"Adi, titip Alina, ya? Jagain dia, seperti kamu menjaga dia saat menjadi supirnya dulu," tutur Mama dengan berlinang air mata. Saat ini, kami sedang berkumpul, duduk lesehan di ruang tengah yang belum sepenuhnya dibereskan. Dekorasi masih melekat dan akan dibersihkan esok hari. "Mama, kami akan pergi besok, bukan sekarang. Kok, malah nangis. Lagian, kan jaraknya deket banget dari sini ke rumah kami," ucapku seraya mengambil tisu, lalu memberikannya kepada Mama yang sedari tadi memeluk pundakku. Adi dan Bang Aldi hanya diam dengan senyum saja melihat Mama yang merasa berat aku keluar dari rumah ini. "Iya, tahu. Tapi, rasanya sedih aja ditinggal anak. Apalagi baru sebentar banget kamu tinggal di sini. Sekarang sudah mau pergi lagi." "Ibu, bisa kapan saja datang ke rumah kami.""Ibu, ibu! Mama! Aku ini mertuamu, bukan majikanmu!" tutur Mama menyanggah ucapan Adi masih dengan berderai air mata. Kami yang melihat itu malah tertawa. Entah kenapa melihat Mama marah sambil menangis mala
Malam ini aku tidak lagi tidur sendiri, ataupun berdua dengan Saffa. Ada dia yang mengisi ruang kosong di sebelahku. Kami berbaring saling berhadapan, saling menatap wajah satu sama lain. Padahal jam sudah menunjukkan dini hari, tapi mata ini tak kunjung terpejam. Sama denganku, Adi pun demikian. Entah apa yang mengganggu pikiran kami hingga kantuk tak jua datang."Al, belum ngantuk?" tanyanya masih enggan berpaling. Aku menggelengkan kepala masih menatap lurus kedua manik hitam milik lelaki di depanku itu. "Kok, bisa, ya kita tidak mengantuk. Padahal, tadi kita lelah sekali mengikuti rangkaian acara pernikahan," ujarnya lagi. "Aku tidak tahu. Mungkin karena belum terbiasa kita berada dalam ranjang sama.""Benar hanya itu? Atau ... karena malam ini kita melewati ritual pengantin baru?"Aku mengerucutkan bibir ke arahnya. Adi menggeser sedikit tubuhnya, meraih pinggangku lalu memeluknya dengan lembut. Kini wajahku berada tepat di dadanya, merasakan detak jantung yang seirama deng
Bersama kedua orang tua serta bapak mertua, aku pergi meninggalkan rumah Papa menuju rumah aku dan Adi. Sepanjang perjalanan, Saffa terus mengoceh membuat Mama semakin berat untuk jauh dari putriku itu. Sengaja, Mama ikut dengan mobil Adi karena ingin selalu dekat dengan Saffa. Membiarkan Papa dengan Om Gunawan menggunakan mobil lain. Papa Gun, ah aku selalu lupa dengan panggilan mertuaku itu. "Apa rumah kita memiliki halaman yang luas?" tanyaku pada Adi. "Ya, sangat cocok untuk bermain sepeda Saffa."Aku bergelayut manja di lengan Adi yang kemudian tangan Adi berpindah menjadi memelukku. Aku dan dia seperti pasangan pengantin pada umumnya. Bermesraan, bersenda gurau, hingga melupakan sesuatu. Tidak ingat jika saat ini kami masih berada di dalam mobil. Lima belas menit perjalanan, kami sudah sampai di depan rumah berlantai satu dengan suasana yang baru. Aku memindai bangunan rumah yang didominasi dengan cat warna putih. Benar kata Adi, halamannya luas, rumputnya tebal dan empuk
Puas menyerangku dengan segala jurus, kini Saffa kembali jinak. Dia tengah menikmati cemilan seraya menonton kartun di televisi. Satu persatu bantal sofa yang berserakan di lantai aku pungut, menyimpannya kembali pada tempat semula. "Ekhem." Adi berdehem saat aku melewati dia tanpa bicara. Sebenarnya aku sebal sekali pada laki-laki itu. Gara-gara dia, aku jadi dikira vampir yang akan menghisap darahnya. Padahal, bukan seperti itu cerita yang sebenarnya. Tadi ... ah, malu sekali jika harus dibahas. "Sayang ....""Apa?" jawab Saffa menoleh pada Adi. Aku yang tahu panggilan itu bukan untuk gadisku, memilih abai pura-pura tidak tahu. "Bukan pada Saffa, tapi pada Mama," ujar Adi meluruskan kesalahpahaman. "Oh." Saffa menjawab singkat. "Al," panggil Adi lagi. Aku menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada layar datar di depan sana. Adi yang menyadari jika aku tengah marah, langsung mendekat dengan menyeret kedua kakinya. Setelah berada di sampingku, Adi membisikkan kata maaf dengan
"Nela!" Aku melambaikan tangan saat wanita itu menoleh. "Alina? Hey, kamu apa kabar? Ya Allah ... tambah cantik aja kamu, Lin?" ujar Nela temanku saat dulu bekerja di pabrik. "Baik, Nel. Kamu apa kabar?" balasku langsung memeluk temanku itu. "Eh, ini Saffa? Lucu sekali anakmu, Lin." Nela mengusap pipi Saffa yang hanya diam saja. Nela tidak datang sendiri, ia bersama anaknya juga. Sepertinya dia pun sedang berbelanja. "Iya, ini anakku. Kamu belanja apa?" "Ah, biasalah ini. Beli beberapa makanan ringan buat anak. Ya Allah ... gak nyangka banget kamu masih mau negur aku, Lin. Anaknya, bos." Aku mencebikkan bibir tidak suka dengan ucapan dia. Teman, ya teman. Apa pun statusku, seberapa tinggi pun kastaku, tidak akan pernah bersikap sombong dan melupakan orang yang pernah ada di saat aku dalam kesulitan. Dulu, Nela bahkan lebih sering membantuku. Dari mulai materi dan bantuan lainnya. Aku dan Nela berjalan bersamaan menuju kasir sambil mengobrol banyak hal. Kata Nela, pabrik sema
"Sini, aku bantu keringkan rambutnya," tutur Adi mengambil pengering rambut dariku.Aku mengambil serum, lalu menuangkannya ke telapak tangan kemudian mengaplikasikannya ke wajah. Sementara Adi masih mengeringkan rambutku. "Kalau nanti Mama nanya, kenapa kita lama di sini? Aku harus jawab apa?" ujarku dengan mata tetap ke arah cermin. Dari pantulan cermin, kulihat Adi melirikku, kemudian kembali fokus pada rambutku yang sudah setengah kering. "Bilang saja apa adanya," celetuk Adi membuatku menoleh ke arahnya. Dia nyengir memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan bersih. Aku mendelikkan mata kembali melihat cermin. Tidak mungkin aku harus mengatakan hal yang akan membuatku malu. Tahu, masih pengantin baru. Tapi, tidak harus sejujur itu mengatakan yang terjadi pada orang lain. Setelah rambutku kering, aku dan Adi keluar dari kamar. Menghampiri Mama yang masih asik dengan permainan yang membuat Saffa terus tersenyum bahagia. "Mah, Mama beneran akan menginap di sini?" ujarku ak
"Sayang, hari ini Dokter Burhan akan datang, aku akan melakukan terapi lagi dengannya. Gimana menurutmu?" Tangan ini masih bergerak melipat selimut dan merapikan tempat tidur, tapi bibirku terkatup sempurna. Mendengar nama Dokter Burhan, tiba-tiba saja ingatanku kembali pada saat-saat di mana aku dan dia belum menikah. Permasalahan waktu itu, kesalahpahaman waktu itu masih terekam jelas oleh benakku. "Sayangku Alina, kok diam saja? Kamu keberatan?" ujar Adi kembali bertanya. Aku duduk di pinggir ranjang, melihat dia yang tengah menyisir rambutnya yang basah. Aku mendekat ke arahnya, mengambil sisir itu lalu merapikan rambutnya. "Aku tidak keberatan, tapi takut ada sesuatu dengan ini." Aku menyentuh dada bagian kiri.Adi paham maksudku. Dia meraih tanganku, lalu digenggamnya. "Kamu temani aku. Jika ada kamu, Dokter Burhan juga tidak akan menyuruh putrinya untuk memegangiku," ujarnya kemudian. "Lagian, ya kenapa juga itu dokter harus bawa putrinya segala? Emang, dia tidak punya k
"Kamu apakan dia, Al, sampai lari-lari begitu?" tanya Adi saat wanita bernama Maya sudah tidak terlihat lagi."Tidak aku apa-apakan, cuma dibisikan kata-kata mutiara saja," jawabku santai. Kemudian aku masuk ke dalam rumah seraya membawa gelas bekas kopi yang tadi diminum Maya.Aku langsung mencucinya, agar sisa-sisa kegatalan dari tangan wanita itu menghilang. Tidak lupa, aku juga membuatkan kopi baru untuk Adi.Saat kaki ini hampir sampai di pintu depan, kudengar ada suara lain selain suamiku. Aku mempercepat langkah, dan akhirnya aku bisa melihat ada tamu yang datang. Tidak hanya satu orang, melainkan dua orang sekaligus. "Oh, ada tamu rupanya?" ucapku seraya menyimpan gelas pada meja. Seorang pria seumuran Papa, juga wanita muda menoleh ke arahku. Beberapa saat mata ini bersitatap dengan wanita yang waktu itu memeluk suamiku. Aku tersenyum padanya seraya mengulurkan tangan. "Saya Alina, istrinya Adi," ucapku memperkenalkan diri. "Kamila," ucap wanita itu dengan lembut. Aku