Alunan musik menambah keromantisan suasana pesta. Sepasang pengantin baru mengekpresikan suka cita mereka dengan berdansa. Dua pasang mata saling memandang, mengungkapkan cinta lewat tatapan mata. Aku yang berada di sini merasakan kebahagiaan mereka. Tidak terasa, kedua sudut bibir terangkat mengukir senyum bahagia. "Yuk," ujar Adi seraya menggenggam tanganku. Aku menoleh pada pria itu yang masih menatapku sembari mengangkat kedua alisnya. "Pulang?" tanyaku. Adi menggelengkan kepala. "Ke pelaminan," ujarnya membuatku mengulum senyum malu. Aku melepaskan tangan yang dipegang Adi. Menangkup kedua pipi yang terasa panas dengan sikut yang bertumpu pada meja. Hal yang sama pun dilakukan Adi. Pria itu sengaja menggodaku dengan menatapku intens. "Ih, ngapain, sih ikut-ikutan?" Aku menarik tubuh hingga tegak. "Lucu aja lihat kamu kayak gitu. Kayak ABG."Aku mencebikkan bibir, padahal dalam hati bersorak riang. Semakin lama pesta semakin meriah, namun Adi memutuskan untuk pulang setel
Kami disambut ramah oleh karyawan butik. Dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tunggu selagi ia memanggil pemilik butik tersebut. Tidak berapa lama, keluarlah wanita seumuran Mama yang katanya sahabat dari almarhum ibunya Adi. Wanita itu membawaku ke tempat di mana ada kebaya yang sudah Adi pesan untukku. Pertama melihatnya, aku sudah takjub dengan manik-manik yang menghiasi kebaya berwarna putih itu. "Dicoba dulu, Mbak. Silahkan di sana," ujar wanita yang dipanggil Adi, Mami Ine.Aku menganggukkan badan, kemudian masuk ke dalam ruang ganti. Setelahnya, aku keluar dan langsung disambut ramah oleh karyawan Mami Ine. Adi yang melihatku, langsung tak mengalihkan pandangan ketika aku keluar. Entahlah, dia kecewa atau bahagia melihatku memakai kebaya yang sudah dia siapkan. Buruk, atau bagus di tubuhku ini. "Wah, benar sekali kata Adi. Bajunya pas sekali di badan Mbaknya. Gimana Di, cocok?" Mama Ine melempar tanya pada pria yang masih melihatku lekat. "Cantik." Satu kata dari Adi ya
Aku berdiri dan tersenyum ramah pada pria yang dulu pernah menjadi bagian dari perjalanan hidup. Iya, dulu sekali. Saat aku dan dia masih sama-sama memakai seragam SMA. "Iya, aku Zidan. Masa, kamu lupa sama aku. Aku aja masih ingat wajah kamu, lho, Al.""Ingat, kok. Aku juga masih ingat kamu," ucapku seraya memainkan jari-jari tangan. "Oh, syukurlah kalau masih ingat. Aku kira kamu sudah lupa denganku. Oh, iya kamu sedang apa di sini?" tanyanya lagi ingin tahu. "Aku sedang ....""Al."Aku menoleh pada pria yang keluar dari ruangannya. Aku tersenyum ke arah Adi, melupakan pertanyaan Zidan barusan. Melihat Adi, Zidan langsung mengangguk hormat dengan senyum ramahnya. Adi pun melakukan hal yang sama. Dengan dibantu kursi rodanya, Adi menghampiriku yang berdiri menghadap Zidan. "Alina tamu Bapak? Maaf, saya kira, tadi orang yang mau pesan kain," ujar Zidan kemudian. "Bukan. Dia wanita saya. Dia sedang menemani saya berkunjung ke sini. Kamu dari mana? Kenapa tidak ikut meeting?" "M
Rencana pernikahan yang tadinya akan digelar tiga bulan lagi, dimajukan menjadi sangat mepet. Kurang lebih dua minggu lagi aku akan berganti status. Sejak kemarin aku sudah disibukan dengan mengurus surat-surat ke KUA. Belum lagi permasalahan yang sepertinya tidak ada habisnya. Dari mulai komunikasi dengan Adi yang membuat salah paham, sampai orang tua yang terlibat perdebatan seperti sekarang ini. "Ah, kamu mah selalu ingin menang sendiri, Din. Ini pernikahan putraku, masa iya diadakan di rumah. Pokoknya, aku mau di gedung. Apa kata orang-orang, jika anak kita cuma bisa mengadakan pesta di rumah ini," ujar Om Gunawan yang keberatan dengan ide Papa. Maunya Papa, pernikahan aku dan Adi digelar di sini. Di rumah yang Papa bangun untuk anak dan istrinya. Namun, Om Gun tidak setuju. Sebagai pengusaha yang punya banyak kolega, dia menilai akan lebih bagus jika acara sakralku digelar di gedung mewah yang bisa menampung tamu undangan sekian ratus, atau bahkan ribu. "Gun, ini juga perni
Tidak, tidak mungkin pernikahanku dan Adi akan batal hanya karena masalah pemikiran orang tua yang tidak sejalan. Aku menarik napas dalam-dalam, menetralkan perasaan yang mulai tidak karuan. Dengan langkah gontai, aku mendekati Papa dan duduk di sampingnya yang kini saling diam dengan Om Gunawan. "Pah, Om, tadi Alina mendengar kata batal. Kalau boleh tahu, apanya yang batal?" tanyaku sangat hati-hati."Kesepakatan kita yang batal!" ujar Papa kemudian diam kembali. "Kesepakatan apa? Pernikahanku dan Adi?" "Bukan!""Bukan!" Papa dan Om Gunawan berujar bersamaan. Aku melongo melihat mereka bergantian. Jika bukan pernikahan yang batal, lalu apa? Hatiku bertanya-tanya, tapi enggan untuk kembali berucap.Wajah kedua laki-laki dewasa cenderung tua itu terlihat tidak bersahabat. Mereka saling membuang pandangan, tidak akur seperti sebelumnya. "Pah, jangan seperti anak kecil, lah. Kalian ini sudah pada tua, jangan apa-apa jadi masalah. Masa iya, soal gedung dan undangan saja sampai mau
Sungguh aku tidak menyangka akan melihat pemandangan yang membuat dada ini seperti dihantam batu besar. Aku pikir, dia benar-benar melakukan terapi okupasi yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan gerak saat melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, ternyata lebih dari itu. Dia malah berpelukan dengan wanita yang katanya anak dari Dokter Burhan. Aku lari dari ruangan Dokter Burhan hingga ke depan gerbang klinik itu. Namun, aku tidak menemukan mobil Pak Yadi di sana. Mata ini celingukan mencari kendaraan roda empat itu, tapi nihil. Sialnya Pak Yadi pergi tanpa memberitahuku. "Mbak! Mbak Alina tunggu!" Aku menoleh, ternyata supir pribadi Adi yang memanggil. "Mbak, tunggu dulu. Saya disuruh Pak Adi untuk menghentikan Embak, dan mau mendengarkan penjelasan Bapak. Tunggu sebentar di sini, Mbak.""Tidak usah, saya buru-buru!" ujarku langsung meninggalkan pria itu dan berjalan cepat menyusuri jalanan yang sepi. Saat sampai di jalan raya, aku menoleh ke belakang dan ternyata mobil Adi
"Al, ada apa? Mama lihat, sedari tadi kamu diam dan murung. Tidak ikut pengajian ke rumah Abang, terus kata Bi Narsih, juga kamu tidak makan sore tadi. Ada apa, Sayang?" Mama mengusap kepalaku dengan lembut. Setelah pulang dari rumah sakit tadi, aku memang mengurung diri di kamar. Enggan bertemu orang lain, bahkan tidak ikut pergi bersama keluargaku ke rumah Bang Aldi. Jangankan untuk makan, bergerak pun aku tidak mau. Apalagi, Adi sulit untuk aku hubungi. Dia tidak mengangkat teleponku, juga tidak membalas pesan yang kukirim. Laki-laki itu benar-benar telah salah paham denganku dan Zidan tadi. Dia mengira aku menceritakan masalahku kepada karyawannya itu. Padahal tidak sama sekali. Aku sudah menjelaskan panjang lebar lewat sebuah pesan, tapi tidak ada tanggapan. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak sama sekali."Kamu bertengkar dengan Adi?" tanya Mama lagi. Aku beringsut duduk dengan memangku bantal. Melihat pada Mama yang duduk di pinggir ranjang."Kok, rasanya gini, ya Mah?" u
Bukannya menjawab, Adi malah melihatku dengan sebelah alis yang terangkat. Gelas kopi dari tangannya belum terlepas, ia kembali menyeruput minuman itu dengan masih melirikku. "Kenapa?" ujarku dengan menahan senyum. "Pura-pura," cetusnya membuat mata ini melirik ke atas, bawah, serta kanan dan kiri. "Pura-pura apa? Aku nanya, ada apa kamu ke sini? Jawaban, kok enggak pasti." Aku menekuk wajah seraya bersidekap dada. Adi menyimpan gelas ke meja. Ia memundurkan tubuh, lalu bersandar pada kursi roda yang ia duduki. Kedua tangannya saling bertautan dengan pandangan masih ke arahku. Ada senyum yang terukir dari bibir itu. Meskipun tipis, tapi jelas terlihat olehku. Beberapa saat suasana kembali hening, tapi pandangan Adi tidak berpaling. Aku yang diperhatikan merasa salah tingkah hingga telapak tangan menjadi basah. Ingin beranjak, tapi dia belum mengatakan tujuannya datang ke sini. Jika ditunggu, malah membuat harapanku semakin menggebu. Menginginkan dia tetap mempertahankanku. "Di.
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan