"Tuh, Mamanya Saffa datang. Duduk sini, Al." Mama menepuk kursi yang berdekatan dengannya dan Saffa. Aku menghampiri Mama, duduk di kursi meja makan seraya memindai wajah-wajah di sekelilingku.Wajah cerah berseri dengan senyum yang selalu menghiasi bibir merah itu membuatku terpaku. Seorang wanita cantik tanpa cela dalam parasnya menjadi tujuan utamaku. Kak Rindu. Dia duduk diapit dua lelaki yang melengkapi hidupnya. Bang Aldi dan Damar. Aku tidak menyuruh Kak Rindu untuk mengundang pria itu, tapi dialah yang berinisiatif untuk mengajaknya datang malam ini. Suatu kehormatan bagiku, dan suatu keharmonisan yang sebentar lagi akan berakhir malam ini. Ah, dadaku tiba-tiba sesak jika harus membayangkan kehancuran Bang Aldi saat tahu istrinya berkhianat. Namun, aku harus tega dengan tetap membongkar kebusukan mereka. Aku tidak rela jika makhluk itu mempermainkan perasaan abangku. "Terima kasih Bapak, Ibu dan adiknya Kak Rindu yang sudah datang untuk memenuhi undangan makan malam ini,
Semua orang memandangku tak mengerti. Hingga akhirnya, muncullah gambar-gambar tak senonoh Kak Rindu dan Damar yang nampak jelas terlihat di layar televisi. "A–apa-apaan itu, Al?" Bang Aldi tergagap. Wajah Kak Rindu pucat pasi, dadanya naik turun dengan mulut yang menganga. "Jangan tanyakan padaku, Bang. Tanyakan itu pada istrimu. Dia menjodohkanku dengan pria yang tak lain adalah kekasihnya. Tujuannya? Agar mereka bisa semakin bebas bertemu kapan saja jika pria itu berhasil menikahiku, menjadi bagian dari keluarga kita," ujarku seraya menatap dua wajah yang seperti maling tertangkap basah. "Rindu!" "Enggak, Pah. Ini bohong. Ini editan!" ujar Kak Rindu saat ayahnya berdiri dengan tatapan nyalang pada anak pertamanya itu. "Rindu, kamu mengkhianatiku?" "Enggak, Bang. Itu rekayasa Alina agar kita berpisah. Dia iri dengan keharmonisan rumah tangga kita." Kak Rindu membela diri. Aku tidak bicara. Namun, tanganku lincah memindahkan foto ke video. Mata mereka semakin membulat ketika
Jarak antara parkiran rumah sakit ke ruang rawat Adi begitu terasa jauh. Aku lari, tapi seperti jalan santai. Kakiku sangat berat untuk melangkah, padahal ingin segera sampai untuk membuktikan foto yang diberikan Om Gunawan tadi. Aku langsung meninggalkan rumah ketika dapat kabar tadi. Bahkan, aku belum menemui Bang Aldi yang tengah dirundung kepiluan akibat terbongkarnya rahasia Kak Rindu. Sampai di depan pintu kamar Adi, aku tidak langsung masuk. Berdiri seraya mengatur napas yang tersenggal akibat lari dari luar. Setelah beberapa kali aku menarik napas seraya menyeka keringat yang membasahi dahi, aku pun mulai menempelkan telapak tangan pada knop pintu. Menekannya perlahan dan ... pintu terbuka. Aku masuk ke dalam ruangan yang ternyata sedang ada dua dokter dan beberapa perawat yang mengelilingi ranjang Adi. Ingin aku menyingkirkan mereka untuk bisa melihat pria yang beberapa hari ini tidak sadarkan diri. Tapi, itu tidak mungkin. Mereka sangat dibutuhkan oleh Adi. Tentunya mer
"Sebentar, saja. Aku janji, nanti akan bangun lagi. Kamu jangan ke mana-mana, ya?" ujar Adi yang kemudian memejamkan matanya. Satu menit sangat terasa lama ketika dihantui rasa takut. Tanpa aku sadari, aku malah ikut terlelap dengan kepala yang kusimpan di samping tubuh Adi. Usapan di kepala akhirnya membuatku sadar. Aku mengangkat kepala, lalu mengucek mata untuk menajamkan penglihatan. Senyumku terbit saat tahu itu tangan Adi yang mengusap rambutku. "Kamu sudah bangun, Di? Maaf, jadi aku yang ketiduran," ujarku memperbaiki letak dudukku."Sudah malam. Pulang, gih. Kasihan Saffa di rumah."Aku melihat jam yang menempel di dinding. Mataku membulat saat ternyata waktu sudah menunjukkan tengah malam. Rasanya baru sebentar aku di sini, tapi waktu sudah sangat larut. Tanpa aku sadari juga, ternyata Om Gunawan sudah kembali, bahkan dia sudah terlelap di sofa panjang bawah jam dinding. "Ini sudah malam, Di. Aku gak berani pulang sekarang.""Kamu datang ke sini sendirian?" tanya Adi ter
Kabut hitam begitu terlihat jelas dari mata pria berhidung bangir itu. Wajah cerah yang semalam banyak menyunggingkan senyum manis, kini tak nampak lagi. Apalagi alasannya kalau bukan tentang berita yang dia dengar pagi ini. Semalam pun, Adi sudah merasakan ada yang tidak beres pada kedua kakinya. Tidak ada rasa dan sulit untuk digerakan. Namun, dia masih berpikir positif. Mungkin akibat benturan dari kecelakaan itu, dan juga akibat terlalu lama didiamkan selama koma kemarin. Ternyata, kenyataannya lebih mengagetkan. Adi harus mengalami kelumpuhan akibat benturan keras yang membuat otot-otot kakinya menjadi kaku dan lemah. Meskipun kata dokter tidak bersifat permanen dan bisa disembuhkan dengan terapi dan obat-obatan, tapi waktu menuju sembuh memang membutuhkan waktu yang lama, juga kesabaran dan ketelatenan dalam menjalani perawatan. "Di, kok diam saja. Mau makan, gak?" ujarku mulai membuka percakapan. Tidak ada siapa-siapa di sini. Hanya ada aku dan Adi. Kedua orang tua kami dan
Hari ini aku tidak menginap di rumah sakit. Aku pulang setelah Om Gunawan datang dengan beberapa rekan bisnis Adi. Tidak enak terus berada di sana dengan orang-orang yang tidak kukenal, aku pun berpamitan untuk pulang. Namun, aku tidak langsung pergi ke rumah. Memilih untuk pergi ke kafe yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit. Memanjakan mata sebentar, sembari menikmati makanan yang ada di tempat ini. Mataku terpaku pada sepasang wanita dan pria yang tengah menikmati makanan di depan mejaku. Si wanita dengan telaten menyuapi seorang pria yang duduk di kursi roda dengan tangan dan kaki yang kecil. Jika harus aku menebak, mungkin pria itu terkena stroke. Bibirnya pun tidak seperti orang pada umumnya. Terlihat miring ke kiri yang membuat sebagian makanan sulit untuk masuk ke dalam mulut. Tulus sekali wanita itu mengurus pria yang mungkin suaminya. Dia bahkan tidak malu membawa pasangannya itu ke tempat umum seperti ini. "Apa aku akan bisa sabar seperti wanita itu, jika nanti menik
"Alina ....""Jangan tolak aku! Aku tidak menerima penolakan, Di," ujarku langsung mengangkat kepala, menatapnya penuh harap. Adi mengulum senyum, dan detik kemudian ia tertawa lebar hingga Saffa melihatnya dengan bingung. "Adi, malah ketawa. Jawab, dong," ujarku lagi menarik selimut yang menutupi kakinya. "Aku harus jawab apa?" "Jawab iya, aku mau. Plis jangan tolak aku, Di. Aku bakalan malu seumur hidup. Kalau kamu bilang gak mau, aku terjun dari lantai tiga ini.""Eh, kok ngancam? Ngelamar, kok maksa," ujar Adi semakin terbahak. Bagiamana gak maksa, aku sudah melepaskan urat malu yang ada di seluruh tubuh ini untuk merangkai kata menjadi sebuah kalimat yang sangat begitu berat untuk diungkapkan. Dan dia, malah terus tertawa seolah-olah ucapanku adalah komedi penghibur hati. Aku diam seraya menekuk wajah. Mata ini menatap pria yang memakai baju rumah sakit dengan bengis. Melihat tatapanku, Adi langsung menghentikan tawanya. Ia berdehem, lalu memindahkan posisi Saffa yang tadi
"Mau!""Eh!" Aku berseru kaget seraya menoleh ke arah pintu yang terbuka. Om Gunawan, dia masuk sembari berseru menjawab pertanyaan Adi yang ditujukan padaku. Tentu saja, hal itu membuat suasana menjadi canggung. Adi yang tadi memasang wajah serius, kini malah cengengesan seraya menyugar rambutnya yang mulai gondrong. Setali tiga uang dengan Adi, aku pun dibuat salah tingkah karena malu ketahuan dilamar di rumah sakit. Menyebalkan. Om Gun membuat suasana romantis menjadi mistis. "Kok, diam, Al? Jawab, dong," ujar Om Gunawan mencolek pundakku seraya menjatuhkan bokongnya pada ujung ranjang. Bukannya menjawab, aku malah mengusap wajah yang mulai terasa menghangat. Entah seperti apa rupa kedua pipiku saat ini. Seperti udang rebuskah, atau seperti tomat masak? "Papa, sih malah masuk dulu. Jadinya, gak romantis lagi, 'kan?" "Geregetan, Papa melihat kalian ini. Udah sama-sama dewasa, tapi masih malu-malu mengakui perasaan. Udahlah, nunggu apa lagi. Nikah aja," ujar Om Gunawan menjawa