Saat sampai di rumah, ternyata benar saja. Papa Gun sudah menunggu kami di teras rumah ditemani Aris dan supir pribadinya. Ia langsung berdiri saat melihat kami datang. "Loh, kenapa cucu Kakek, nangis?" tanya Papa Gun langsung berjongkok di depan Adi. "Biasalah, Pah. Anak-anak mah gini, suka tidak mau pulang kalau sudah main," jawab Adi pada papanya itu. "Maklumin, kamu juga dulu gitu. Main dari pagi, hampir maghrib baru pulang. Tapi, Saffa mah enggak boleh, ya? Harus pulang tepat waktu," ujar Papa Gun lagi seraya mengusap-usap pipi Saffa yang masih nempel di dada Adi. Aku membuka pintu, mempersilahkan Papa Gun masuk ke dalam rumah kami. Aku juga membuatkan teh manis kesukaan mertuaku itu, juga dua kopi hitam untuk dua supir pribadi yang tengah mengobrol di luar. "Makasih, Bu. Padahal, kopi mah di paviliun juga ada," ujar Aris. "Tidak apa-apa, Ris. Sekalian. Oh, iya kemarin saya beli banyak daging, kalau mau, saya ambilkan. Suka makan daging, kan?" "Boleh, Bu. Terserah Ibu saja
"Em ... Adi ... ingin tahu dulu siapa wanita beruntung yang disukai Papa."Papa Gun manggut-manggut mendengar jawaban dari anaknya. Bisa kulihat wajah kecewa dari orang tua itu. Meskipun sedikit, tapi mungkin dia menyimpan harapan besar pada putranya itu. Diizinkan untuk menikah lagi adalah harapannya. Sebaliknya, wajah tidak rela justru diperlihatkan Adi. Suamiku mungkin belum meridhoi jika papanya akan mencintai wanita lain dan melupakan ibunya. Tidak lama setelah pembahasan serius itu, Papa Gun berpamitan pulang. Dia berjanji akan segera memperkenalkan wanita yang disukainya kepada kami. Aku menyambut hangat rencana itu meskipun reaksi biasa saja diperlihatkannya suamiku. "Mas, kenapa?" tanyaku setelah Papa Gun sudah pulang. "Apanya yang kenapa?" Adi balik bertanya. "Kenapa tidak mengijinkan Papa menikah lagi?" Aku beringsut duduk lebih dekat dengan Adi. Kutatap wajah suamiku, mencari jawaban yang dari pertanyaanku."Aku akan mengijinkan, tapi ingin tahu dulu wanita itu. Juju
"Mbak Alina, tadi saya lihat Maya keluar dari sini. Habis ngapain dia?" tanya wanita yang kebetulan lewat depan rumahku. "Tahulah itu wanita, Bu. Katanya lampu kamar mandinya mati, minta suami saya bantu benerin. Kan, suami saya enggak bisa berdiri, bagiamana mana mau bantu, coba.""Ya Allah, Mbak ... jangan ditanggepin. Si Maya, mah suka halu. Namanya juga enggak ini ....""Enggak apa, Mbak?" tanyaku semakin penasaran. "Enggak seratus persen normal.""Apanya yang enggak normal?" tanyaku lagi. Wanita dengan balutan gamis rayon itu mendekatiku, dan berbisik di telingaku. "Dia setres.""Hah, beneran?!" ujarku tidak percaya. "Semua orang di kompleks sini mah udah gak asing lagi dengan tingkah laku dia, Mbak. Katanya, dulu dia sempat gagal nikah, terus akhirnya nikah sama seorang pria, dan akhirnya ditinggalin sama lakinya. Makanya, setiap ada penghuni baru laki-laki, dia suka deketin. Padahal enggak beneran suka atau apa gitu, ya. Cuma main-main doang. Kayak anak kecil dia mah. Seha
"Selamat menikmati, Kak," ujar pramusaji saat menghidangkan makanan di mejaku. Aku mengangguk dengan senyum, namun pikiranku masih memikirkan apa yang mata ini lihat di luar tadi. Papa dan ibu. Rasa sesak langsung hadir saat membayangkan akan kembali berhubungan dengan mantan mertuaku itu. Meskipun sudah saling memaafkan, tapi untuk kembali menjalin hubungan sebagai keluarga dekat, sepertinya sulit untukku. Bukannya aku masih menyimpan dendam, tapi sisa luka itu masih ada di dalam hatiku. Dan tidak akan dengan mudah untuk menghapus ingatan tentang masa itu. "Mama, minum." Aku mengambil jus alpukat tanpa es yang aku pesankan untuk Saffa, lalu memberikannya kepada putriku itu. "Om Papa, masih lama, Mah?" tanya Saffa seraya melihat pada Adi yang berada di meja lain. Suamiku itu tengah membahas bisnis dengan rekan kerjanya. Aku yang tidak ingin mengganggu mereka, memilih duduk di meja yang berada tidak jauh dari mereka. "Sebentar lagi, Sayang. Saffa makan dulu aja, nanti Papa aka
Malam telah berganti siang. Ayam jantan milik tetangga terdengar berkokok membangunkan. Perlahan, mataku terbuka dan menampakkan wajah tampan di sebelahku. Beberapa kali aku mengerjapkan mata, memperjelas penglihatan memandang dia yang tengah duduk bersandar pada kepala ranjang. "Mas, ada apa?" tanyaku akhirnya. Adi menoleh dengan raut wajah yang entah kenapa. Aku langsung bangun, kemudian duduk masih enggan mengalihkan pandangan darinya. "Kenapa?" tanyaku lagi saat suamiku itu hanya bergeming. Matanya kembali fokus ke bawah, dan ....Kaki? Adi mencubiti kakinya sendiri. "Mas, ada apa? Kenapa dicubit?" tanyaku lagi semakin ingin tahu. "Kakiku, Al.""Iya, aku tahu itu kakimu. Kenapa dengan kakimu?" "Lihat itu, Al." Bukannya menjawab pertanyaanku, Adi malah menunjuk ujung kakinya yang .... Aku membulatkan mata melihat jari jemari kaki Adi yang bergerak. "Mas!" seruku langsung menyibak selimut. Aku meraba jari-jari yang masih bergerak. Lebih tepatnya digerakan Adi. "Mas, ini s
Aku tertegun saat tahu siapa yang datang. Pandangan kuarahkan pada Adi yang menghampiriku di ambang pintu. Pria itu tersenyum ramah pada dua orang yang datang pagi-pagi ke rumah kami. "Mas, menyuruh Dokter Burhan ke sini?" tanyaku seraya melihat Adi dengan pandangan yang membingungkan. "Ah, iya, Sayang. Tadi aku menghubungi Dokter Burhan mengabarkan soal kakiku ini. Maaf, aku lupa bilang."Aku tersenyum masam ke arah Adi, lalu pura-pura ramah pada dua orang yang sama sekali tidak aku sukai itu. Entahlah, meskipun mereka dokter dan punya pendidikan tinggi, aku sama sekali tidak menyukai keduanya. Terlebih, dengan ucapannya yang membuatku sakit hati kala itu. "Silahkan masuk, Dokter," ujarku kemudian. Aku berjalan mendahului mereka, lalu mengambil alat pel yang masih berada di ruang tamu. Membawanya ke belakang dengan hati yang dongkol. Di sini aku merasa, Adi tidak menganggapku ada. Kenapa dia tidak mengatakan padaku jika akan memanggil Dokter Burhan? Aku menarik napas dalam-dal
Aku langsung duduk di samping Adi setelah menyimpan cemilan di atas meja. "Apa ada yang salah? Atau lipstikku belepotan? Kenapa mereka melihatku dengan begitu?" bisikku di telinga Adi. Adi mengambil tanganku, lalu melirik diri ini dengan seulas senyum. "Karena kamu cantik, Istriku. Aku jatuh cinta berkali lipat padamu."Ah, indah sekali kata-kata itu. Apalagi pemandangan di sana membuatku semakin memanjakan mata. Kamila. Wanita itu menundukkan kepala dengan wajah yang ditekuk. "Dokter Kamila, sakit? Saya lihat Anda kurang bersemangat pagi ini," ucapku sedikit mengangkat dagu seraya menyilangkan kaki. Wanita yang kutanya itu hanya menggeleng dengan memberikan seulas senyum tipis. Senyum terpaksa lebih tepatnya. Dokter Burhan memulai terapinya setelah tadi Adi menolak Dokter Kamila yang melakukannya. Aku hanya memperhatikan dengan sesekali mencuri pandang pada wanita yang juga sering mencuri pandang suamiku. Oh, Tuhan ... rasanya aku ingin menyiram wajah itu dengan air. Tapi, t
"Itu artinya, Bu Alina menentang poligami?""Kapan saya mengatakan itu?" Aku menatap mata Dokter Kamila dengan mengerutkan kening. "Saya, tidak mengharamkan apa yang diperbolehkan agama saya. Poligami, boleh. Tapi saya tidak mau dipoligami," lanjutku memperjelas. Dokter Kamila mengangguk-anggukan kepalanya. Pandangan kembali dia arahkan pada tanaman hias, tidak menatapku yang dia ajak bicara. Sudah sangat jelas, jika Dokter Kamila memang mencari celah untuk bisa masuk ke dalam kehidupanku. Namun, aku tidak akan sedikit pun memberikan jalan untuknya. Aku pernah baik hati yang berakhir sakit hati. Akan tetapi tidak untuk kehidupanku yang sekarang. Masa lalu sudah mengajarkanku menjadi kuat dan harus bisa melawan. Bukan menangis meratapi nasib diri yang dikhianati. "Saya, permisi masuk dulu, Bu Alina. Sepertinya Papa sudah selesai dengan Pak Adi.""Silahkan, Dokter," ujarku dengan merentangkan tangan ke arah pintu masuk. Lalu aku diam saja di luar? Oh, tidak! Aku mengikuti langkah