"Sini, aku bantu keringkan rambutnya," tutur Adi mengambil pengering rambut dariku.Aku mengambil serum, lalu menuangkannya ke telapak tangan kemudian mengaplikasikannya ke wajah. Sementara Adi masih mengeringkan rambutku. "Kalau nanti Mama nanya, kenapa kita lama di sini? Aku harus jawab apa?" ujarku dengan mata tetap ke arah cermin. Dari pantulan cermin, kulihat Adi melirikku, kemudian kembali fokus pada rambutku yang sudah setengah kering. "Bilang saja apa adanya," celetuk Adi membuatku menoleh ke arahnya. Dia nyengir memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan bersih. Aku mendelikkan mata kembali melihat cermin. Tidak mungkin aku harus mengatakan hal yang akan membuatku malu. Tahu, masih pengantin baru. Tapi, tidak harus sejujur itu mengatakan yang terjadi pada orang lain. Setelah rambutku kering, aku dan Adi keluar dari kamar. Menghampiri Mama yang masih asik dengan permainan yang membuat Saffa terus tersenyum bahagia. "Mah, Mama beneran akan menginap di sini?" ujarku ak
"Sayang, hari ini Dokter Burhan akan datang, aku akan melakukan terapi lagi dengannya. Gimana menurutmu?" Tangan ini masih bergerak melipat selimut dan merapikan tempat tidur, tapi bibirku terkatup sempurna. Mendengar nama Dokter Burhan, tiba-tiba saja ingatanku kembali pada saat-saat di mana aku dan dia belum menikah. Permasalahan waktu itu, kesalahpahaman waktu itu masih terekam jelas oleh benakku. "Sayangku Alina, kok diam saja? Kamu keberatan?" ujar Adi kembali bertanya. Aku duduk di pinggir ranjang, melihat dia yang tengah menyisir rambutnya yang basah. Aku mendekat ke arahnya, mengambil sisir itu lalu merapikan rambutnya. "Aku tidak keberatan, tapi takut ada sesuatu dengan ini." Aku menyentuh dada bagian kiri.Adi paham maksudku. Dia meraih tanganku, lalu digenggamnya. "Kamu temani aku. Jika ada kamu, Dokter Burhan juga tidak akan menyuruh putrinya untuk memegangiku," ujarnya kemudian. "Lagian, ya kenapa juga itu dokter harus bawa putrinya segala? Emang, dia tidak punya k
"Kamu apakan dia, Al, sampai lari-lari begitu?" tanya Adi saat wanita bernama Maya sudah tidak terlihat lagi."Tidak aku apa-apakan, cuma dibisikan kata-kata mutiara saja," jawabku santai. Kemudian aku masuk ke dalam rumah seraya membawa gelas bekas kopi yang tadi diminum Maya.Aku langsung mencucinya, agar sisa-sisa kegatalan dari tangan wanita itu menghilang. Tidak lupa, aku juga membuatkan kopi baru untuk Adi.Saat kaki ini hampir sampai di pintu depan, kudengar ada suara lain selain suamiku. Aku mempercepat langkah, dan akhirnya aku bisa melihat ada tamu yang datang. Tidak hanya satu orang, melainkan dua orang sekaligus. "Oh, ada tamu rupanya?" ucapku seraya menyimpan gelas pada meja. Seorang pria seumuran Papa, juga wanita muda menoleh ke arahku. Beberapa saat mata ini bersitatap dengan wanita yang waktu itu memeluk suamiku. Aku tersenyum padanya seraya mengulurkan tangan. "Saya Alina, istrinya Adi," ucapku memperkenalkan diri. "Kamila," ucap wanita itu dengan lembut. Aku
"Menurut saya, perawan atau janda sama saja, Dok. Karena jaman sekarang, wanita yang belum pernah menikah belum tentu masih perawan, 'kan? Betul, gak Dokter Burhan?" Adi melempar pertanyaan kepada ayah dari Dokter Kamila. Dokter Burhan yang mendengar itu, hanya tersenyum simpul. Pria berambut putih itu mengambil satu gelas air putih, lalu menegaknya hingga habis setengah. "Betul, sih Pak Adi. Tapi ... rasanya sayang sekali seorang Adikara Wijaya pengusaha muda, harus mendapatkan istri yang bekas pria lain. Punya anak, pula. Saya hanya bercanda, ya Pak Adi," ujar Dokter Burhan diakhiri dengan tawa. Adi pun ikut tertawa, tapi aku di sini merasa terhina. Semenjijikkan itukah seorang janda di mata Dokter Burhan, hingga dengan sadar dia membandingkan diriku dengan sebuah barang yang dia sebut bekas? Dengan menahan gejolak di dalam dada, aku melangkah ke arah mereka. Menyimpan beberapa cemilan di atas meja, menyuguhkannya pada mereka. "Silahkan dinikmati," ucapku dengan hati yang sakit
Hening.Tidak ada lagi suara Adi yang membujukku. Dia sudah keluar dari dalam kamar saat Saffa putriku memanggilnya. Aku mengangkat kepala seraya beringsut duduk. Jujur saja, aku masih kecewa pada dia yang tidak membelaku di depan dokternya tadi. Entah rasa tak enak hati, atau karena memang tidak peduli. Namun, menurutku itu sudah keterlaluan. Aku menyayangkan sikap Adi, juga ucapan seorang dokter yang tidak menggambarkan kecerdasan yang dimilikinya. Beberapa saat berdiam diri, aku memutuskan untuk keluar dari kamar. Namun, tidak aku lihat Adi dan Saffa di ruang tengah. "Ke mana mereka?" tanyaku pada diri sendiri. Aku berjalan ke depan, tapi tidak ada Saffa di ruang tamu. Di luar rumah, pun tidak ada. Aku memutuskan untuk mencari putriku ke kamarnya. Saat aku membuka pintu kamar, ternyata benar saja, dia ada di sana bersama ... Adi. Suamiku tengah mendandani putriku. Jika kulihat, sepertinya Saffa baru saja selesai mandi. Terlihat ada handuk yang teronggok di kasur, juga bedak
Beberapa saat berjalan, aku disapa dengan ramah oleh orang-orang yang kami lewati. Tidak jarang, kami harus berhenti sejenak untuk berjabat tangan seraya menyebutkan nama. Saat kami berhenti, Maya juga ikut berhenti. Dan saat melanjutkan langkah, dia pun tidak ingin ketinggalan. Rasanya aku ingin menyandung kakinya hingga terjatuh mencium aspal, tapi sepertinya itu terlalu kejam."Eh, Maya! Mau ke mana kamu?!" teriak seorang wanita dari dalam warung. Merasa ada yang memanggil, Maya menghentikan langkah, lalu menghampiri wanita yang mungkin adalah temannya itu. Huft! Akhirnya aku bisa bernapas lega karena tidak ada lagi yang mengganggu perjalanan kami. "Kamu, tuh kalau punya temen, yang warasan dikitlah. Masa, yang gitu kamu jadiin kawan," ujar Adi diakhiri kekehan. Aku langsung mencubit pundak Adi hingga suamiku itu mengaduh. "Itu penggemar kamu, ya. Hem ... seneng, punya fans berat. Mas Adi ... nanti Maya ke rumah, ya ...," ujarku menirukan logat bicara Maya yang mendayu. Sua
Aku melirik ibu dari anak yang namanya Saffa sebut seperti pengharum ruangan. Ada raut tidak suka dari wanita seumuranku itu. Dia juga langsung menarik tangan putrinya untuk menjauh dari Saffa. "Maaf, ya Bu? Saffa memang ceplas-ceplos," tuturku dengan merendahkan diri. Bukannya menjawab maafku, wanita itu langsung pergi seraya membawa putrinya. Aku semakin tidak enak hati dengan sikapnya, tapi tidak bisa menyalahkan putriku. Dia masih kecil, apa yang dia lontarkan, itu yang dia tahu dan pikiran. Tidak mungkin juga aku harus memarahi Saffa di depan orang seperti ini. "Duh, saya jadi tidak enak. Mbak Diana, sampaikan permohonan maaf saya pada ibunya Stella, ya?" ujarku meminta tolong. "Sudah, tidak usah dipikirkan, dia memang seperti itu orangnya. Suka ikut-ikutan. Anak yang berantem, dia yang lawanin. Dah, gak papa, santai saja," ujar Rahma ibunya Syakila.Diana pun membenarkan apa yang dikatakan Rahma. Namun, rasa tak enak hati masih menyelimuti. Rasanya sangat tidak nyaman karen
Saat sampai di rumah, ternyata benar saja. Papa Gun sudah menunggu kami di teras rumah ditemani Aris dan supir pribadinya. Ia langsung berdiri saat melihat kami datang. "Loh, kenapa cucu Kakek, nangis?" tanya Papa Gun langsung berjongkok di depan Adi. "Biasalah, Pah. Anak-anak mah gini, suka tidak mau pulang kalau sudah main," jawab Adi pada papanya itu. "Maklumin, kamu juga dulu gitu. Main dari pagi, hampir maghrib baru pulang. Tapi, Saffa mah enggak boleh, ya? Harus pulang tepat waktu," ujar Papa Gun lagi seraya mengusap-usap pipi Saffa yang masih nempel di dada Adi. Aku membuka pintu, mempersilahkan Papa Gun masuk ke dalam rumah kami. Aku juga membuatkan teh manis kesukaan mertuaku itu, juga dua kopi hitam untuk dua supir pribadi yang tengah mengobrol di luar. "Makasih, Bu. Padahal, kopi mah di paviliun juga ada," ujar Aris. "Tidak apa-apa, Ris. Sekalian. Oh, iya kemarin saya beli banyak daging, kalau mau, saya ambilkan. Suka makan daging, kan?" "Boleh, Bu. Terserah Ibu saja
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan