Aku pernah berjanji untuk tidak ingin menikah lagi. Namun, janji tinggal janji. Ternyata takdir Tuhan lebih nyata daripada sebuah kata yang keluar dari bibir yang sedang terluka. Sakitnya dikhianati membuat diri ini enggan mengenal pria mana pun. Hingga akhirnya sebuah takdir membawaku pada jalan yang begitu indah. Dipertemukan dengan jodoh yang tidak pernah aku sangkakan sebelumnya. Seorang pria yang aku tahu abdi dalam keluargaku, ternyata jodoh selanjutnya yang Allah pilihkan untukku. Tanganku dingin, dadaku tak hentinya berdetak kala suara penghulu terdengar memberikan nasihat pernikahan pada calon suamiku. Di sini, di kamar pribadiku, aku diam dengan jantung yang terus berdetak kencang. Menanti saat-saat paling menegangkan di mana Adi akan mengucapkan kata bersejarah yang akan mengubah statusku dan dirinya. "Minum, Mbak." Naima yang selalu setia bersamaku memberikan air mineral padaku. Aku mengisapnya sedikit, lalu menyimpan minuman kemasan itu di meja. Gugupku tak kunjung
"Adi, titip Alina, ya? Jagain dia, seperti kamu menjaga dia saat menjadi supirnya dulu," tutur Mama dengan berlinang air mata. Saat ini, kami sedang berkumpul, duduk lesehan di ruang tengah yang belum sepenuhnya dibereskan. Dekorasi masih melekat dan akan dibersihkan esok hari. "Mama, kami akan pergi besok, bukan sekarang. Kok, malah nangis. Lagian, kan jaraknya deket banget dari sini ke rumah kami," ucapku seraya mengambil tisu, lalu memberikannya kepada Mama yang sedari tadi memeluk pundakku. Adi dan Bang Aldi hanya diam dengan senyum saja melihat Mama yang merasa berat aku keluar dari rumah ini. "Iya, tahu. Tapi, rasanya sedih aja ditinggal anak. Apalagi baru sebentar banget kamu tinggal di sini. Sekarang sudah mau pergi lagi." "Ibu, bisa kapan saja datang ke rumah kami.""Ibu, ibu! Mama! Aku ini mertuamu, bukan majikanmu!" tutur Mama menyanggah ucapan Adi masih dengan berderai air mata. Kami yang melihat itu malah tertawa. Entah kenapa melihat Mama marah sambil menangis mala
Malam ini aku tidak lagi tidur sendiri, ataupun berdua dengan Saffa. Ada dia yang mengisi ruang kosong di sebelahku. Kami berbaring saling berhadapan, saling menatap wajah satu sama lain. Padahal jam sudah menunjukkan dini hari, tapi mata ini tak kunjung terpejam. Sama denganku, Adi pun demikian. Entah apa yang mengganggu pikiran kami hingga kantuk tak jua datang."Al, belum ngantuk?" tanyanya masih enggan berpaling. Aku menggelengkan kepala masih menatap lurus kedua manik hitam milik lelaki di depanku itu. "Kok, bisa, ya kita tidak mengantuk. Padahal, tadi kita lelah sekali mengikuti rangkaian acara pernikahan," ujarnya lagi. "Aku tidak tahu. Mungkin karena belum terbiasa kita berada dalam ranjang sama.""Benar hanya itu? Atau ... karena malam ini kita melewati ritual pengantin baru?"Aku mengerucutkan bibir ke arahnya. Adi menggeser sedikit tubuhnya, meraih pinggangku lalu memeluknya dengan lembut. Kini wajahku berada tepat di dadanya, merasakan detak jantung yang seirama deng
Bersama kedua orang tua serta bapak mertua, aku pergi meninggalkan rumah Papa menuju rumah aku dan Adi. Sepanjang perjalanan, Saffa terus mengoceh membuat Mama semakin berat untuk jauh dari putriku itu. Sengaja, Mama ikut dengan mobil Adi karena ingin selalu dekat dengan Saffa. Membiarkan Papa dengan Om Gunawan menggunakan mobil lain. Papa Gun, ah aku selalu lupa dengan panggilan mertuaku itu. "Apa rumah kita memiliki halaman yang luas?" tanyaku pada Adi. "Ya, sangat cocok untuk bermain sepeda Saffa."Aku bergelayut manja di lengan Adi yang kemudian tangan Adi berpindah menjadi memelukku. Aku dan dia seperti pasangan pengantin pada umumnya. Bermesraan, bersenda gurau, hingga melupakan sesuatu. Tidak ingat jika saat ini kami masih berada di dalam mobil. Lima belas menit perjalanan, kami sudah sampai di depan rumah berlantai satu dengan suasana yang baru. Aku memindai bangunan rumah yang didominasi dengan cat warna putih. Benar kata Adi, halamannya luas, rumputnya tebal dan empuk
Puas menyerangku dengan segala jurus, kini Saffa kembali jinak. Dia tengah menikmati cemilan seraya menonton kartun di televisi. Satu persatu bantal sofa yang berserakan di lantai aku pungut, menyimpannya kembali pada tempat semula. "Ekhem." Adi berdehem saat aku melewati dia tanpa bicara. Sebenarnya aku sebal sekali pada laki-laki itu. Gara-gara dia, aku jadi dikira vampir yang akan menghisap darahnya. Padahal, bukan seperti itu cerita yang sebenarnya. Tadi ... ah, malu sekali jika harus dibahas. "Sayang ....""Apa?" jawab Saffa menoleh pada Adi. Aku yang tahu panggilan itu bukan untuk gadisku, memilih abai pura-pura tidak tahu. "Bukan pada Saffa, tapi pada Mama," ujar Adi meluruskan kesalahpahaman. "Oh." Saffa menjawab singkat. "Al," panggil Adi lagi. Aku menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada layar datar di depan sana. Adi yang menyadari jika aku tengah marah, langsung mendekat dengan menyeret kedua kakinya. Setelah berada di sampingku, Adi membisikkan kata maaf dengan
"Nela!" Aku melambaikan tangan saat wanita itu menoleh. "Alina? Hey, kamu apa kabar? Ya Allah ... tambah cantik aja kamu, Lin?" ujar Nela temanku saat dulu bekerja di pabrik. "Baik, Nel. Kamu apa kabar?" balasku langsung memeluk temanku itu. "Eh, ini Saffa? Lucu sekali anakmu, Lin." Nela mengusap pipi Saffa yang hanya diam saja. Nela tidak datang sendiri, ia bersama anaknya juga. Sepertinya dia pun sedang berbelanja. "Iya, ini anakku. Kamu belanja apa?" "Ah, biasalah ini. Beli beberapa makanan ringan buat anak. Ya Allah ... gak nyangka banget kamu masih mau negur aku, Lin. Anaknya, bos." Aku mencebikkan bibir tidak suka dengan ucapan dia. Teman, ya teman. Apa pun statusku, seberapa tinggi pun kastaku, tidak akan pernah bersikap sombong dan melupakan orang yang pernah ada di saat aku dalam kesulitan. Dulu, Nela bahkan lebih sering membantuku. Dari mulai materi dan bantuan lainnya. Aku dan Nela berjalan bersamaan menuju kasir sambil mengobrol banyak hal. Kata Nela, pabrik sema
"Sini, aku bantu keringkan rambutnya," tutur Adi mengambil pengering rambut dariku.Aku mengambil serum, lalu menuangkannya ke telapak tangan kemudian mengaplikasikannya ke wajah. Sementara Adi masih mengeringkan rambutku. "Kalau nanti Mama nanya, kenapa kita lama di sini? Aku harus jawab apa?" ujarku dengan mata tetap ke arah cermin. Dari pantulan cermin, kulihat Adi melirikku, kemudian kembali fokus pada rambutku yang sudah setengah kering. "Bilang saja apa adanya," celetuk Adi membuatku menoleh ke arahnya. Dia nyengir memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan bersih. Aku mendelikkan mata kembali melihat cermin. Tidak mungkin aku harus mengatakan hal yang akan membuatku malu. Tahu, masih pengantin baru. Tapi, tidak harus sejujur itu mengatakan yang terjadi pada orang lain. Setelah rambutku kering, aku dan Adi keluar dari kamar. Menghampiri Mama yang masih asik dengan permainan yang membuat Saffa terus tersenyum bahagia. "Mah, Mama beneran akan menginap di sini?" ujarku ak
"Sayang, hari ini Dokter Burhan akan datang, aku akan melakukan terapi lagi dengannya. Gimana menurutmu?" Tangan ini masih bergerak melipat selimut dan merapikan tempat tidur, tapi bibirku terkatup sempurna. Mendengar nama Dokter Burhan, tiba-tiba saja ingatanku kembali pada saat-saat di mana aku dan dia belum menikah. Permasalahan waktu itu, kesalahpahaman waktu itu masih terekam jelas oleh benakku. "Sayangku Alina, kok diam saja? Kamu keberatan?" ujar Adi kembali bertanya. Aku duduk di pinggir ranjang, melihat dia yang tengah menyisir rambutnya yang basah. Aku mendekat ke arahnya, mengambil sisir itu lalu merapikan rambutnya. "Aku tidak keberatan, tapi takut ada sesuatu dengan ini." Aku menyentuh dada bagian kiri.Adi paham maksudku. Dia meraih tanganku, lalu digenggamnya. "Kamu temani aku. Jika ada kamu, Dokter Burhan juga tidak akan menyuruh putrinya untuk memegangiku," ujarnya kemudian. "Lagian, ya kenapa juga itu dokter harus bawa putrinya segala? Emang, dia tidak punya k
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan