Aku berdiri dan tersenyum ramah pada pria yang dulu pernah menjadi bagian dari perjalanan hidup. Iya, dulu sekali. Saat aku dan dia masih sama-sama memakai seragam SMA. "Iya, aku Zidan. Masa, kamu lupa sama aku. Aku aja masih ingat wajah kamu, lho, Al.""Ingat, kok. Aku juga masih ingat kamu," ucapku seraya memainkan jari-jari tangan. "Oh, syukurlah kalau masih ingat. Aku kira kamu sudah lupa denganku. Oh, iya kamu sedang apa di sini?" tanyanya lagi ingin tahu. "Aku sedang ....""Al."Aku menoleh pada pria yang keluar dari ruangannya. Aku tersenyum ke arah Adi, melupakan pertanyaan Zidan barusan. Melihat Adi, Zidan langsung mengangguk hormat dengan senyum ramahnya. Adi pun melakukan hal yang sama. Dengan dibantu kursi rodanya, Adi menghampiriku yang berdiri menghadap Zidan. "Alina tamu Bapak? Maaf, saya kira, tadi orang yang mau pesan kain," ujar Zidan kemudian. "Bukan. Dia wanita saya. Dia sedang menemani saya berkunjung ke sini. Kamu dari mana? Kenapa tidak ikut meeting?" "M
Rencana pernikahan yang tadinya akan digelar tiga bulan lagi, dimajukan menjadi sangat mepet. Kurang lebih dua minggu lagi aku akan berganti status. Sejak kemarin aku sudah disibukan dengan mengurus surat-surat ke KUA. Belum lagi permasalahan yang sepertinya tidak ada habisnya. Dari mulai komunikasi dengan Adi yang membuat salah paham, sampai orang tua yang terlibat perdebatan seperti sekarang ini. "Ah, kamu mah selalu ingin menang sendiri, Din. Ini pernikahan putraku, masa iya diadakan di rumah. Pokoknya, aku mau di gedung. Apa kata orang-orang, jika anak kita cuma bisa mengadakan pesta di rumah ini," ujar Om Gunawan yang keberatan dengan ide Papa. Maunya Papa, pernikahan aku dan Adi digelar di sini. Di rumah yang Papa bangun untuk anak dan istrinya. Namun, Om Gun tidak setuju. Sebagai pengusaha yang punya banyak kolega, dia menilai akan lebih bagus jika acara sakralku digelar di gedung mewah yang bisa menampung tamu undangan sekian ratus, atau bahkan ribu. "Gun, ini juga perni
Tidak, tidak mungkin pernikahanku dan Adi akan batal hanya karena masalah pemikiran orang tua yang tidak sejalan. Aku menarik napas dalam-dalam, menetralkan perasaan yang mulai tidak karuan. Dengan langkah gontai, aku mendekati Papa dan duduk di sampingnya yang kini saling diam dengan Om Gunawan. "Pah, Om, tadi Alina mendengar kata batal. Kalau boleh tahu, apanya yang batal?" tanyaku sangat hati-hati."Kesepakatan kita yang batal!" ujar Papa kemudian diam kembali. "Kesepakatan apa? Pernikahanku dan Adi?" "Bukan!""Bukan!" Papa dan Om Gunawan berujar bersamaan. Aku melongo melihat mereka bergantian. Jika bukan pernikahan yang batal, lalu apa? Hatiku bertanya-tanya, tapi enggan untuk kembali berucap.Wajah kedua laki-laki dewasa cenderung tua itu terlihat tidak bersahabat. Mereka saling membuang pandangan, tidak akur seperti sebelumnya. "Pah, jangan seperti anak kecil, lah. Kalian ini sudah pada tua, jangan apa-apa jadi masalah. Masa iya, soal gedung dan undangan saja sampai mau
Sungguh aku tidak menyangka akan melihat pemandangan yang membuat dada ini seperti dihantam batu besar. Aku pikir, dia benar-benar melakukan terapi okupasi yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan gerak saat melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, ternyata lebih dari itu. Dia malah berpelukan dengan wanita yang katanya anak dari Dokter Burhan. Aku lari dari ruangan Dokter Burhan hingga ke depan gerbang klinik itu. Namun, aku tidak menemukan mobil Pak Yadi di sana. Mata ini celingukan mencari kendaraan roda empat itu, tapi nihil. Sialnya Pak Yadi pergi tanpa memberitahuku. "Mbak! Mbak Alina tunggu!" Aku menoleh, ternyata supir pribadi Adi yang memanggil. "Mbak, tunggu dulu. Saya disuruh Pak Adi untuk menghentikan Embak, dan mau mendengarkan penjelasan Bapak. Tunggu sebentar di sini, Mbak.""Tidak usah, saya buru-buru!" ujarku langsung meninggalkan pria itu dan berjalan cepat menyusuri jalanan yang sepi. Saat sampai di jalan raya, aku menoleh ke belakang dan ternyata mobil Adi
"Al, ada apa? Mama lihat, sedari tadi kamu diam dan murung. Tidak ikut pengajian ke rumah Abang, terus kata Bi Narsih, juga kamu tidak makan sore tadi. Ada apa, Sayang?" Mama mengusap kepalaku dengan lembut. Setelah pulang dari rumah sakit tadi, aku memang mengurung diri di kamar. Enggan bertemu orang lain, bahkan tidak ikut pergi bersama keluargaku ke rumah Bang Aldi. Jangankan untuk makan, bergerak pun aku tidak mau. Apalagi, Adi sulit untuk aku hubungi. Dia tidak mengangkat teleponku, juga tidak membalas pesan yang kukirim. Laki-laki itu benar-benar telah salah paham denganku dan Zidan tadi. Dia mengira aku menceritakan masalahku kepada karyawannya itu. Padahal tidak sama sekali. Aku sudah menjelaskan panjang lebar lewat sebuah pesan, tapi tidak ada tanggapan. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak sama sekali."Kamu bertengkar dengan Adi?" tanya Mama lagi. Aku beringsut duduk dengan memangku bantal. Melihat pada Mama yang duduk di pinggir ranjang."Kok, rasanya gini, ya Mah?" u
Bukannya menjawab, Adi malah melihatku dengan sebelah alis yang terangkat. Gelas kopi dari tangannya belum terlepas, ia kembali menyeruput minuman itu dengan masih melirikku. "Kenapa?" ujarku dengan menahan senyum. "Pura-pura," cetusnya membuat mata ini melirik ke atas, bawah, serta kanan dan kiri. "Pura-pura apa? Aku nanya, ada apa kamu ke sini? Jawaban, kok enggak pasti." Aku menekuk wajah seraya bersidekap dada. Adi menyimpan gelas ke meja. Ia memundurkan tubuh, lalu bersandar pada kursi roda yang ia duduki. Kedua tangannya saling bertautan dengan pandangan masih ke arahku. Ada senyum yang terukir dari bibir itu. Meskipun tipis, tapi jelas terlihat olehku. Beberapa saat suasana kembali hening, tapi pandangan Adi tidak berpaling. Aku yang diperhatikan merasa salah tingkah hingga telapak tangan menjadi basah. Ingin beranjak, tapi dia belum mengatakan tujuannya datang ke sini. Jika ditunggu, malah membuat harapanku semakin menggebu. Menginginkan dia tetap mempertahankanku. "Di.
"Gimana keadaan Zafran?" tanyaku ingin tahu. "Alhamdulillah, sudah semakin membaik. Terima kasih untuk kebaikan kalian. Saya tidak tahu dengan cara apa untuk membalas jasa Pak Adi kepada saya," tutur Zidan. Saat ini aku dan Adi tengah berada di rumah sakit. Lebih tepatnya di ruangan Zafran yang sedang mendapatkan perawatan. Bayi itu terlihat lebih segar setelah dirawat oleh dokter spesialis. Aku harap, Zafran akan segera sembuh dan bisa dibawa pulang. "Sama-sama, Dan. Jangan dulu memikirkan balas budi, rawatlah dulu putramu hingga benar-benar sembuh, dan ... aku sudah membayar suster untuk menemani putramu di sini selama kamu bekerja. Lusa ada meeting penting, jadi mau tidak mau kamu harus ke pabrik. Ada beberapa hal yang akan aku bahas di sana," tutur Adi menjelaskan. "Masya Allah, Pak, terima kasih banyak. Iya, saya akan datang tepat waktu ke pabrik."Aku hanya menyimak obrolan mereka dengan tidak melihat kedua pria itu. Fokusku hanya pada Zafran yang terlelap dalam mimpi indah
"Kamu sedang tidak bercanda, kan Mas?" ujarku masih tidak percaya."Tidak, Al. Untuk apa aku bercanda dengan kematian? Amira memang sudah tidak ada. Dan sebagai suaminya, aku ingin memohon maaf atas nama dia kepadamu. Maafkan, Amira."Aku meneguk ludah dengan sangat susah. Sungguh, aku masih belum percaya jika Amira adalah salah satu korban dalam kecelakaan tersebut. Pantaslah wajah kedua orang yang ada di depanku itu terlihat berbeda. Mungkin luka-luka itu bekas dari kecelakaan yang mereka alami. "Al, apa kamu tidak bersedia memaafkan Amira?" "Tentu, Mas. Tentu saja aku memaafkannya. Aku juga minta maaf, jika mungkin selama aku kenal dengan kalian, ada kata-kata dariku yang menyakiti hati. Ibu, maafkan Alina, mungkin dulu Alina tidak menjadi menantu yang baik untuk Ibu," ujarku memandang wanita paruh baya itu seraya menangkupkan tangan. Ibu beringsut dari tempat duduknya, ia menghampiriku dan memeluk tubuh ini seraya menangis sesegukan. Ini adalah pertama kalinya Ibu Indah Soray