Share

Bab 45

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Berapa, Bu?"

"Seratus lima belas ribu."

Aku mengulurkan uang pada pemilik kantin. Lalu, berlalu untuk kembali ke kamar Saffa.

Sepanjang perjalanan, otakku terus berpikir tentang apa sekiranya yang terjadi di dalam kamar tadi. Jika harus menebak, mungkin dia kehilangan anak dalam kandungannya?

Aku menggelengkan kepala menepis pikiran tentang orang yang menurutku tidak penting untuk dipikirkan. Melanjutkan langkah dengan cepat takut jika putriku bangun dan mencari keberadaan ibunya ini.

Sekarang suasana di rumah sakit ini tidak terlalu sepi seperti pertama aku datang. Orang-orang mulai terlihat melakukan aktivitas, terutama petugas kebersihan yang sudah mulai bekerja.

"Sepertinya itu Mas Haikal," ujarku ketika hendak melewati ruangan tadi.

Aku memelankan langkah saat hendak melewati pria yang tengah duduk tertunduk di kursi tunggu.

"Mas," ujarku membuat laki-laki yang pernah singgah di hatiku itu mendongak.

"Alina?" Dia menyebut namaku.

"Kamu kenapa? Siapa yang sakit?"

"Amira
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (9)
goodnovel comment avatar
Rohaeniah
makin lama makin dikit yg Qt baca
goodnovel comment avatar
Sesilia
makin lama makin dikit yg bisa dibaca, sdh nonton video ulang ......
goodnovel comment avatar
Triana Farchatun Nisa
Katanya mama alina mau nemenin papanya krn ada acara. Tapi kok malah papanya alina ikut jaga, gantian sama mamanya…
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 46

    "Enggak, Pah. Kebetulan, istrinya Mas Haikal sedang dirawat di rumah sakit ini juga.""Oh.""Dia habis kehilangan calon anak mereka, juga kehilangan rahim istrinya."Papa menoleh ke arahku dengan tatapan kaget. "Serius?" tanyanya kemudian. "Iya. Tadi subuh Alina tidak sengaja bertemu di depan ruangan istrinya. Dia terlihat sangat kacau dan kehilangan." "Itu balasan karena dia telah menyia-nyiakan cucuku. Heh, dekat sekali ternyata karma yang dia terima," ujar Papa menyeringai.Aku tidak lagi menjawab. Hanya diam seraya melihat Papa yang kembali fokus menatap wajah putriku yang masih terlelap. Orang tua mana yang rela jika anaknya disakiti. Begitu juga dengan Papa. Dia sangat marah dan benci pada Mas Haikal. Hingga tidak aku lihat rasa kasihan sedikit pun saat tahu mantan suamiku itu terkena musibah. "Papa tidak bisa lama, Al. Mungkin sampai pukul tujuh saja Papa di sini. Hari ini Papa ada acara.""Ya, tadi pun Mama sudah mengatakannya.""Sebelumnya Papa sudah meminta Rindu untuk m

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 47

    Melihat istrinya ditarik ke luar, Mas Haikal langsung menyusul mereka. Tidak lama kemudian, Adi kembali dengan seulas senyum manis. "Maaf, Dokter, insiden tadi mengganggu konsentrasi Dokter. Bagiamana keadaan Saffa?" ujar Adi seraya menghampiri Saffa. "Tidak apa-apa, Pak. Keadaan Saffa sudah lebih baik, demamnya pun sudah turun. Hanya saja, masih sedikit lemas karena dehidrasi."Adi menganggukkan kepala tanda mengerti. Dokter keluar dari ruangan Saffa, dan tinggallah kami bertiga di sini. Aku memberikan obat untuk Saffa, sedangkan Adi duduk di sofa. "Di, apa yang kamu lakukan pada Amira barusan?" tanyaku. "Tidak aku apa-apakan. Hanya membawa dia sedikit menjauh dari kamar ini.""Reaksi suaminya?" Aku kembali bertanya. "Sedikit emosi, tapi dia tidak berani berbuat apa-apa. Sudahlah, ngapain kamu nanya orang yang udah buat onar. Kalau udah kasih obat buat Saffa, mendingan kamu makan. Ini ada makanan, tapi belum tersentuh kayaknya."Aku melihat ke arah Adi yang membuka rantang beka

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 48

    "Mama ...."Saffa menggeliat seraya memanggil. Aku menyudahi panggilan itu dengan menyuruh Adi merekam keduanya. "Iya, Sayang." Aku beranjak dari sofa, lalu menghampiri putriku."Mau pipis.""Saffa kan tadi Mama pakaikan pempers, pipis di sini saja, ya?"Anakku menggeleng. Dia tidak mau, dan meminta ke kamar mandi. Aku pun mengangkat tubuh kecil itu, lalu membawanya ke kamar mandi. Sedikit repot, karena aku melakukannya sendiri. Setelah selesai, aku kembali membawa Saffa ke ranjangnya. Namun, Saffa enggan untuk berbaring. Dia mau duduk dan menonton kartun di televisi yang ada di kamar inap ini. "Mama, Om Adi mana?" tanyanya mencari keberadaan pria itu. "Lagi beli sabun buat Mama mandi," jawabku seraya menyisir rambutnya dengan jari. Aku mengikatnya longgar, agar Saffa tidak kegerahan. "Caffa juga mau mandi, Mah. Belenang di bak lagi.""Jangan dulu, ya. Nanti kalau sudah sembuh, sudah bisa pulang ke rumah, baru mandi.""Caffa mau pulang, Mah. Mau main cepeda lagi." Saffa tiba-ti

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 49

    Hatiku mulai tak tenang. Fokusku tidak lagi pada Saffa. Ada rasa takut jika Bang Aldi mengetahui perbuatan istrinya yang pasti akan menimbulkan pertengkaran di antara mereka. Namun, tidak aku pungkiri, jika ada keinginan agar Bang Aldi memergoki mereka. Agar dia tahu, istrinya itu tidak sebaik yang abangku pikirkan."Mama, Caffa mau bobok lagi." Sentuhan tangan Saffa di paha, menyadarkan aku dari lamunan kemungkinan yang akan terjadi hari ini. Aku membawa Saffa ke tempat tidurnya. Membaringkan tubuh kecil itu, lalu menepuk-nepuk bokongnya sebagai penghantar tidur. Tidak berapa lama kemudian, putriku sudah terlelap lagi. Dan kini pikiranku kembali pada Bang Aldi dan Kak Rindu. Entah apa yang ada dalam pikiran kakak iparku itu hingga dengan tega menyelingkuhi abangku. Padahal, Bang Aldi sangat setia dan sayang pada Kak Rindu. "Alina.""Eh." Aku terperanjat saat pundakku diusap dari belakang. Ternyata Bang Aldi yang datang. Ia tersenyum, lalu menyimpan kantong plastik di ujung ranj

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 50

    Dua malam Saffa dirawat di rumah sakit, hari ini putriku sudah dibolehkan pulang. Raut senang terpancar dari gadisku yang sedari tadi terus menebar senyum. Apalagi saat suster membuka jarum infus dari punggung tangannya, ia terus berceloteh ingin segera pulang dan bermain sepeda lagi. "Mau pulang, Saffa?" tanya Papa seraya menggendong putriku. Saffa mengangguk. Rambutnya yang dikuncir satu membuat pipinya terlihat lebih bulat. Meskipun sedikit mengempis karena sakit kemarin. "Sudah beres semuanya, Al?" tanya Mama padaku yang tengah mengemas barang bawaan. "Sudah, Mah. Yuk, pulang sekarang."Mama mengangguk. Kami pun keluar dari ruangan Saffa bersamaan. Papa yang menggendong putriku, berjalan terlebih dahulu. Sedangkan aku dan Mama mengikuti dari belakang. Sepanjang perjalanan, aku terus melihat ke ponsel. Menanti kabar dari seseorang yang aku suruh untuk menyelidiki Kak Rindu dan Damar. Tanpa sepengetahuan Bang Aldi tentunya. Kali ini aku bergerak sendiri, dengan caraku sendir

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 51

    "Apa hatimu masih belum terbuka untuknya, Al?" Aku mengembuskan napas kasar mendengar pertanyaan Mama. Pandangan kami lurus ke depan. Pada dua manusia beda jenis kelamin, juga beda usia. Saffa dan Adi yang sedang bermain sepeda di halaman rumah. Aku menarik kedua kakiku yang menjuntai ke tanah. Melipat keduanya hingga kini duduk bersila di samping Mama. Di tengah-tengah kami ada dua cangkir teh manis, satu gelas kopi, juga susu putih milik kedua orang yang asik dengan permainan mereka. Tawa Saffa menjadi candu untukku. Dan sakitnya, adalah pilu bagiku. Namun, untuk kembali menjalin hubungan pernikahan, aku masih belum bisa. Ada kepingan hati yang enggan untuk kembali utuh setelah dihancurkan. "Alina belum bisa, Mah," kataku dengan pelan. "Apa kebaikan Adi tidak sama sekali membuatmu luluh? Lihatlah, Saffa begitu bahagia bermain dengan Adi. Dia sosok ayah yang baik bagi putrimu.""Alina pun berpikir demikian, Mah. Tapi ... masalahnya ada pada hati Alina, Mah. Alina takut, jika

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 52

    Hari beranjak malam. Entah kenapa hati ini merasa gelisah. Sedari kepergian Adi, pria itu sama sekali tidak menghubungiku. Semarah itu dia padaku hingga tak lagi menggangguku lewat panggilan telepon? Biasanya, Adi tidak akan semarah ini meskipun aku dengan terang-terangan menolak cintanya. Dia masih akan tetap menghubungiku, bahkan datang ke rumah. Namun, kali ini beda. Tidak ada pesan dari dia yang masuk ke ponselku. "Mama, makan kata Oma," ujar Saffa yang berdiri di ambang pintu bersama Bi Narsih.Aku mengangguk, lalu menyimpan ponsel setelah mengirimkan pesan kepada pria itu. Aneh sekali aku ini. Jika ada, aku abaikan. Tapi, jika dia menghilang, malah aku cariin. Jangan-jangan itu artinya aku sudah menaruh hati padanya? Ah, bukan. Aku hanya khawatir saja. Aku turun dari lantai dua untuk bergabung makan malam bersama keluargaku. Pemandangan romantis, tapi dramatis aku saksikan di sini. Di mana Bang Aldi dan istrinya yang saling suap dengan canda tawa yang membuatku muak. Bu

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 53

    "Pah, benar Adi kecelakaan?" tanyaku menghampiri Papa yang baru saja selesai menelepon Om Gunawan. "Benar, Al. Sekarang Adi sudah dibawa ke rumah sakit. Tapi, Om Gunawan belum mengatakan kondisi Adi sekarang. Dokter masih menanganinya," tutur Papa membuat persendianku terasa lemas. "Kecelakaannya tunggal?" Mama ikut bertanya. "Ya, tunggal. Polisi juga sedang memeriksa tempat kejadian. Papa akan ke rumah sakit sekarang.""Ikut, Pah," kataku. Papa menyetujui aku ikut dengannya. Namun, tidak untuk Mama. Papa menyuruh istrinya itu untuk menjaga Saffa selama kami di rumah sakit.Aku langsung masuk ke dalam kamar, mengambil hoodie untuk menutupi kaus pendek yang aku pakai. Tas serta ponsel pun tak lupa aku bawa. Pandangan yang sedari tadi mengabur, kini mulai berjatuhan cairan bening dari sana. Rasa bersalah menyeruak semakin nyata ketika mendengar Adi kecelakaan. Mungkinkah Adi melamunkan kata-kataku yang akhirnya membuat dia tidak konsentrasi berkendara? Ya Tuhan, aku telah berdosa

Bab terbaru

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 408 Ending season 2

    "Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 407

    Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 406

    Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 405

    Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb

  • Membalas Kesombongan Mantan   404

    Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 403 tidak marah lagi

    "Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 402 gara-gara membahas anak

    Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 401 maaf dan permintaan laki-laki di balik jeruji besi

    "Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 400 menggoda Syafiq

    "Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan

DMCA.com Protection Status