Semua orang sedang membahas kematian Kak Rindu. Dan aku, memilih untuk pergi ke dapur tanpa ikut bergabung bersama mereka. "Mama mau makan?" tanya Saffa saat aku mendudukkannya di kursi. "Iya, Sayang. Mama lapar, nih. Saffa sudah makan belum?" "Udah, Mbak. Tadi, Saffa makan bareng sama aku dan Mama.""Loh, kamu ikut ke sini? Aku kira mau gabung dengan yang lain di ruang tengah?" ujarku saat tahu Naima mengikutiku. "Enggak ah, malu. Mending di sini aja sama Mbak Alina. Mbak mau makan sama apa? Biar aku ambilin.""Jangan!" kataku menolak tawaran Naima. Aku mengambil sendiri nasi beserta lauknya, lalu mulai menikmatinya seorang diri. Saffa diambil alih Naima dan sekarang dua wanita beda usia itu tengah sibuk menyaksikan film kartun dari ponselku. Jika aku harus menilai, Naima beda sekali dari dua wanita yang tadi membicarakanku. Dia lebih tertutup dan sangat santun dalam bertutur kata. Penampilan apa lagi. Jauh bak bumi dan langit. Jika dua wanita itu terlihat glamor, tapi wanita
Dalam kegundahan hati setelah melihat wanita bersama Adi tadi, aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar saja. Saffa aku bawa serta karena dia yang tidak mau diajak Naima. Di dalam kamar, aku langsung merebahkan diri seraya menanti Adi untuk menghubungiku kembali. Namun, sudah lima belas menit menunggu, tidak ada Adi menghubungiku. Menelpon, ataupun mengirimkan pesan. Dan aku semakin penasaran dibuatnya. Ingin bertanya duluan pun aku tidak mau. Menunggu dia untuk berbicara langsung padaku. "Mama ...." kulirik putriku yang sudah mulai merengek. Matanya mengecil dengan beberapa kali menguap. Oh, putriku sudah ingin tidur. Aku melepaskan ponsel dari genggaman, lalu menghadap ke arah Saffa dan mulai mengusap-usap punggungnya. Biasanya, setelah putriku terlelap, aku akan memindahkan Saffa ke kamar yang ada di samping kamarku. "Oh, sudah tidur rupanya," ujarku setelah melihat kedua mata Saffa tertutup rapat. Saat hendak mengangkat tubuh putriku, suara ponsel menghentikannya. Buru-bu
"Abang?" kataku seraya menyipitkan mata menajamkan penglihatan. Seorang pria tengah duduk di kursi dengan ruangan yang gelap. Di depannya, satu gelas kopi menjadi teman kesunyian. "Abang sedang apa di sini? Gelap-gelapan, lagi," ujarku lagi seraya mengambil air minum, lalu duduk di depan Bang Aldi. Aku meneguk satu gelas air putih untuk membasahi tenggorokan. "Abang tidak bisa tidur, Al""Kenapa? Ingat, Kak Rindu?" tanyaku. Bang Aldi diam. Dia menunduk enggan menjawab pertanyaanku. Di bawah penerangan yang minim, aku bisa melihat ada kesedihan dari wajah itu. Dan aku tahu apa yang membuat dia menjadi pendiam seperti itu. Pengkhianatan Kak Rindu adalah cambuk paling menyakitkan untuknya. Apalagi harus ditinggal pergi untuk selama-lamanya. Bang Aldi si budak cinta pasti sangat syok dengan dua kenyataan yang dia terima dengan jarak yang berdekatan. Aku bisa memaklumi itu. Rasa cinta dan sayang tidak akan bisa mudah hilang dengan satu kata perpisahan. Pastilah membutuhkan waktu ya
Sinar matahari pagi begitu hangat mengenai punggung. Aku duduk dengan pandangan lurus ke depan, menyaksikan kebahagiaan buah hatiku yang tengah tertawa senang bersama calon suamiku. Adi membawa Saffa mendekati air mancur, menyimpan tubuh buah hatiku di pangkuannya. Sesekali Adi mencipratkan air ke wajah Saffa, membuat gadis kecil itu tertawa seketika. Tawa mereka begitu lepas, bahagia anakku bukanlah sandiwara yang dibuat-buat. Orang lain yang melihat, tidak akan ada yang tahu jika sebenarnya dua orang itu bukanlah anak dan ayah kandung. "Harusnya aku yang bersama Saffa," celetuk pria yang duduk di sampingku. Aku meliriknya sekilas, lalu menyunggingkan senyum kecut. Ternyata dia kepanasan. Merasa cemburu melihat kedekatan Adi dengan Saffa. "Tidak cocok, Mas. Harusnya kamu bermain bola dengan anak laki-laki. Bukankah itu impianmu?" kataku mengingatkan ucapan yang pernah dia lontarkan sewaktu dulu. Iya, dulu saat usia Saffa masih hitungan bulan, aku pernah mendengar Mas Haikal ya
"Semuanya berasal darimu, Alina. Kamu yang salah di sini. Kamu yang tidak jujur mengenai asal-usulmu. Jika saja waktu itu kamu mengatakan siapa orang tuamu sebenarnya, tidak akan ada pengkhianatan di antara kita. Tidak akan aku menikah lagi dengan Amira!""Karena aku anak orang kaya, begitu?" ujarku dengan cepat. Mas Haikal bergeming. Namun mata tajamnya sama sekali tidak beralih dariku. "Harus kamu ingat-ingat lagi, Mas. Aku, sebelum menikah denganmu sudah mengatakan jika hubungan kita tidak mendapat restu dari orang tuaku. Apa yang kamu lakukan pada saat itu?" Aku mundur satu langkah, bersidekap dada dengan terus melihat ke arahnya. Mas Haikal tidak menjawab. Dia membuang pandangan ke arah lain seraya mengusap wajah. Sedangkan tangan satunya lagi berada di pinggang. "Kenapa, Mas. Kamu lupa?" ujarku kembali berujar. Aku pun mengingatkannya kembali pada kisah itu. Suatu kisah di mana dengan begitu hebatnya seorang Haikal meyakinkan aku untuk tidak masalah menikah tanpa restu. Kam
"Gimana pertemuan kamu dengan Haikal tadi pagi?" Tangan yang sudah hampir di mulut, aku tarik kembali dan menyimpan buah jeruk yang hendak aku makan. Pertanyaan Mama membuat mood-ku tiba-tiba anjlok. Mendengar nama ayahnya Saffa disebut, membuatku mengingat kejadian tadi. "Kok, malah ngelamun. Kenapa?" ujar Mama lagi seraya memasukkan air gelas kemasan ke dalam kardus. Saat ini, aku sedang berada di rumah Bang Aldi. Acara pengajian kepergian Kak Rindu baru saja selesai. Dan sekarang orang yang ada di rumah ini tengah bahu membahu membereskan sisa-sisa makanan yang kami suguhkan untuk para tamu yang datang mendoakan almarhum kakak iparku itu. "Enggak apa-apa, Mah. Males aja bahas itu. Dahlah, aku bantuin beresin ini dulu, nanti akan Alina ceritain semuanya ke Mama," ujarku langsung memasukkan jeruk yang tadi. Kemudian aku bergabung bersama Naima, memungut sampah plastik yang berceceran. Selanjutnya, aku membawa kantong plastik yang sudah terisi penuh, keluar dari rumah untuk
"Abang mau pergi?" tanyaku menghampiri. "Eh, Al?" Bang Aldi menoleh, lalu menjatuhkan pandangan pada baju-baju yang semuanya milik Kak Rindu. Iya, semuanya baju perempuan. "Ini mau dikemanakan?" tanyaku lagi. "Mau Abang kasihkan ke orang tuanya Rindu. Apa ada yang kamu suka? Pilih dan ambil saja. Gak papa, kok," tutur Bang Aldi seraya beringsut turun dari ranjang, lalu duduk di atas karpet bulu di depan tumpukan baju-baju itu. Aku pun melakukan hal yang sama seperti Bang Aldi. Aku ikut duduk meskipun bukan untuk memilih pakaian kakak iparku itu. Melainkan untuk membantu Bang Aldi mengemas pakaian yang masih sangat harum Kak Rindu. "Enggak, Bang. Alina bantuin Abang saja. Emangnya kapan mau diberikan ke sana?" tanyaku. "Nanti setelah empat puluh hari.""Lah, masih jauh, Bang. Kenapa sudah dikemas dari sekarang?" ujarku lagi seraya menghentikan tangan yang memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koper. "Sengaja, biar Abang tidak ingat terus." Aku tidak lagi bertanya. Satu ja
[Lin, aku minta maaf atas kejadian di taman tadi. Jujur, aku kaget mendengar kamu akan menikah lagi. Cemburu lebih tepatnya.][Alina, sebenarnya aku masih mencintaimu. Aku dengan Amira tidak bahagia. Dia terlalu mengekang dan melarangku banyak hal. Jika kamu mau, kita bisa hidup seperti dulu lagi.]Aku mengernyitkan kening membaca deretan pesan yang dikirim Mas Haikal padaku. Pantas saja Mama sampai memblokir nomor mantan suamiku. Pasti karena ia membaca pesan yang membuat ubun-ubunnya mengepul seperti cerobong asap. [Lin, aku serius. Menikahlah lagi denganku. Demi Saffa. Aku tidak mau dia melupakan aku dan lebih dekat dengan laki-laki lain.][Lin, jawab, dong. Kamu mau, ya menikah lagi denganku dan hidup bahagia seperti dulu.][Aku janji tidak akan selingkuh lagi, Lin. Kita akan bahagia dengan anak-anak yang banyak dan lucu-lucu seperti Saffa. Tolong jawab pesanku, Lin.]Kusunggingkan senyum kecil seraya berselonjor di atas tempat tidur. Ternyata dia tidak bahagia bersama istri baru