"Ya Allah, Mira. Kenapa jadi begini, sih?" Aku masuk ke dalam toko, berniat ingin menghentikan pergerakan Amira yang menarik baju-baju di sekitarnya. Aksinya tidak terkendali. Kami bertiga yang ada di sini tidak mampu menghentikan Amira yang semakin menjadi. Seketika itu aku langsung berpikir. Mungkinkah Amira benar-benar mengalami gangguan mental? Oh, astaga ... aku harus segera menghubungi Mas Haikal sebelum semua barang-barangku rusak karena ulahnya. "Ada apa ini, Non?" Pak Yadi datang saat tanganku tengah mengotak-atik ponsel. "Ah, kebetulan Pak Yadi datang. Tolong telpon nomor ini, Pak. Video call kalau perlu. Beritahu orang di sana, jika istrinya kesurupan di sini. Cepat!" titahku yang langsung dilakukan Pak Yadi. Aku berusaha menghentikan Amira dengan menarik tangannya untuk keluar. Meskipun dia selalu berteriak jangan menyentuh kulitnya, tapi tak kuhiraukan. Aku tetap menarik dia mendekati pintu keluar. Sekian lama menunggu, akhirnya Mas Haikal datang bersama ibu dan me
"Kamu belum makan, lho." "Ah, belum lapar, Pah. Ayolah, apa yang ingin dibicarakan?" ujarku merengut ke arah Papa. Di pangkuanku, ada Saffa yang selalu bergelayut manja. Dia sudah memakai piyama tidur dengan rambut ikal yang gerai. "Setelah pengajian tadi, Papa dan Om Gunawan bicara empat mata. Dia menyampaikan apa yang diinginkan putranya untuk ... memajukan hari pernikahan kalian."Aku membulatkan mata menanggapi ucapan Papa. Benarkah itu keinginan Adi? Aku menggapai permukaan sofa, mencari ponselku yang ... ah, aku lupa. Benda pipih itu sedang aku isi daya di kamar. "Kenapa begitu, Pah?" tanyaku akhirnya."Jangan nanya ke Papa, tanyakan langsung ke Adi. Papa hanya menyampaikan apa yang disampaikan pihak besan."Seketika pikiran ini langsung melayang ke pelaminan. Eh, bukan. Ke masa depan di mana aku akan bergelar sebagai istri lagi. Status janda yang aku sandang akan segera berakhir dan berganti jadi seorang istri dan Adikara Wijaya. Benarkah secepat ini? Tiba-tiba saja dad
Alunan musik menambah keromantisan suasana pesta. Sepasang pengantin baru mengekpresikan suka cita mereka dengan berdansa. Dua pasang mata saling memandang, mengungkapkan cinta lewat tatapan mata. Aku yang berada di sini merasakan kebahagiaan mereka. Tidak terasa, kedua sudut bibir terangkat mengukir senyum bahagia. "Yuk," ujar Adi seraya menggenggam tanganku. Aku menoleh pada pria itu yang masih menatapku sembari mengangkat kedua alisnya. "Pulang?" tanyaku. Adi menggelengkan kepala. "Ke pelaminan," ujarnya membuatku mengulum senyum malu. Aku melepaskan tangan yang dipegang Adi. Menangkup kedua pipi yang terasa panas dengan sikut yang bertumpu pada meja. Hal yang sama pun dilakukan Adi. Pria itu sengaja menggodaku dengan menatapku intens. "Ih, ngapain, sih ikut-ikutan?" Aku menarik tubuh hingga tegak. "Lucu aja lihat kamu kayak gitu. Kayak ABG."Aku mencebikkan bibir, padahal dalam hati bersorak riang. Semakin lama pesta semakin meriah, namun Adi memutuskan untuk pulang setel
Kami disambut ramah oleh karyawan butik. Dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tunggu selagi ia memanggil pemilik butik tersebut. Tidak berapa lama, keluarlah wanita seumuran Mama yang katanya sahabat dari almarhum ibunya Adi. Wanita itu membawaku ke tempat di mana ada kebaya yang sudah Adi pesan untukku. Pertama melihatnya, aku sudah takjub dengan manik-manik yang menghiasi kebaya berwarna putih itu. "Dicoba dulu, Mbak. Silahkan di sana," ujar wanita yang dipanggil Adi, Mami Ine.Aku menganggukkan badan, kemudian masuk ke dalam ruang ganti. Setelahnya, aku keluar dan langsung disambut ramah oleh karyawan Mami Ine. Adi yang melihatku, langsung tak mengalihkan pandangan ketika aku keluar. Entahlah, dia kecewa atau bahagia melihatku memakai kebaya yang sudah dia siapkan. Buruk, atau bagus di tubuhku ini. "Wah, benar sekali kata Adi. Bajunya pas sekali di badan Mbaknya. Gimana Di, cocok?" Mama Ine melempar tanya pada pria yang masih melihatku lekat. "Cantik." Satu kata dari Adi ya
Aku berdiri dan tersenyum ramah pada pria yang dulu pernah menjadi bagian dari perjalanan hidup. Iya, dulu sekali. Saat aku dan dia masih sama-sama memakai seragam SMA. "Iya, aku Zidan. Masa, kamu lupa sama aku. Aku aja masih ingat wajah kamu, lho, Al.""Ingat, kok. Aku juga masih ingat kamu," ucapku seraya memainkan jari-jari tangan. "Oh, syukurlah kalau masih ingat. Aku kira kamu sudah lupa denganku. Oh, iya kamu sedang apa di sini?" tanyanya lagi ingin tahu. "Aku sedang ....""Al."Aku menoleh pada pria yang keluar dari ruangannya. Aku tersenyum ke arah Adi, melupakan pertanyaan Zidan barusan. Melihat Adi, Zidan langsung mengangguk hormat dengan senyum ramahnya. Adi pun melakukan hal yang sama. Dengan dibantu kursi rodanya, Adi menghampiriku yang berdiri menghadap Zidan. "Alina tamu Bapak? Maaf, saya kira, tadi orang yang mau pesan kain," ujar Zidan kemudian. "Bukan. Dia wanita saya. Dia sedang menemani saya berkunjung ke sini. Kamu dari mana? Kenapa tidak ikut meeting?" "M
Rencana pernikahan yang tadinya akan digelar tiga bulan lagi, dimajukan menjadi sangat mepet. Kurang lebih dua minggu lagi aku akan berganti status. Sejak kemarin aku sudah disibukan dengan mengurus surat-surat ke KUA. Belum lagi permasalahan yang sepertinya tidak ada habisnya. Dari mulai komunikasi dengan Adi yang membuat salah paham, sampai orang tua yang terlibat perdebatan seperti sekarang ini. "Ah, kamu mah selalu ingin menang sendiri, Din. Ini pernikahan putraku, masa iya diadakan di rumah. Pokoknya, aku mau di gedung. Apa kata orang-orang, jika anak kita cuma bisa mengadakan pesta di rumah ini," ujar Om Gunawan yang keberatan dengan ide Papa. Maunya Papa, pernikahan aku dan Adi digelar di sini. Di rumah yang Papa bangun untuk anak dan istrinya. Namun, Om Gun tidak setuju. Sebagai pengusaha yang punya banyak kolega, dia menilai akan lebih bagus jika acara sakralku digelar di gedung mewah yang bisa menampung tamu undangan sekian ratus, atau bahkan ribu. "Gun, ini juga perni
Tidak, tidak mungkin pernikahanku dan Adi akan batal hanya karena masalah pemikiran orang tua yang tidak sejalan. Aku menarik napas dalam-dalam, menetralkan perasaan yang mulai tidak karuan. Dengan langkah gontai, aku mendekati Papa dan duduk di sampingnya yang kini saling diam dengan Om Gunawan. "Pah, Om, tadi Alina mendengar kata batal. Kalau boleh tahu, apanya yang batal?" tanyaku sangat hati-hati."Kesepakatan kita yang batal!" ujar Papa kemudian diam kembali. "Kesepakatan apa? Pernikahanku dan Adi?" "Bukan!""Bukan!" Papa dan Om Gunawan berujar bersamaan. Aku melongo melihat mereka bergantian. Jika bukan pernikahan yang batal, lalu apa? Hatiku bertanya-tanya, tapi enggan untuk kembali berucap.Wajah kedua laki-laki dewasa cenderung tua itu terlihat tidak bersahabat. Mereka saling membuang pandangan, tidak akur seperti sebelumnya. "Pah, jangan seperti anak kecil, lah. Kalian ini sudah pada tua, jangan apa-apa jadi masalah. Masa iya, soal gedung dan undangan saja sampai mau
Sungguh aku tidak menyangka akan melihat pemandangan yang membuat dada ini seperti dihantam batu besar. Aku pikir, dia benar-benar melakukan terapi okupasi yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan gerak saat melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, ternyata lebih dari itu. Dia malah berpelukan dengan wanita yang katanya anak dari Dokter Burhan. Aku lari dari ruangan Dokter Burhan hingga ke depan gerbang klinik itu. Namun, aku tidak menemukan mobil Pak Yadi di sana. Mata ini celingukan mencari kendaraan roda empat itu, tapi nihil. Sialnya Pak Yadi pergi tanpa memberitahuku. "Mbak! Mbak Alina tunggu!" Aku menoleh, ternyata supir pribadi Adi yang memanggil. "Mbak, tunggu dulu. Saya disuruh Pak Adi untuk menghentikan Embak, dan mau mendengarkan penjelasan Bapak. Tunggu sebentar di sini, Mbak.""Tidak usah, saya buru-buru!" ujarku langsung meninggalkan pria itu dan berjalan cepat menyusuri jalanan yang sepi. Saat sampai di jalan raya, aku menoleh ke belakang dan ternyata mobil Adi