"Menurut saya, perawan atau janda sama saja, Dok. Karena jaman sekarang, wanita yang belum pernah menikah belum tentu masih perawan, 'kan? Betul, gak Dokter Burhan?" Adi melempar pertanyaan kepada ayah dari Dokter Kamila. Dokter Burhan yang mendengar itu, hanya tersenyum simpul. Pria berambut putih itu mengambil satu gelas air putih, lalu menegaknya hingga habis setengah. "Betul, sih Pak Adi. Tapi ... rasanya sayang sekali seorang Adikara Wijaya pengusaha muda, harus mendapatkan istri yang bekas pria lain. Punya anak, pula. Saya hanya bercanda, ya Pak Adi," ujar Dokter Burhan diakhiri dengan tawa. Adi pun ikut tertawa, tapi aku di sini merasa terhina. Semenjijikkan itukah seorang janda di mata Dokter Burhan, hingga dengan sadar dia membandingkan diriku dengan sebuah barang yang dia sebut bekas? Dengan menahan gejolak di dalam dada, aku melangkah ke arah mereka. Menyimpan beberapa cemilan di atas meja, menyuguhkannya pada mereka. "Silahkan dinikmati," ucapku dengan hati yang sakit
Hening.Tidak ada lagi suara Adi yang membujukku. Dia sudah keluar dari dalam kamar saat Saffa putriku memanggilnya. Aku mengangkat kepala seraya beringsut duduk. Jujur saja, aku masih kecewa pada dia yang tidak membelaku di depan dokternya tadi. Entah rasa tak enak hati, atau karena memang tidak peduli. Namun, menurutku itu sudah keterlaluan. Aku menyayangkan sikap Adi, juga ucapan seorang dokter yang tidak menggambarkan kecerdasan yang dimilikinya. Beberapa saat berdiam diri, aku memutuskan untuk keluar dari kamar. Namun, tidak aku lihat Adi dan Saffa di ruang tengah. "Ke mana mereka?" tanyaku pada diri sendiri. Aku berjalan ke depan, tapi tidak ada Saffa di ruang tamu. Di luar rumah, pun tidak ada. Aku memutuskan untuk mencari putriku ke kamarnya. Saat aku membuka pintu kamar, ternyata benar saja, dia ada di sana bersama ... Adi. Suamiku tengah mendandani putriku. Jika kulihat, sepertinya Saffa baru saja selesai mandi. Terlihat ada handuk yang teronggok di kasur, juga bedak
Beberapa saat berjalan, aku disapa dengan ramah oleh orang-orang yang kami lewati. Tidak jarang, kami harus berhenti sejenak untuk berjabat tangan seraya menyebutkan nama. Saat kami berhenti, Maya juga ikut berhenti. Dan saat melanjutkan langkah, dia pun tidak ingin ketinggalan. Rasanya aku ingin menyandung kakinya hingga terjatuh mencium aspal, tapi sepertinya itu terlalu kejam."Eh, Maya! Mau ke mana kamu?!" teriak seorang wanita dari dalam warung. Merasa ada yang memanggil, Maya menghentikan langkah, lalu menghampiri wanita yang mungkin adalah temannya itu. Huft! Akhirnya aku bisa bernapas lega karena tidak ada lagi yang mengganggu perjalanan kami. "Kamu, tuh kalau punya temen, yang warasan dikitlah. Masa, yang gitu kamu jadiin kawan," ujar Adi diakhiri kekehan. Aku langsung mencubit pundak Adi hingga suamiku itu mengaduh. "Itu penggemar kamu, ya. Hem ... seneng, punya fans berat. Mas Adi ... nanti Maya ke rumah, ya ...," ujarku menirukan logat bicara Maya yang mendayu. Sua
Aku melirik ibu dari anak yang namanya Saffa sebut seperti pengharum ruangan. Ada raut tidak suka dari wanita seumuranku itu. Dia juga langsung menarik tangan putrinya untuk menjauh dari Saffa. "Maaf, ya Bu? Saffa memang ceplas-ceplos," tuturku dengan merendahkan diri. Bukannya menjawab maafku, wanita itu langsung pergi seraya membawa putrinya. Aku semakin tidak enak hati dengan sikapnya, tapi tidak bisa menyalahkan putriku. Dia masih kecil, apa yang dia lontarkan, itu yang dia tahu dan pikiran. Tidak mungkin juga aku harus memarahi Saffa di depan orang seperti ini. "Duh, saya jadi tidak enak. Mbak Diana, sampaikan permohonan maaf saya pada ibunya Stella, ya?" ujarku meminta tolong. "Sudah, tidak usah dipikirkan, dia memang seperti itu orangnya. Suka ikut-ikutan. Anak yang berantem, dia yang lawanin. Dah, gak papa, santai saja," ujar Rahma ibunya Syakila.Diana pun membenarkan apa yang dikatakan Rahma. Namun, rasa tak enak hati masih menyelimuti. Rasanya sangat tidak nyaman karen
Saat sampai di rumah, ternyata benar saja. Papa Gun sudah menunggu kami di teras rumah ditemani Aris dan supir pribadinya. Ia langsung berdiri saat melihat kami datang. "Loh, kenapa cucu Kakek, nangis?" tanya Papa Gun langsung berjongkok di depan Adi. "Biasalah, Pah. Anak-anak mah gini, suka tidak mau pulang kalau sudah main," jawab Adi pada papanya itu. "Maklumin, kamu juga dulu gitu. Main dari pagi, hampir maghrib baru pulang. Tapi, Saffa mah enggak boleh, ya? Harus pulang tepat waktu," ujar Papa Gun lagi seraya mengusap-usap pipi Saffa yang masih nempel di dada Adi. Aku membuka pintu, mempersilahkan Papa Gun masuk ke dalam rumah kami. Aku juga membuatkan teh manis kesukaan mertuaku itu, juga dua kopi hitam untuk dua supir pribadi yang tengah mengobrol di luar. "Makasih, Bu. Padahal, kopi mah di paviliun juga ada," ujar Aris. "Tidak apa-apa, Ris. Sekalian. Oh, iya kemarin saya beli banyak daging, kalau mau, saya ambilkan. Suka makan daging, kan?" "Boleh, Bu. Terserah Ibu saja
"Em ... Adi ... ingin tahu dulu siapa wanita beruntung yang disukai Papa."Papa Gun manggut-manggut mendengar jawaban dari anaknya. Bisa kulihat wajah kecewa dari orang tua itu. Meskipun sedikit, tapi mungkin dia menyimpan harapan besar pada putranya itu. Diizinkan untuk menikah lagi adalah harapannya. Sebaliknya, wajah tidak rela justru diperlihatkan Adi. Suamiku mungkin belum meridhoi jika papanya akan mencintai wanita lain dan melupakan ibunya. Tidak lama setelah pembahasan serius itu, Papa Gun berpamitan pulang. Dia berjanji akan segera memperkenalkan wanita yang disukainya kepada kami. Aku menyambut hangat rencana itu meskipun reaksi biasa saja diperlihatkannya suamiku. "Mas, kenapa?" tanyaku setelah Papa Gun sudah pulang. "Apanya yang kenapa?" Adi balik bertanya. "Kenapa tidak mengijinkan Papa menikah lagi?" Aku beringsut duduk lebih dekat dengan Adi. Kutatap wajah suamiku, mencari jawaban yang dari pertanyaanku."Aku akan mengijinkan, tapi ingin tahu dulu wanita itu. Juju
"Mbak Alina, tadi saya lihat Maya keluar dari sini. Habis ngapain dia?" tanya wanita yang kebetulan lewat depan rumahku. "Tahulah itu wanita, Bu. Katanya lampu kamar mandinya mati, minta suami saya bantu benerin. Kan, suami saya enggak bisa berdiri, bagiamana mana mau bantu, coba.""Ya Allah, Mbak ... jangan ditanggepin. Si Maya, mah suka halu. Namanya juga enggak ini ....""Enggak apa, Mbak?" tanyaku semakin penasaran. "Enggak seratus persen normal.""Apanya yang enggak normal?" tanyaku lagi. Wanita dengan balutan gamis rayon itu mendekatiku, dan berbisik di telingaku. "Dia setres.""Hah, beneran?!" ujarku tidak percaya. "Semua orang di kompleks sini mah udah gak asing lagi dengan tingkah laku dia, Mbak. Katanya, dulu dia sempat gagal nikah, terus akhirnya nikah sama seorang pria, dan akhirnya ditinggalin sama lakinya. Makanya, setiap ada penghuni baru laki-laki, dia suka deketin. Padahal enggak beneran suka atau apa gitu, ya. Cuma main-main doang. Kayak anak kecil dia mah. Seha
"Selamat menikmati, Kak," ujar pramusaji saat menghidangkan makanan di mejaku. Aku mengangguk dengan senyum, namun pikiranku masih memikirkan apa yang mata ini lihat di luar tadi. Papa dan ibu. Rasa sesak langsung hadir saat membayangkan akan kembali berhubungan dengan mantan mertuaku itu. Meskipun sudah saling memaafkan, tapi untuk kembali menjalin hubungan sebagai keluarga dekat, sepertinya sulit untukku. Bukannya aku masih menyimpan dendam, tapi sisa luka itu masih ada di dalam hatiku. Dan tidak akan dengan mudah untuk menghapus ingatan tentang masa itu. "Mama, minum." Aku mengambil jus alpukat tanpa es yang aku pesankan untuk Saffa, lalu memberikannya kepada putriku itu. "Om Papa, masih lama, Mah?" tanya Saffa seraya melihat pada Adi yang berada di meja lain. Suamiku itu tengah membahas bisnis dengan rekan kerjanya. Aku yang tidak ingin mengganggu mereka, memilih duduk di meja yang berada tidak jauh dari mereka. "Sebentar lagi, Sayang. Saffa makan dulu aja, nanti Papa aka