"Bicara apa, Papa?" tanya Mama saat aku ikut duduk bersama mereka. "Soal video."Mama membulatkan mulut membentuk huruf O. "Oh, ya Mah. Aku mau belajar mengendarai mobil, ah."Mama mengangkat kepala menatapku dengan menyipitkan mata."Yakin? Waktu itu kamu pernah nyoba, tapi katanya lebih enak disupirin.""Itu, kan dulu, Mah. Sekarang beda lagi. Saffa sudah semakin besar, sebentar lagi dia sekolah. Masa, aku terus ngandelin Mama.""Yaudah boleh, nanti Mama carikan guru yang handal buat kamu belajar mobil.""Terus mobilnya?" tanyaku. "Kan ada yang di Adi. Nanti akan Mama telepon dia biar sekalian bawa mobil itu nanti malam."Aku mengangguk paham. Lalu ikut bermain bersama Saffa dan Mama. Semakin hari, anakku semakin pintar dan bawel. Dia juga tidak segan untuk meminta jika ada yang diinginkan. Seperti pagi tadi, ia meminta sepeda kecil yang dilihatnya pada kartun di televisi. Niatnya, setelah pulang dari toko Mama, aku hendak pergi ke toko mainan untuk membelikan sepeda untuk Saff
Seperti rencana kemarin, hari ini aku akan belajar mengemudi. Bukan pada orang lain, tapi pada Papa yang kebetulan tidak berangkat ke pabrik. Kebetulan, hari ini hari minggu. Jadi, aku tidak perlu repot-repot untuk menyesuaikan diri dengan guru kemudiku. Satu putaran aman. Aku berhasil tanpa kendali. Hingga putaran ke tiga, Papa menyuruhku menyudahi belajar untuk hari ini, karena Mama menelepon ada Bang Aldi yang datang berkunjung. Aku tidak puas sebenarnya. Masih ingin terus belajar. Tapi, tidak berani juga untuk belajar sendiri. Akhirnya, kami pun pulang dari lapangan yang memang dikhususkan untuk belajar mengemudi. "Minggu depan kita belajar lagi. Atau, kamu belajar sama Pak Yadi jika Papa sedang bekerja," tutur Papa mengobati kekecewaanku. Aku tidak menjawab. Lebih memilih diam menikmati suasana jalan yang sepi dari kendaraan. Hari yang masih pagi dengan ditambah langit yang mendung membuat suasana ibu kota terasa sejuk. Saat kami sampai, ternyata benar ada kakakku yang sed
Pria yang memakai kemeja kotak-kotak itu tersenyum saat kami berdiri di samping mejanya. Ia membungkukkan badan, lalu mengulurkan tangan saat Kak Rindu memperkenalkan aku sebagai iparnya. "Oh, ini yang namanya Alina? Cantik, lebih cantik dari yang di foto," tutur pria itu menatapku lekat. Buru-buru aku menarik tangan yang masih digenggam pria itu. "Duduk, Al. Damar ini seorang arsitek, lho. Dia juga pengusaha properti yang sukses. Gak akan susah hidupmu jika nikah sama dia," ujar Kak Rindu memuji temannya. Aku hanya tersenyum dengan anggukan kecil. Rasanya risih sekali sejak tadi dipandangi sama orang yang baru saja ditemui. Beberapa kali Kak Rindu mengajak ngobrol Damar, tapi tatapan pria itu tak lepas dariku. "Jangan dipandang terus, Dam. Dia tidak suka, tuh," ujar Kak Rindu menarik kemeja pria itu. "Eh, maaf-maaf. Soalnya dia ... cantik."Sama sekali tidak membuat hatiku tersanjung dengan ucapan Damar. Justru malah semkain tidak nyaman. Makanan yang dipesan sudah datang, tap
Dilihat dari luar semuanya baik-baik saja. Sangat baik bahkan. Namun, siapa yang tahu di balik senyum manis itu, wajah ceria itu menyimpan sejuta rahasia yang akan membuat salah satu hati terluka.Aku menundukkan pandangan saat mata itu melihat ke arahku. Pura-pura tidak tahu apa-apa sama seperti tadi. Pura-pura tidak menyaksikan sesuatu yang menyakitkan. Malam ini, Bang Aldi menginap di sini. Suasana makan malam pun jadi rame, karena kakakku itu terus menggoda dan becanda dengan Saffa. Sebagai seorang laki-laki dewasa yang sudah berumah tangga, tentulah abangku itu menginginkan keturunan. Namun, sayangnya Tuhan belum berpihak kepada dia akan hal itu. Padahal, usai pernikahannya hampir menginjak enam tahun. Saffa memintaku menurunkannya dari kursi. Dia sudah kenyang dan katanya ingin mengambil Popo di kamar. Aku menyuruh Bi Narsih untuk menemani putriku naik ke lantai dua."Kamu sakit, Al?" "Ah, enggak ...," tuturku menjawab pertanyaan Bang Aldi. "Dari tadi Abang perhatikan kamu
Dadaku bertalu-talu melihat kondisi putriku yang seperti itu. Tangan tidak diam. Langsung membuka kancing baju piyama yang dikenakan Saffa. Memindahkan tubuh putriku ke lantai beralaskan karpet tipis, lalu memiringkan tubuhnya. Mama membantu Mengompres ketiak dan kaki Saffa agar panasnya segera turun. Untunglah, usahaku membuahkan hasil. Saffa tidak lagi kejang, dan dia pun bangun. Minta air minum karena kehausan. "Ya Allah, Al. Mama takut sekali," ujar Mama setelah Saffa sudah baik-baik saja. Mama sampai mengeluarkan air mata karena syok dan takut. "Ini bukan yang pertama dialami Saffa, Mah." "Mama tidak menyangka, anak manja Mama bisa mengurus anak yang kejang. Keadaan merubahmu, Al," ujarnya lagi seraya melirik Saffa yang kembali berbaring setelah minum air putih. Pintu kamar terbuka. Papa masuk dengan wajah khas bangun tidur. "Ada apa? Tadi Papa dengar suara dari sini?" "Saffa barusan kejang, Papa. Mama takut banget, tapi untungnya Alina bisa mengatasinya. Ya Allah ... amp
"Berapa, Bu?" "Seratus lima belas ribu."Aku mengulurkan uang pada pemilik kantin. Lalu, berlalu untuk kembali ke kamar Saffa. Sepanjang perjalanan, otakku terus berpikir tentang apa sekiranya yang terjadi di dalam kamar tadi. Jika harus menebak, mungkin dia kehilangan anak dalam kandungannya? Aku menggelengkan kepala menepis pikiran tentang orang yang menurutku tidak penting untuk dipikirkan. Melanjutkan langkah dengan cepat takut jika putriku bangun dan mencari keberadaan ibunya ini. Sekarang suasana di rumah sakit ini tidak terlalu sepi seperti pertama aku datang. Orang-orang mulai terlihat melakukan aktivitas, terutama petugas kebersihan yang sudah mulai bekerja. "Sepertinya itu Mas Haikal," ujarku ketika hendak melewati ruangan tadi. Aku memelankan langkah saat hendak melewati pria yang tengah duduk tertunduk di kursi tunggu. "Mas," ujarku membuat laki-laki yang pernah singgah di hatiku itu mendongak. "Alina?" Dia menyebut namaku. "Kamu kenapa? Siapa yang sakit?" "Amira
"Enggak, Pah. Kebetulan, istrinya Mas Haikal sedang dirawat di rumah sakit ini juga.""Oh.""Dia habis kehilangan calon anak mereka, juga kehilangan rahim istrinya."Papa menoleh ke arahku dengan tatapan kaget. "Serius?" tanyanya kemudian. "Iya. Tadi subuh Alina tidak sengaja bertemu di depan ruangan istrinya. Dia terlihat sangat kacau dan kehilangan." "Itu balasan karena dia telah menyia-nyiakan cucuku. Heh, dekat sekali ternyata karma yang dia terima," ujar Papa menyeringai.Aku tidak lagi menjawab. Hanya diam seraya melihat Papa yang kembali fokus menatap wajah putriku yang masih terlelap. Orang tua mana yang rela jika anaknya disakiti. Begitu juga dengan Papa. Dia sangat marah dan benci pada Mas Haikal. Hingga tidak aku lihat rasa kasihan sedikit pun saat tahu mantan suamiku itu terkena musibah. "Papa tidak bisa lama, Al. Mungkin sampai pukul tujuh saja Papa di sini. Hari ini Papa ada acara.""Ya, tadi pun Mama sudah mengatakannya.""Sebelumnya Papa sudah meminta Rindu untuk m
Melihat istrinya ditarik ke luar, Mas Haikal langsung menyusul mereka. Tidak lama kemudian, Adi kembali dengan seulas senyum manis. "Maaf, Dokter, insiden tadi mengganggu konsentrasi Dokter. Bagiamana keadaan Saffa?" ujar Adi seraya menghampiri Saffa. "Tidak apa-apa, Pak. Keadaan Saffa sudah lebih baik, demamnya pun sudah turun. Hanya saja, masih sedikit lemas karena dehidrasi."Adi menganggukkan kepala tanda mengerti. Dokter keluar dari ruangan Saffa, dan tinggallah kami bertiga di sini. Aku memberikan obat untuk Saffa, sedangkan Adi duduk di sofa. "Di, apa yang kamu lakukan pada Amira barusan?" tanyaku. "Tidak aku apa-apakan. Hanya membawa dia sedikit menjauh dari kamar ini.""Reaksi suaminya?" Aku kembali bertanya. "Sedikit emosi, tapi dia tidak berani berbuat apa-apa. Sudahlah, ngapain kamu nanya orang yang udah buat onar. Kalau udah kasih obat buat Saffa, mendingan kamu makan. Ini ada makanan, tapi belum tersentuh kayaknya."Aku melihat ke arah Adi yang membuka rantang beka
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan