tersenyum di depan semua tamu, akhirnya acara pun berakhir setelah semua orang yang ada di sini menikmati jamuan yang kami siapkan. Seharusnya tidak seperti itu. Harusnya mereka berada di sini lebih lama lagi. Namun, kami sebagai tuan rumah yang baru saja mendapatkan kejutan dengan dibawanya Bang Aldi, membuat kami harus menghentikan acara dengan sangat terpaksa. "Gun, aku minta maaf untuk hari ini. Sungguh, aku benar-benar tidak tahu akan ada kejadian seperti tadi," ujar Papa setelah hanya ada keluarga inti
"Kak Rindu meninggal?" ujarku semakin penasaran. Baru empat hari yang lalu Kakak iparku itu datang ke sini. Memohon-mohon, berlutut di kedua kaki Bang Aldi untuk mencabut gugatan cerai yang dilayangkan abangku ke pengadilan agama. Sambil terisak, Kak Rindu mengucapkan maaf dan menyesali kekhilafan yang dia lakukan bersama Damar. Namun, abangku sudah mati rasa. Jangankan mengabulkan permintaan istrinya itu, untuk memaafkan pun sepertinya berat. Sekarang, aku malah mendengar Kak Rindu meninggal? Ini mimpi, apa hanya khayalanku saja?"Om, apa papa tidak mengatakan kronologi kejadian meninggalkan Kak Rindu?" Lagi-lagi aku bertanya pada calon mertuaku itu. "Tenang, Al. Sebentar, aku akan menelepon seseorang dulu," ujar Adi, mencoba menenangkanku. Calon suamiku tengah berbicara dengan seseorang yang entah siapa. Dia juga menyebut nama Damar dan Rindu untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tidak berapa lama, Adi menyudahi panggilannya. Ia menyimpan ponsel di meja, lalu beralih
Angin berembus sedang, menggoyangkan bunga kamboja yang bermekaran indah di pemakaman umum ini.Aku berdiri di antara orang-orang yang ikut mengantarkan kepergian sebuah raga yang sudah terbujur kaku di dalam tanah. Isak tangis keluarga terdengar lirih sangat memilukan. Membuat siapa saja yang mendengarnya merasa iba. Satu persatu orang-orang mulai pergi meninggalkan gundukan tanah yang masih basah. Sedangkan aku masih di sini. Ikut menaburkan bunga sebagai tanda perpisahan."Nak Aldi, bisa bicara sebentar?" ujar seorang wanita yang memakai pakaian serba hitam kepada abangku. "Tentu. Mama mau bicara apa?" "Atas nama Rindu, Mama ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya padamu. Begitu dalam luka yang dia torehkan di hatimu. Sangat besar dosa dia padamu selama menjadi seorang istri. Tolong, maafkan anak Mama, Aldi," ujar ibunya Kak Rindu seraya menangkupkan kedua tangan di dada. Bang Aldi mengembuskan napas kasar. Ia membuka kacamata hitamnya, lalu dia simpan di saku kemeja yang ia
Semua orang sedang membahas kematian Kak Rindu. Dan aku, memilih untuk pergi ke dapur tanpa ikut bergabung bersama mereka. "Mama mau makan?" tanya Saffa saat aku mendudukkannya di kursi. "Iya, Sayang. Mama lapar, nih. Saffa sudah makan belum?" "Udah, Mbak. Tadi, Saffa makan bareng sama aku dan Mama.""Loh, kamu ikut ke sini? Aku kira mau gabung dengan yang lain di ruang tengah?" ujarku saat tahu Naima mengikutiku. "Enggak ah, malu. Mending di sini aja sama Mbak Alina. Mbak mau makan sama apa? Biar aku ambilin.""Jangan!" kataku menolak tawaran Naima. Aku mengambil sendiri nasi beserta lauknya, lalu mulai menikmatinya seorang diri. Saffa diambil alih Naima dan sekarang dua wanita beda usia itu tengah sibuk menyaksikan film kartun dari ponselku. Jika aku harus menilai, Naima beda sekali dari dua wanita yang tadi membicarakanku. Dia lebih tertutup dan sangat santun dalam bertutur kata. Penampilan apa lagi. Jauh bak bumi dan langit. Jika dua wanita itu terlihat glamor, tapi wanita
Dalam kegundahan hati setelah melihat wanita bersama Adi tadi, aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar saja. Saffa aku bawa serta karena dia yang tidak mau diajak Naima. Di dalam kamar, aku langsung merebahkan diri seraya menanti Adi untuk menghubungiku kembali. Namun, sudah lima belas menit menunggu, tidak ada Adi menghubungiku. Menelpon, ataupun mengirimkan pesan. Dan aku semakin penasaran dibuatnya. Ingin bertanya duluan pun aku tidak mau. Menunggu dia untuk berbicara langsung padaku. "Mama ...." kulirik putriku yang sudah mulai merengek. Matanya mengecil dengan beberapa kali menguap. Oh, putriku sudah ingin tidur. Aku melepaskan ponsel dari genggaman, lalu menghadap ke arah Saffa dan mulai mengusap-usap punggungnya. Biasanya, setelah putriku terlelap, aku akan memindahkan Saffa ke kamar yang ada di samping kamarku. "Oh, sudah tidur rupanya," ujarku setelah melihat kedua mata Saffa tertutup rapat. Saat hendak mengangkat tubuh putriku, suara ponsel menghentikannya. Buru-bu
"Abang?" kataku seraya menyipitkan mata menajamkan penglihatan. Seorang pria tengah duduk di kursi dengan ruangan yang gelap. Di depannya, satu gelas kopi menjadi teman kesunyian. "Abang sedang apa di sini? Gelap-gelapan, lagi," ujarku lagi seraya mengambil air minum, lalu duduk di depan Bang Aldi. Aku meneguk satu gelas air putih untuk membasahi tenggorokan. "Abang tidak bisa tidur, Al""Kenapa? Ingat, Kak Rindu?" tanyaku. Bang Aldi diam. Dia menunduk enggan menjawab pertanyaanku. Di bawah penerangan yang minim, aku bisa melihat ada kesedihan dari wajah itu. Dan aku tahu apa yang membuat dia menjadi pendiam seperti itu. Pengkhianatan Kak Rindu adalah cambuk paling menyakitkan untuknya. Apalagi harus ditinggal pergi untuk selama-lamanya. Bang Aldi si budak cinta pasti sangat syok dengan dua kenyataan yang dia terima dengan jarak yang berdekatan. Aku bisa memaklumi itu. Rasa cinta dan sayang tidak akan bisa mudah hilang dengan satu kata perpisahan. Pastilah membutuhkan waktu ya
Sinar matahari pagi begitu hangat mengenai punggung. Aku duduk dengan pandangan lurus ke depan, menyaksikan kebahagiaan buah hatiku yang tengah tertawa senang bersama calon suamiku. Adi membawa Saffa mendekati air mancur, menyimpan tubuh buah hatiku di pangkuannya. Sesekali Adi mencipratkan air ke wajah Saffa, membuat gadis kecil itu tertawa seketika. Tawa mereka begitu lepas, bahagia anakku bukanlah sandiwara yang dibuat-buat. Orang lain yang melihat, tidak akan ada yang tahu jika sebenarnya dua orang itu bukanlah anak dan ayah kandung. "Harusnya aku yang bersama Saffa," celetuk pria yang duduk di sampingku. Aku meliriknya sekilas, lalu menyunggingkan senyum kecut. Ternyata dia kepanasan. Merasa cemburu melihat kedekatan Adi dengan Saffa. "Tidak cocok, Mas. Harusnya kamu bermain bola dengan anak laki-laki. Bukankah itu impianmu?" kataku mengingatkan ucapan yang pernah dia lontarkan sewaktu dulu. Iya, dulu saat usia Saffa masih hitungan bulan, aku pernah mendengar Mas Haikal ya
"Semuanya berasal darimu, Alina. Kamu yang salah di sini. Kamu yang tidak jujur mengenai asal-usulmu. Jika saja waktu itu kamu mengatakan siapa orang tuamu sebenarnya, tidak akan ada pengkhianatan di antara kita. Tidak akan aku menikah lagi dengan Amira!""Karena aku anak orang kaya, begitu?" ujarku dengan cepat. Mas Haikal bergeming. Namun mata tajamnya sama sekali tidak beralih dariku. "Harus kamu ingat-ingat lagi, Mas. Aku, sebelum menikah denganmu sudah mengatakan jika hubungan kita tidak mendapat restu dari orang tuaku. Apa yang kamu lakukan pada saat itu?" Aku mundur satu langkah, bersidekap dada dengan terus melihat ke arahnya. Mas Haikal tidak menjawab. Dia membuang pandangan ke arah lain seraya mengusap wajah. Sedangkan tangan satunya lagi berada di pinggang. "Kenapa, Mas. Kamu lupa?" ujarku kembali berujar. Aku pun mengingatkannya kembali pada kisah itu. Suatu kisah di mana dengan begitu hebatnya seorang Haikal meyakinkan aku untuk tidak masalah menikah tanpa restu. Kam