"Mau bicara apa, sih? Bicara di sini, 'kan bisa?" ujar Papa menutup buku menu yang tadi dia baca. "Enggak enak, Pah." Aku berucap dengan lesu. Mataku terus mencuri pandang pada Adi, tapi pria yang sok keren itu malah santai dan sama sekali tidak menoleh ke arahku. Beberapa saat menunggu, makanan serta minuman yang kita pesan sudah datang. Namun, satu yang aku bingungkan. Kenapa anaknya Pak Gunawan belum juga datang? Bukannya aku menunggu dia, tapi katanya tadi sudah di jalan. Kok, enggak nyampe-nyampe? "Mari silahkan dimakan, Alina. Kita makan dulu lah, sebelum nanti ke pembahasan. Biar perut kenyang," tutur Pak Gunawan. Aku mulai menikmati steak yang ada di depanku dengan terus melirik ke arah Adi. Tapi orang yang aku lirik malah anteng dengan makanannya. Sama sekali tidak peka, meski beberapa kali aku memberikan kode. Tidak ada pembicaraan yang serius ketika kami makan. Obrolan didominasi Papa sama Pak Gunawan yang membicarakan tentang bisnis. Aku menyimak, seraya terus menc
"Al, kamu sudah tahu cerita sebenarnya dari Om Gun, sekarang apa yang ingin kamu tanyakan. Kami akan menjawab semuanya," ujar Papa yang melihatku hanya diam dengan memilin tisu bekas mengelap bibirku. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sangat pelan. Aku melihat wajah-wajah yang ada di meja ini satu persatu. Termasuk putriku yang masih anteng dengan makanannya. Bingung. Entah dari mana aku harus mulai bertanya. Semuanya terasa menggumpal seperti benang kusut dalam pikiranku. "Tanyakan, Al. Jangan ditahan." Mama ikut berbicara. Aku manggut-manggut, menegakkan tubuh untuk mulai berucap. "Em ... benar, Adi anaknya Om Gun?"Semuanya tertawa lagi mendengar pertanyaanku. "Sebentar." Pak Gunawan mengambil dompetnya, mengeluarkan kertas putih dari dalam sana. "Ini, coba kamu baca sendiri, deh kalau tidak percaya," ujar dia kemudian dengan memberikan kertas yang terlipat itu padaku. Aku membukanya. Dan ternyata itu adalah kartu keluarga. Benar. Adikara Wijaya adalah ana
"Sejak ... beberapa tahun ke belakang," ujar Adi. Aku mengingat beberapa tahun ke belakang itu. Di mana aku jadi lebih sering menghubungi dia untuk meminta bantuan mengumpulkan bukti perselingkuhan Mas Haikal dengan Amira. Apa sejak itu dia mulai menyukaiku? Ah, rasanya aku tidak percaya. Tidak mungkin hanya karena iba bisa jadi cinta. Apalagi pertemuan kami tidak intens. Tidak pernah juga aku melihat gelagat Adi yang memperlihatkan perhatiannya padaku. "Kenapa kamu mau menerima perjodohan ini?" tanyaku ingin tahu. "Karena aku anak baik yang nurut kepada orang tua." Aku berdecak sebal. Itu bukan jawaban dia yang sebenarnya. Tapi, sebuah sindiran untukku. "Aku serius, Adikara Wijaya." Adi terkekeh dengan memalingkan wajah ke arah Saffa. Sebelah tangannya mengusap pucuk kepala putriku yang anteng menonton kartun di ponsel milik Adi. "Okelah akan aku ceritakan. Awalnya, aku juga menolak saat Papa membicarakan ini padaku. Apalagi saat beliau memperlihatkan fotomu. Aku sama
Dua hari telah berlalu, Adi tidak lagi datang menjadi supir. Tapi sebagai Adikara Wijaya seorang pengusaha muda. Tidak ada lagi seorang Adi yang jika datang hanya memaki kaus oblong dengan celana jeans. Setelan formal selalu dia kenakan seperti pria kantoran pada umumnya. "Kamu gak kerja?" tanyaku dengan pandangan lurus pada televisi. Sedangkan Adi, ia tengah duduk lesehan bersama Saffa. Main lego, membuat menara. "Bos mah bebas, Nona. Mau pulang pagi, siang, malam pun tidak akan ada yang larang," ujarnya enteng. "Apa jadinya sebuah perusahaan, jika bosnya pemalas kayak gitu?" "Enaknya aja pemalas. Justru aku sedang rajin-rajinnya ini," tutur Adi tanpa melihat ke arahku. "Rajin apaan? Masa rajin pulang kantor siang-siang gini.""Rajin belajar jadi ayah buat Saffa. Iya, 'kan Saffa?" "Iya ...," ujar Saffa dengan polosnya. Aku yang merasa dipermainkan, langsung melayangkan bantal sofa ke punggung pria itu. Bukannya marah, Adi malah tergelak dengan lepasnya yang diikuti oleh anak
Merasa jenuh dengan keseharian yang hanya makan tidur, semalam aku meminta pekerjaan baru pada Papa. Kerjaan yang ringan, dan tidak akan menyita banyak waktu. Aku tidak ingin meninggalkan Saffa juga. Namun, jawaban Papa di luar dugaan. Ia malah menyuruhku untuk menikah saja agar aku memiliki kesibukan baru. Mengurus suami, anak dan rumah. Astaga, itu tidak ada dalam opsi pikiranku. Aku hanya ingin punya kegiatan, tapi juga tidak mengekang dan menuntutku harus masuk setiap hari. Membingungkan memang. Antara malas dan manja yang sedang aku rasakan. "Yasudah, kalau tidak mau menikah dulu, kamu ke toko pakaiannya Mama saja. Belajar berniaga di sana," ujar Papa malam tadi. Di sinilah saat ini aku berada. Duduk melihat para wanita berbelanja. Ada yang datang dengan pasangannya, temannya, juga orang tuanya. Melihat senyum puas mereka karena sudah menemukan barang yang dicari, membuatku seketika mengingat masa itu. Aku pernah muda, pernah gila belanja hingga tidak pernah memikirkan bera
Iya, di sana ada seorang pria yang tengah duduk dengan beberapa pria lainnya. Jika aku perhatikan, sepertinya mereka tengah membahas masalah pekerjaan. Terlihat di depan mereka ada beberapa laptop serta buku yang entah apa isinya. 'Kok, dia jadi beda, ya jika sedang dengan rekan kerjanya. Terlihat lebih berkarisma dan berwibawa.'"Liatin apaan, sih?" ujar Nilam menyentuh tanganku. Ia celingukan ke belakang mencari sumber tatapanku. "Ah, enggak. Tadi seperti melihat orang yang kukenal. Tapi, kayaknya bukan, deh." Aku membuang pandangan dari Adi, kembali pada Nilam. Tidak terasa sudah satu jam lamanya aku bersua dengan Nilam. Hingga akhirnya temanku itu harus pergi terlebih dahulu karena mendapatkan telepon dari suaminya. Sepertinya Nilam, aku mengambil ponsel untuk menelepon Mama. Menanyakan Saffa yang saat ini sedang berada di rumah. "Ha— aaaahhh!" Aku berteriak seraya berjingkat. Berdiri dari dudukku saat kurasakan ada air yang mengalir dari atas kepala. Aku menoleh ke belakang,
"Aku hanya membela diri, Pah.""Papa tahu, tapi karena emosi kamu yang tidak terkontrol, hampir saja kamu membunuh orang, Al."Inilah buntut dari pertengkaran aku dan Amira. Aku disidang Papa karena video di kafe tadi sudah tersebar dan meluas menjadi konsumsi publik. Tidak main-main, judul dari video itu pun sangat menyesakkan dada. [Seorang anak pengusaha menjadi pelakor dari karyawannya sendiri.]Tentu saja orang-orang yang menonton video itu langsung mencari tahu siapa pengusaha yang dimaksud. Dan dampaknya, perusahaan Papa yang ikut menjadi jelek. "Sebenarnya Alina cuma menggertak saja, Pah," kataku membela diri.Dari sekian adegan yang dilihat, Papa fokus pada aku yang hampir melemparkan kursi ke arah Amira. Iya, saat itu aku memang benar-benar emosi. Ingin sekali menghabisi wanita itu agar tidak terus mengusik hidupku. "Iya, tapi kalau kelepasan akibatnya fatal, Al. Kamu bisa masuk penjara.""Iya, Pah maaf," kataku seraya menunduk. "Lain kali, jika dia datang mencari masal
"Bicara apa, Papa?" tanya Mama saat aku ikut duduk bersama mereka. "Soal video."Mama membulatkan mulut membentuk huruf O. "Oh, ya Mah. Aku mau belajar mengendarai mobil, ah."Mama mengangkat kepala menatapku dengan menyipitkan mata."Yakin? Waktu itu kamu pernah nyoba, tapi katanya lebih enak disupirin.""Itu, kan dulu, Mah. Sekarang beda lagi. Saffa sudah semakin besar, sebentar lagi dia sekolah. Masa, aku terus ngandelin Mama.""Yaudah boleh, nanti Mama carikan guru yang handal buat kamu belajar mobil.""Terus mobilnya?" tanyaku. "Kan ada yang di Adi. Nanti akan Mama telepon dia biar sekalian bawa mobil itu nanti malam."Aku mengangguk paham. Lalu ikut bermain bersama Saffa dan Mama. Semakin hari, anakku semakin pintar dan bawel. Dia juga tidak segan untuk meminta jika ada yang diinginkan. Seperti pagi tadi, ia meminta sepeda kecil yang dilihatnya pada kartun di televisi. Niatnya, setelah pulang dari toko Mama, aku hendak pergi ke toko mainan untuk membelikan sepeda untuk Saff
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan