"Apa hatimu masih belum terbuka untuknya, Al?" Aku mengembuskan napas kasar mendengar pertanyaan Mama. Pandangan kami lurus ke depan. Pada dua manusia beda jenis kelamin, juga beda usia. Saffa dan Adi yang sedang bermain sepeda di halaman rumah. Aku menarik kedua kakiku yang menjuntai ke tanah. Melipat keduanya hingga kini duduk bersila di samping Mama. Di tengah-tengah kami ada dua cangkir teh manis, satu gelas kopi, juga susu putih milik kedua orang yang asik dengan permainan mereka. Tawa Saffa menjadi candu untukku. Dan sakitnya, adalah pilu bagiku. Namun, untuk kembali menjalin hubungan pernikahan, aku masih belum bisa. Ada kepingan hati yang enggan untuk kembali utuh setelah dihancurkan. "Alina belum bisa, Mah," kataku dengan pelan. "Apa kebaikan Adi tidak sama sekali membuatmu luluh? Lihatlah, Saffa begitu bahagia bermain dengan Adi. Dia sosok ayah yang baik bagi putrimu.""Alina pun berpikir demikian, Mah. Tapi ... masalahnya ada pada hati Alina, Mah. Alina takut, jika
Hari beranjak malam. Entah kenapa hati ini merasa gelisah. Sedari kepergian Adi, pria itu sama sekali tidak menghubungiku. Semarah itu dia padaku hingga tak lagi menggangguku lewat panggilan telepon? Biasanya, Adi tidak akan semarah ini meskipun aku dengan terang-terangan menolak cintanya. Dia masih akan tetap menghubungiku, bahkan datang ke rumah. Namun, kali ini beda. Tidak ada pesan dari dia yang masuk ke ponselku. "Mama, makan kata Oma," ujar Saffa yang berdiri di ambang pintu bersama Bi Narsih.Aku mengangguk, lalu menyimpan ponsel setelah mengirimkan pesan kepada pria itu. Aneh sekali aku ini. Jika ada, aku abaikan. Tapi, jika dia menghilang, malah aku cariin. Jangan-jangan itu artinya aku sudah menaruh hati padanya? Ah, bukan. Aku hanya khawatir saja. Aku turun dari lantai dua untuk bergabung makan malam bersama keluargaku. Pemandangan romantis, tapi dramatis aku saksikan di sini. Di mana Bang Aldi dan istrinya yang saling suap dengan canda tawa yang membuatku muak. Bu
"Pah, benar Adi kecelakaan?" tanyaku menghampiri Papa yang baru saja selesai menelepon Om Gunawan. "Benar, Al. Sekarang Adi sudah dibawa ke rumah sakit. Tapi, Om Gunawan belum mengatakan kondisi Adi sekarang. Dokter masih menanganinya," tutur Papa membuat persendianku terasa lemas. "Kecelakaannya tunggal?" Mama ikut bertanya. "Ya, tunggal. Polisi juga sedang memeriksa tempat kejadian. Papa akan ke rumah sakit sekarang.""Ikut, Pah," kataku. Papa menyetujui aku ikut dengannya. Namun, tidak untuk Mama. Papa menyuruh istrinya itu untuk menjaga Saffa selama kami di rumah sakit.Aku langsung masuk ke dalam kamar, mengambil hoodie untuk menutupi kaus pendek yang aku pakai. Tas serta ponsel pun tak lupa aku bawa. Pandangan yang sedari tadi mengabur, kini mulai berjatuhan cairan bening dari sana. Rasa bersalah menyeruak semakin nyata ketika mendengar Adi kecelakaan. Mungkinkah Adi melamunkan kata-kataku yang akhirnya membuat dia tidak konsentrasi berkendara? Ya Tuhan, aku telah berdosa
Esok harinya aku kembali ke rumah sakit. Sendiri. Papa harus bekerja, dan Mama harus menjaga Saffa.Di depan ruang rawat Adi, aku melihat ada beberapa polisi yang tengah mengobrol dengan Om Gunawan. Saat aku hampir dekat pada kamar itu, bersamaan dengan para polisi berpamitan.Aku pun langsung masuk setelah dipersilahkan papa dari Adi. "Bagiamana keadaan Adi, Om?" tanyaku. Tangan ini menyimpan rantang bekal yang sengaja aku bawa dari rumah."Masih seperti semalam," jawab Om Gunawan lesu. "Oh, iya, Tadi aku lihat ada polisi. Bagiamana dengan penyelidikkannya?" "Mencengangkan, Al. Ternyata kecelakaan itu bukan murni kesalahan Adi. Tapi ... ada orang yang sengaja membuat Adi celaka."Aku tertegun. Ucapan Om Gunawan membuatku tersentak kaget. Adi dicelakai. Siapa yang berani berbuat itu?"Siapa, Om?" tanyaku kemudian. "Polisi masih terus mencari tahu pelaku itu. Dari kamera CCTV yang ada di sekitar jalan, ada satu mobil mengejar Adi dengan kecepatan tinggi. Dia terus memepet kendara
"Ayo, masuk." Usapan dipunggung menghentikan pandangan dari mobil Mas Haikal. Aku mengikuti langkah Bang Aldi yang berjalan masuk ke dalam rumah. Ternyata benar. Di ruang tamu sudah ada Mas Haikal bersama istri dan ibunya. Mereka semua menoleh ketika aku baru saja masuk dan duduk di sofa yang letaknya di depan mereka. "Ada acara apa kalian datang ke sini?" tanyaku tanpa berbasa-basi. Jangankan untuk menyambut ramah kedatangan mereka, untuk tersenyum pun rasanya bibir ini teramat berat. Apalagi setelah melihat mobil Mas Haikal barusan yang langsung membuatku curiga. "Begini, Al. Maksud dan tujuan kami datang ke sini, untuk Saffa." Mas Haikal mulai membuka suara. Keningku mengkerut tidak mengerti yang laki-laki itu katakan. "Oh, menjenguk Saffa? Alhamdulillah keadaan Saffa sudah semakin membaik," ujarku kemudian. Mas Haikal berdeham. Ia beberapa kali memperbaiki letak duduknya yang menurutku masih itu-itu saja. Di sampingnya, Amira terus mencolek bahkan mencubit lengan Mas Haika
Ketiganya terperanjat. Mareka kaget bukan hanya karena aku merusak perabot mahal itu, tapi juga tidak menyangka aku bisa melakukan hal yang kasar seperti ini. Mama dan Bang Aldi datang menghampiri. Mungkin mereka kaget juga karena mendengar suara pecahan yang begitu nyaring. "Astaghfirullah, ada apa, Al?" tanya Mama langsung mengusap bahuku yang masih berdiri dengan tatapan nyalang pada ketiga orang di depan sana. Aku tidak menjawab pertanyaan Mama. Memilih membungkukkan badan, memungut satu pecahan guci, lalu menodongkannya ke arah mereka bertiga. "Pergi kalian dari sini, atau aku akan menggores satu persatu wajah kalian!" ujarku berteriak. Dari arah belakang, Bang Aldi menarik bahuku, menenangkanku yang seperti orang kesetanan. "Tenang, Al. Ada apa?" tanya abangku itu. "Mereka ingin merebut putriku, Bang. Dia ingin mengambil Saffa!" ujarku dengan suara dan tangan yang bergetar. Emosiku sudah tidak stabil. Aku hampir kehilangan akal dan lepas kendali. Kakiku terus melangkah s
"Tuh, Mamanya Saffa datang. Duduk sini, Al." Mama menepuk kursi yang berdekatan dengannya dan Saffa. Aku menghampiri Mama, duduk di kursi meja makan seraya memindai wajah-wajah di sekelilingku.Wajah cerah berseri dengan senyum yang selalu menghiasi bibir merah itu membuatku terpaku. Seorang wanita cantik tanpa cela dalam parasnya menjadi tujuan utamaku. Kak Rindu. Dia duduk diapit dua lelaki yang melengkapi hidupnya. Bang Aldi dan Damar. Aku tidak menyuruh Kak Rindu untuk mengundang pria itu, tapi dialah yang berinisiatif untuk mengajaknya datang malam ini. Suatu kehormatan bagiku, dan suatu keharmonisan yang sebentar lagi akan berakhir malam ini. Ah, dadaku tiba-tiba sesak jika harus membayangkan kehancuran Bang Aldi saat tahu istrinya berkhianat. Namun, aku harus tega dengan tetap membongkar kebusukan mereka. Aku tidak rela jika makhluk itu mempermainkan perasaan abangku. "Terima kasih Bapak, Ibu dan adiknya Kak Rindu yang sudah datang untuk memenuhi undangan makan malam ini,
Semua orang memandangku tak mengerti. Hingga akhirnya, muncullah gambar-gambar tak senonoh Kak Rindu dan Damar yang nampak jelas terlihat di layar televisi. "A–apa-apaan itu, Al?" Bang Aldi tergagap. Wajah Kak Rindu pucat pasi, dadanya naik turun dengan mulut yang menganga. "Jangan tanyakan padaku, Bang. Tanyakan itu pada istrimu. Dia menjodohkanku dengan pria yang tak lain adalah kekasihnya. Tujuannya? Agar mereka bisa semakin bebas bertemu kapan saja jika pria itu berhasil menikahiku, menjadi bagian dari keluarga kita," ujarku seraya menatap dua wajah yang seperti maling tertangkap basah. "Rindu!" "Enggak, Pah. Ini bohong. Ini editan!" ujar Kak Rindu saat ayahnya berdiri dengan tatapan nyalang pada anak pertamanya itu. "Rindu, kamu mengkhianatiku?" "Enggak, Bang. Itu rekayasa Alina agar kita berpisah. Dia iri dengan keharmonisan rumah tangga kita." Kak Rindu membela diri. Aku tidak bicara. Namun, tanganku lincah memindahkan foto ke video. Mata mereka semakin membulat ketika