Dalam kegundahan hati setelah melihat wanita bersama Adi tadi, aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar saja. Saffa aku bawa serta karena dia yang tidak mau diajak Naima. Di dalam kamar, aku langsung merebahkan diri seraya menanti Adi untuk menghubungiku kembali. Namun, sudah lima belas menit menunggu, tidak ada Adi menghubungiku. Menelpon, ataupun mengirimkan pesan. Dan aku semakin penasaran dibuatnya. Ingin bertanya duluan pun aku tidak mau. Menunggu dia untuk berbicara langsung padaku. "Mama ...." kulirik putriku yang sudah mulai merengek. Matanya mengecil dengan beberapa kali menguap. Oh, putriku sudah ingin tidur. Aku melepaskan ponsel dari genggaman, lalu menghadap ke arah Saffa dan mulai mengusap-usap punggungnya. Biasanya, setelah putriku terlelap, aku akan memindahkan Saffa ke kamar yang ada di samping kamarku. "Oh, sudah tidur rupanya," ujarku setelah melihat kedua mata Saffa tertutup rapat. Saat hendak mengangkat tubuh putriku, suara ponsel menghentikannya. Buru-bu
"Abang?" kataku seraya menyipitkan mata menajamkan penglihatan. Seorang pria tengah duduk di kursi dengan ruangan yang gelap. Di depannya, satu gelas kopi menjadi teman kesunyian. "Abang sedang apa di sini? Gelap-gelapan, lagi," ujarku lagi seraya mengambil air minum, lalu duduk di depan Bang Aldi. Aku meneguk satu gelas air putih untuk membasahi tenggorokan. "Abang tidak bisa tidur, Al""Kenapa? Ingat, Kak Rindu?" tanyaku. Bang Aldi diam. Dia menunduk enggan menjawab pertanyaanku. Di bawah penerangan yang minim, aku bisa melihat ada kesedihan dari wajah itu. Dan aku tahu apa yang membuat dia menjadi pendiam seperti itu. Pengkhianatan Kak Rindu adalah cambuk paling menyakitkan untuknya. Apalagi harus ditinggal pergi untuk selama-lamanya. Bang Aldi si budak cinta pasti sangat syok dengan dua kenyataan yang dia terima dengan jarak yang berdekatan. Aku bisa memaklumi itu. Rasa cinta dan sayang tidak akan bisa mudah hilang dengan satu kata perpisahan. Pastilah membutuhkan waktu ya
Sinar matahari pagi begitu hangat mengenai punggung. Aku duduk dengan pandangan lurus ke depan, menyaksikan kebahagiaan buah hatiku yang tengah tertawa senang bersama calon suamiku. Adi membawa Saffa mendekati air mancur, menyimpan tubuh buah hatiku di pangkuannya. Sesekali Adi mencipratkan air ke wajah Saffa, membuat gadis kecil itu tertawa seketika. Tawa mereka begitu lepas, bahagia anakku bukanlah sandiwara yang dibuat-buat. Orang lain yang melihat, tidak akan ada yang tahu jika sebenarnya dua orang itu bukanlah anak dan ayah kandung. "Harusnya aku yang bersama Saffa," celetuk pria yang duduk di sampingku. Aku meliriknya sekilas, lalu menyunggingkan senyum kecut. Ternyata dia kepanasan. Merasa cemburu melihat kedekatan Adi dengan Saffa. "Tidak cocok, Mas. Harusnya kamu bermain bola dengan anak laki-laki. Bukankah itu impianmu?" kataku mengingatkan ucapan yang pernah dia lontarkan sewaktu dulu. Iya, dulu saat usia Saffa masih hitungan bulan, aku pernah mendengar Mas Haikal ya
"Semuanya berasal darimu, Alina. Kamu yang salah di sini. Kamu yang tidak jujur mengenai asal-usulmu. Jika saja waktu itu kamu mengatakan siapa orang tuamu sebenarnya, tidak akan ada pengkhianatan di antara kita. Tidak akan aku menikah lagi dengan Amira!""Karena aku anak orang kaya, begitu?" ujarku dengan cepat. Mas Haikal bergeming. Namun mata tajamnya sama sekali tidak beralih dariku. "Harus kamu ingat-ingat lagi, Mas. Aku, sebelum menikah denganmu sudah mengatakan jika hubungan kita tidak mendapat restu dari orang tuaku. Apa yang kamu lakukan pada saat itu?" Aku mundur satu langkah, bersidekap dada dengan terus melihat ke arahnya. Mas Haikal tidak menjawab. Dia membuang pandangan ke arah lain seraya mengusap wajah. Sedangkan tangan satunya lagi berada di pinggang. "Kenapa, Mas. Kamu lupa?" ujarku kembali berujar. Aku pun mengingatkannya kembali pada kisah itu. Suatu kisah di mana dengan begitu hebatnya seorang Haikal meyakinkan aku untuk tidak masalah menikah tanpa restu. Kam
"Gimana pertemuan kamu dengan Haikal tadi pagi?" Tangan yang sudah hampir di mulut, aku tarik kembali dan menyimpan buah jeruk yang hendak aku makan. Pertanyaan Mama membuat mood-ku tiba-tiba anjlok. Mendengar nama ayahnya Saffa disebut, membuatku mengingat kejadian tadi. "Kok, malah ngelamun. Kenapa?" ujar Mama lagi seraya memasukkan air gelas kemasan ke dalam kardus. Saat ini, aku sedang berada di rumah Bang Aldi. Acara pengajian kepergian Kak Rindu baru saja selesai. Dan sekarang orang yang ada di rumah ini tengah bahu membahu membereskan sisa-sisa makanan yang kami suguhkan untuk para tamu yang datang mendoakan almarhum kakak iparku itu. "Enggak apa-apa, Mah. Males aja bahas itu. Dahlah, aku bantuin beresin ini dulu, nanti akan Alina ceritain semuanya ke Mama," ujarku langsung memasukkan jeruk yang tadi. Kemudian aku bergabung bersama Naima, memungut sampah plastik yang berceceran. Selanjutnya, aku membawa kantong plastik yang sudah terisi penuh, keluar dari rumah untuk
"Abang mau pergi?" tanyaku menghampiri. "Eh, Al?" Bang Aldi menoleh, lalu menjatuhkan pandangan pada baju-baju yang semuanya milik Kak Rindu. Iya, semuanya baju perempuan. "Ini mau dikemanakan?" tanyaku lagi. "Mau Abang kasihkan ke orang tuanya Rindu. Apa ada yang kamu suka? Pilih dan ambil saja. Gak papa, kok," tutur Bang Aldi seraya beringsut turun dari ranjang, lalu duduk di atas karpet bulu di depan tumpukan baju-baju itu. Aku pun melakukan hal yang sama seperti Bang Aldi. Aku ikut duduk meskipun bukan untuk memilih pakaian kakak iparku itu. Melainkan untuk membantu Bang Aldi mengemas pakaian yang masih sangat harum Kak Rindu. "Enggak, Bang. Alina bantuin Abang saja. Emangnya kapan mau diberikan ke sana?" tanyaku. "Nanti setelah empat puluh hari.""Lah, masih jauh, Bang. Kenapa sudah dikemas dari sekarang?" ujarku lagi seraya menghentikan tangan yang memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koper. "Sengaja, biar Abang tidak ingat terus." Aku tidak lagi bertanya. Satu ja
[Lin, aku minta maaf atas kejadian di taman tadi. Jujur, aku kaget mendengar kamu akan menikah lagi. Cemburu lebih tepatnya.][Alina, sebenarnya aku masih mencintaimu. Aku dengan Amira tidak bahagia. Dia terlalu mengekang dan melarangku banyak hal. Jika kamu mau, kita bisa hidup seperti dulu lagi.]Aku mengernyitkan kening membaca deretan pesan yang dikirim Mas Haikal padaku. Pantas saja Mama sampai memblokir nomor mantan suamiku. Pasti karena ia membaca pesan yang membuat ubun-ubunnya mengepul seperti cerobong asap. [Lin, aku serius. Menikahlah lagi denganku. Demi Saffa. Aku tidak mau dia melupakan aku dan lebih dekat dengan laki-laki lain.][Lin, jawab, dong. Kamu mau, ya menikah lagi denganku dan hidup bahagia seperti dulu.][Aku janji tidak akan selingkuh lagi, Lin. Kita akan bahagia dengan anak-anak yang banyak dan lucu-lucu seperti Saffa. Tolong jawab pesanku, Lin.]Kusunggingkan senyum kecil seraya berselonjor di atas tempat tidur. Ternyata dia tidak bahagia bersama istri baru
"Pagi, Mbak Alina," sapa karyawan Mama saat aku masuk. "Pagi, semuanya. Duh, udah pada rapi dan cantik. Siap untuk kerja?" "Siap, dong Mbak. Siap empat lima malahan.""Iyalah siap, karena hari ini tanggal gajian. Iya, 'kan?" ujarku yang langsung disambut tawa oleh keempat wanita muda itu. Setelah berbincang dengan karyawan, kami pun mulai bekerja. Melayani pengunjung yang datang bergantian. Tidak terasa, waktu semakin sore dan waktu pulang pun sudah dekat. Buru-buru aku memberikan upah kerja mereka sebulan ke belakang, sebelum jam pulang tiba. Setelah semuanya mendapatkan hak mereka, aku menyuruh keempat perempuan itu untuk pulang cepat. Biar mereka bisa berbelanja, membeli kebutuhan mereka sebelum pulang ke rumahnya masing-masing. Dan aku sekarang sendirian di sini. Menunggu Pak Yadi datang menjemput seraya membereskan beberapa barang yang masih berserakan."Alina!"Aku menoleh ke arah pintu. Aku bergeming melihat wanita yang berdiri di sana. "Kamu?" kataku. "Boleh aku masuk?
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan