Aku langsung duduk di samping Adi setelah menyimpan cemilan di atas meja. "Apa ada yang salah? Atau lipstikku belepotan? Kenapa mereka melihatku dengan begitu?" bisikku di telinga Adi. Adi mengambil tanganku, lalu melirik diri ini dengan seulas senyum. "Karena kamu cantik, Istriku. Aku jatuh cinta berkali lipat padamu."Ah, indah sekali kata-kata itu. Apalagi pemandangan di sana membuatku semakin memanjakan mata. Kamila. Wanita itu menundukkan kepala dengan wajah yang ditekuk. "Dokter Kamila, sakit? Saya lihat Anda kurang bersemangat pagi ini," ucapku sedikit mengangkat dagu seraya menyilangkan kaki. Wanita yang kutanya itu hanya menggeleng dengan memberikan seulas senyum tipis. Senyum terpaksa lebih tepatnya. Dokter Burhan memulai terapinya setelah tadi Adi menolak Dokter Kamila yang melakukannya. Aku hanya memperhatikan dengan sesekali mencuri pandang pada wanita yang juga sering mencuri pandang suamiku. Oh, Tuhan ... rasanya aku ingin menyiram wajah itu dengan air. Tapi, t
"Itu artinya, Bu Alina menentang poligami?""Kapan saya mengatakan itu?" Aku menatap mata Dokter Kamila dengan mengerutkan kening. "Saya, tidak mengharamkan apa yang diperbolehkan agama saya. Poligami, boleh. Tapi saya tidak mau dipoligami," lanjutku memperjelas. Dokter Kamila mengangguk-anggukan kepalanya. Pandangan kembali dia arahkan pada tanaman hias, tidak menatapku yang dia ajak bicara. Sudah sangat jelas, jika Dokter Kamila memang mencari celah untuk bisa masuk ke dalam kehidupanku. Namun, aku tidak akan sedikit pun memberikan jalan untuknya. Aku pernah baik hati yang berakhir sakit hati. Akan tetapi tidak untuk kehidupanku yang sekarang. Masa lalu sudah mengajarkanku menjadi kuat dan harus bisa melawan. Bukan menangis meratapi nasib diri yang dikhianati. "Saya, permisi masuk dulu, Bu Alina. Sepertinya Papa sudah selesai dengan Pak Adi.""Silahkan, Dokter," ujarku dengan merentangkan tangan ke arah pintu masuk. Lalu aku diam saja di luar? Oh, tidak! Aku mengikuti langkah
Aku tersenyum seraya menunjuk ke luar di mana benar-benar ada yang datang ke sini seraya berteriak kencang. Buru-buru aku berjalan menghampiri pintu untuk melihat kurir yang datang. "Atas nama Bapak Adikara Wijaya?" tanya pria itu saat tahu aku keluar dari pintu. "Betul, Mas.""Ini paketnya." Aku menyambut uluran tangannya, mengambil barang yang dia berikan untukku. Si kurir langsung pergi setelah aku berucap terima kasih padanya. "Mas, ini walkernya dah datang, nih. Aku buka, ya?" ujarku memperlihatkan benda yang dibungkus bubble wrap berwarna hitam. "Buka aja, Sayang. Aku juga gak sabar ingin memakainya," tutur Adi tak kalah antusias dariku. Aku merobek bubble wrap yang membalut benda itu hingga tidak ada lagi yang menempel pada bagian walker. Aku juga membuka lipatan walker hingga bisa berdiri dengan tegak. "Mas, cobain sini. Eh, ini bener gini bukan, sih?" Aku memindai benda itu dari semua penjuru. Takutnya ada yang salah, dan malah membuat suamiku jatuh nantinya. "Udah be
"Hey .... Cucuku datang!"Mama berseru senang saat aku dan Saffa turun dari mobil. Tadi, setelah membereskan kekacauan yang dibuat Saffa dan menyelesaikan pekerjaan rumah yang tertunda, Adi dapat kabar jika dia harus ke pabrik karena ada sedikit masalah di sana. Daripada aku dan Saffa berdua di rumah, aku meminta Adi untuk mengantarkan kami ke rumah Mama terlebih dahulu sebelum dia ke pabrik. Dan sekarang, di sinilah kami berada. Di depan rumah besar milik kedua orang tuaku. "Hai, Sayang. Aduh ... rindu sekali Oma sama Saffa. Cucu Omah, sehat?" ujar Mama seraya mengusap pipi Saffa, sampai ke lengan. Aku hanya tersenyum melihat itu. Lalu berbalik badan melihat suamiku yang masih berada di dalam mobil. "Mas, tidak mau turun dulu?" tanyaku. "Tidak bisa, Sayang. Aku harus segera ke pabrik."Aku membulatkan mulut seraya mengangguk paham. Mama menghampiriku yang masih berada di samping mobil. Dia melongok melihat ke dalam, di mana ada suamiku di sana. "Mah, titip Alina sama Saffa be
