"Kamu sedang tidak bercanda, kan Mas?" ujarku masih tidak percaya."Tidak, Al. Untuk apa aku bercanda dengan kematian? Amira memang sudah tidak ada. Dan sebagai suaminya, aku ingin memohon maaf atas nama dia kepadamu. Maafkan, Amira."Aku meneguk ludah dengan sangat susah. Sungguh, aku masih belum percaya jika Amira adalah salah satu korban dalam kecelakaan tersebut. Pantaslah wajah kedua orang yang ada di depanku itu terlihat berbeda. Mungkin luka-luka itu bekas dari kecelakaan yang mereka alami. "Al, apa kamu tidak bersedia memaafkan Amira?" "Tentu, Mas. Tentu saja aku memaafkannya. Aku juga minta maaf, jika mungkin selama aku kenal dengan kalian, ada kata-kata dariku yang menyakiti hati. Ibu, maafkan Alina, mungkin dulu Alina tidak menjadi menantu yang baik untuk Ibu," ujarku memandang wanita paruh baya itu seraya menangkupkan tangan. Ibu beringsut dari tempat duduknya, ia menghampiriku dan memeluk tubuh ini seraya menangis sesegukan. Ini adalah pertama kalinya Ibu Indah Soray
Waktu terus berjalan, pernikahanku dan Adi akan segera digelar. Seperti kesepakatan yang sudah disetujui, akad nikah akan dilaksanakan di rumah Papa dengan tamu undangan hanya dua ratus orang saja. Dibagi rata antara rekan Papa dan Om Gunawan, juga temanku dan Adi. Kenapa bisa terjadi kesepakatan seperti ini? Karena Adi yang meminta. Ia tidak mau terlalu lama jadi pajangan yang harus tersenyum kepada tamu undangan. Adi juga tidak mau mengadakan resepsi mewah yang hanya akan mempertontonkan kecacatan dia kepada orang banyak. Permintaan Adi sangat menguntungkanku. Seperti dia, aku pun memiliki pemikiran yang sama. Namun, aku sama sekali tidak pernah berpikir jika Adi itu cacat. Dia sempurna, hanya sedang tidak sehat saja. Jika sudah waktunya, nanti pun akan sembuh dan bisa berjalan seperti dulu. "Aduh." Aku berhenti melangkah saat kaki ini tersandung sofa yang tiba-tiba pindah ke depan tangga. Semua orang sibuk. Memindahkan, mengemasi barang-barang agar rumah menjadi luas. Wedd
"Halo," ucapku menempelkan ponsel ke telinga. "Rindu," ujar pria di sebrang sana. "Salah sambung, Tuan. Namaku Alina, bukan Rindu. Yang namanya Rindu, sudah meninggal tiga minggu yang lalu," ujarku seraya mengulum senyum."Aku merindukan wanita pemilik suara ini, bukan mencari wanita bernama Rindu."Aku terkekeh. Kemudian kaki tanpa alas ini melangkah ke arah balkon. Membuka pintu kaca hingga udara sejuk kurasakan dari luar sana. "Al.""Apa?" jawabku. "Bagaimana dengan jantungmu? Yang di sini selalu berdebar, tidak sabar menunggu hari esok.""Masa? Aku biasa saja," ucapku berbohong. Dia tidak tahu, jika sebenarnya aku pun merasakan detak yang tidak biasa dari jantung ini. Seperti ada genderang yang ditabuh berirama di dalam sana. "Ah, dasar bohong. Jujur saja, jika kamu pun sedang merasa deg-degan. Atau jangan-jangan ... kamu sudah tidak sabar untuk ritual esok malam?" "Ritual esok malam? Ritual apa?" tanyaku menahan senyum seraya menyandarkan punggung pada pintu kaca. "Ritual
Aku pernah berjanji untuk tidak ingin menikah lagi. Namun, janji tinggal janji. Ternyata takdir Tuhan lebih nyata daripada sebuah kata yang keluar dari bibir yang sedang terluka. Sakitnya dikhianati membuat diri ini enggan mengenal pria mana pun. Hingga akhirnya sebuah takdir membawaku pada jalan yang begitu indah. Dipertemukan dengan jodoh yang tidak pernah aku sangkakan sebelumnya. Seorang pria yang aku tahu abdi dalam keluargaku, ternyata jodoh selanjutnya yang Allah pilihkan untukku. Tanganku dingin, dadaku tak hentinya berdetak kala suara penghulu terdengar memberikan nasihat pernikahan pada calon suamiku. Di sini, di kamar pribadiku, aku diam dengan jantung yang terus berdetak kencang. Menanti saat-saat paling menegangkan di mana Adi akan mengucapkan kata bersejarah yang akan mengubah statusku dan dirinya. "Minum, Mbak." Naima yang selalu setia bersamaku memberikan air mineral padaku. Aku mengisapnya sedikit, lalu menyimpan minuman kemasan itu di meja. Gugupku tak kunjung
"Adi, titip Alina, ya? Jagain dia, seperti kamu menjaga dia saat menjadi supirnya dulu," tutur Mama dengan berlinang air mata. Saat ini, kami sedang berkumpul, duduk lesehan di ruang tengah yang belum sepenuhnya dibereskan. Dekorasi masih melekat dan akan dibersihkan esok hari. "Mama, kami akan pergi besok, bukan sekarang. Kok, malah nangis. Lagian, kan jaraknya deket banget dari sini ke rumah kami," ucapku seraya mengambil tisu, lalu memberikannya kepada Mama yang sedari tadi memeluk pundakku. Adi dan Bang Aldi hanya diam dengan senyum saja melihat Mama yang merasa berat aku keluar dari rumah ini. "Iya, tahu. Tapi, rasanya sedih aja ditinggal anak. Apalagi baru sebentar banget kamu tinggal di sini. Sekarang sudah mau pergi lagi." "Ibu, bisa kapan saja datang ke rumah kami.""Ibu, ibu! Mama! Aku ini mertuamu, bukan majikanmu!" tutur Mama menyanggah ucapan Adi masih dengan berderai air mata. Kami yang melihat itu malah tertawa. Entah kenapa melihat Mama marah sambil menangis mala
Malam ini aku tidak lagi tidur sendiri, ataupun berdua dengan Saffa. Ada dia yang mengisi ruang kosong di sebelahku. Kami berbaring saling berhadapan, saling menatap wajah satu sama lain. Padahal jam sudah menunjukkan dini hari, tapi mata ini tak kunjung terpejam. Sama denganku, Adi pun demikian. Entah apa yang mengganggu pikiran kami hingga kantuk tak jua datang."Al, belum ngantuk?" tanyanya masih enggan berpaling. Aku menggelengkan kepala masih menatap lurus kedua manik hitam milik lelaki di depanku itu. "Kok, bisa, ya kita tidak mengantuk. Padahal, tadi kita lelah sekali mengikuti rangkaian acara pernikahan," ujarnya lagi. "Aku tidak tahu. Mungkin karena belum terbiasa kita berada dalam ranjang sama.""Benar hanya itu? Atau ... karena malam ini kita melewati ritual pengantin baru?"Aku mengerucutkan bibir ke arahnya. Adi menggeser sedikit tubuhnya, meraih pinggangku lalu memeluknya dengan lembut. Kini wajahku berada tepat di dadanya, merasakan detak jantung yang seirama deng
Bersama kedua orang tua serta bapak mertua, aku pergi meninggalkan rumah Papa menuju rumah aku dan Adi. Sepanjang perjalanan, Saffa terus mengoceh membuat Mama semakin berat untuk jauh dari putriku itu. Sengaja, Mama ikut dengan mobil Adi karena ingin selalu dekat dengan Saffa. Membiarkan Papa dengan Om Gunawan menggunakan mobil lain. Papa Gun, ah aku selalu lupa dengan panggilan mertuaku itu. "Apa rumah kita memiliki halaman yang luas?" tanyaku pada Adi. "Ya, sangat cocok untuk bermain sepeda Saffa."Aku bergelayut manja di lengan Adi yang kemudian tangan Adi berpindah menjadi memelukku. Aku dan dia seperti pasangan pengantin pada umumnya. Bermesraan, bersenda gurau, hingga melupakan sesuatu. Tidak ingat jika saat ini kami masih berada di dalam mobil. Lima belas menit perjalanan, kami sudah sampai di depan rumah berlantai satu dengan suasana yang baru. Aku memindai bangunan rumah yang didominasi dengan cat warna putih. Benar kata Adi, halamannya luas, rumputnya tebal dan empuk
Puas menyerangku dengan segala jurus, kini Saffa kembali jinak. Dia tengah menikmati cemilan seraya menonton kartun di televisi. Satu persatu bantal sofa yang berserakan di lantai aku pungut, menyimpannya kembali pada tempat semula. "Ekhem." Adi berdehem saat aku melewati dia tanpa bicara. Sebenarnya aku sebal sekali pada laki-laki itu. Gara-gara dia, aku jadi dikira vampir yang akan menghisap darahnya. Padahal, bukan seperti itu cerita yang sebenarnya. Tadi ... ah, malu sekali jika harus dibahas. "Sayang ....""Apa?" jawab Saffa menoleh pada Adi. Aku yang tahu panggilan itu bukan untuk gadisku, memilih abai pura-pura tidak tahu. "Bukan pada Saffa, tapi pada Mama," ujar Adi meluruskan kesalahpahaman. "Oh." Saffa menjawab singkat. "Al," panggil Adi lagi. Aku menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada layar datar di depan sana. Adi yang menyadari jika aku tengah marah, langsung mendekat dengan menyeret kedua kakinya. Setelah berada di sampingku, Adi membisikkan kata maaf dengan