"Ada sesuatu yang mengejutkan, Mah. Ini soal Papa Gun. Waktu itu dia datang ke rumah, dan meminta ijin kepada kami untuk menikah lagi.""Hah, serius kamu? Gun mau nikah? Ini berita besar, nih. Si Papa harus tahu, Al. Apa jangan-jangan Papa tahu, tapi enggak cerita pada Mama, ya?" ujar Mama sangat antusias. Dia menggeser piring yang ada di depannya, lalu mengambil gelas berisikan air. "Terus, kamu sudah ketemu sama calonnya? Gimana menurut kamu, dia seumuran siapa? seumuran Mama, atau jangan-jangan seumuran kamu?" tanya Mama lagi lebih ingin tahu. Aku mengembuskan napas kasar. Sebenarnya enggan membahas ini, tapi mudah-mudahan Mama bisa membantu untuk menyadarkan Papa Gun akan pilihannya. "Wanita itu ... Ibu Indah Soraya, Mah."Mama langsung membulatkan mata. Air minum yang sudah masuk ke dalam mulut, hampir saja keluar dan menyembur ke wajahku. Namun, Mama menahannya dengan telapak tangan, lalu dia berdiri dan berjalan ke arah wastafel. Mama terbatuk di sana seraya memuntahkan air
"Ketemu gak, Al?" Teriakan Bang Aldi dari luar membuatku buru-buru menutup kembali kotak berisikan kerudung itu. Aku keluar dari kamar Bang Aldi dengan membawa serta kotak berwarna merah muda berisikan satu set perhiasan. "Ada, Bang. Bagus banget ini," ujarku seraya berjalan menghampiri mereka. "Suka?" tanya abangku lagi. "Suka, Bang. Saaaangat suka. Makasih, Abang." Aku langsung menghambur ke pelukan pria yang usianya lebih tua lima tahun dariku itu. Hangat pelukannya seperti Papa, dan usapan lembut tangannya sama seperti Mama. Bang Aldi kakak terbaik yang aku miliki. Dia selalu membelaku, menjadi tempat berlindung di saat aku kena marah Mama. Tubuhnya yang tinggi, menjadi tempatku bersembunyi. Wataknya yang pemberani selalu mengakui kesalahanku menjadi kesalahannya. "Ih, kok gak adil, ya? Masa, Adiknya dikasih perhiasan, tapi Mamanya enggak. Gimana, sih si Abang, suka pilih kasih, deh," tutur Mama seraya mengambil kotak tersebut dariku. Mama mengeluarkan kotak perhiasan dar
Kulihat jam dinding sudah pukul pukul lima. Papa sudah pulang dari rutinitasnya di luar rumah. Begitu pun Bang Aldi yang tadi sempat pergi ke pabrik sepatu miliknya. Saat tengah duduk di sofa depan televisi seraya menemani Saffa yang tidur di sana, ponselku berdering. Aku mengambil benda pipih itu lalu menempelkannya ke telinga. "Halo, Pah," ucapku. "Alina di mana? Papa sedang di rumah kamu, tapi rumah kosong. Adi juga tidak mengangkat telepon dari Papa, apa kalian sedang bersama?" ujar Papa Gun dari sebrang sana. "Enggak, Pah. Aku sedang di rumah Mama, dan Mas Adi tadi pamit ke pabrik. Mungkin masih meeting kali, Pah. Jadi, gak bisa dihubungi."Terdengar helaan napas dari sebrang sana. Panggilan pun terputus setelah aku mengatakan akan pulang sekarang juga. Namun, sebelumnya aku mengirimkan pesan terlebih dahulu pada Adi untuk memberitahukan padanya jika aku dan Saffa pulang terlebih dahulu. "Mah, Alina pulang dulu, ya?" ujarku menghampiri Mama yang tengah menemani Papa di meja
"Namanya Indah, Papa menyukainya sejak lama, tapi ragu untuk mengutarakan perasaan ini padanya. Apalagi, kamu yang belum mendapatkan pendamping pada saat itu. Sekarang, kamu sudah punya pasangan, teman hidup yang kamu idamkan. Jadi ... boleh, dong Papa menikah?" "Tidak boleh!" "Tidak boleh!" Aku dan Adi berseru bersamaan. Setelahnya, kami saling pandang menyadari ucapan yang terlontar, dan pasti membuat pria di depan kami kecewa. Papa Gun mengangguk-anggukkan kepalanya seraya tangan yang mengusap wajah dengan lesu. "Ya, tak apa. Mungkin Papa memang ditakdirkan hidup sendiri sampai akhir hidup nanti," ucapnya kemudian. Setelah drama ikan goreng yang menggigit jari Saffa, kami langsung menikmati hidangan yang ada di meja makan itu. Makan bersama, seraya bercengkrama menggoda putriku yang tadi jadi perhatian. Usai makan, kami kembali ke ruang tengah untuk berbincang serius. Di mana, Papa Gun kembali mengutarakan keinginannya untuk menikah. Jawaban yang kami berikan sungguh me
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan