Benar, aku sudah sampai di depan kafe Mutiara. Dan dari sini aku bisa melihat jika Mas Haikal masih berada di dalam sana. Duduk di dekat kaca. "Ini uangnya, Pak. Terima kasih," ucapku seraya turun dari dalam taksi. Dengan mata yang terus melihat ke sana kemari, aku pun langsung masuk ke dalam kafe. Menghampiri Mas Haikal yang melihat ke arahku dengan ekspresi tidak bersahabat. Wajahnya terlihat kusut dengan kantung mata yang menghitam. Tidak tidurkah dia semalam? "Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya tanpa basa-basi."Tolong hentikan semuanya."Mas Haikal mengerutkan kening seraya menatapku lekat. Aku pun sama. Menatap mata itu lamat-lamat. "Apa maksudmu hentikan semuanya?" tanyanya kemudian. "Kamu tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti?" kataku. "Bagaimana aku akan mengerti jika kamu tidak mengatakan duduk masalahnya. Langsung memintaku menghentikan sesuatu, yang aku pun tidak tahu apa perbuatanku."Ini." Aku memperlihatkan layar ponsel yang menyala ke arahnya. Sebu
Aku membuka mata perlahan, mengedarkan pandangan yang masih sedikit buram. Beberapa kali mengerjapkan mata, menajamkan penglihatan. Asing. Aku tidak tahu ada di mana. Tapi, tidak seperti penyekapan ataupun tempat penyanderaan. Ini seperti rumah sakit. Aku berniat untuk bangun, mencari tahu keberadaanku di sini. Namun ...."Aw." Aku memekik saat kurasakan sakit di leher bagian belakang. Kubaringkan kembali tubuhku untuk menghilangkan rasa sakit itu."Non, Alina." Adi menyibak gorden, lalu menghampiriku.Melihat kedatangan Adi, aku merasakan kelegaan yang teramat sangat. Itu artinya, aku tidak bersama peneror itu. "Di, aku di rumah sakit?" tanyaku pada supir itu. "Di klinik, Non." Ia mengambilkan air minum, lalu memberikannya padaku."Tadi ada yang memukul aku, Di. Apa orang itu Mas Haikal?" tanyaku lagi ingin tahu. Adi duduk di kursi plastik tepat di samping ranjangku. Ia pun menceritakan apa yang terjadi setelah aku keluar dari kafe. Seperti dugaanku, aku diikuti oleh seorang pr
Sore ini hujan turun dengan lebat. Aku berdiri di balkon kamar seraya mengadahkan tangan. Menikmati rintik yang menggelitik. Aku menoleh ke bawah, di mana ada gadis kecil yang berdiri dengan tangan ia ulurkan keluar dari sela railling balkon. Ia sangat senang bisa menikmati air hujan meskipun hanya tangan saja yang dibasahi. "Mama, boleh tidak Caffa ujan-ujana?" tanya putriku dengan mata yang mengerjap. "Boleh. Tapi, nanti jika Saffa sudah besar, ya? Sekarang, Saffa masih kecil, Mama takut Saffa jatuh dan kedinginan.""Kalau sama ayah, boleh?" Aku tidak langsung menjawab pertanyaan putriku. Mungkinkah Saffa merindukan ayahnya hingga bertanya demikian?Aku menarik tanganku. Berjongkok mensejajarkan tinggi dengan Saffa. "Kenapa, Saffa nanya gitu?" Aku mengusap kedua pipi yang basah terkena cipratan air hujan. "Caffa hanya mau main air hujan cepelti itu, Mah." Aku mengikuti telunjuk Saffa yang menunjuk ke bawah. Di sana, tepatnya di jalan depan rumah ada seorang anak seusia dia ya
"Pah, dia anaknya Pak Gunawan?" bisikku di telinga Papa. Anggukan kepala ayahku itu membuat tenggorokan ini terasa gersang bagaikan di padang pasir. Beberapa kali meneguk ludah, rasanya teramat sakit bak menelan duri. Tidak mungkin dia yang akan menjadi suamiku. Ini pasti salah. Papa bilang anaknya Pak Gunawan pria setia yang tidak akan pernah menduakan aku seperti Mas Haikal. Oke, aku percaya jika dia tidak akan menduakan aku dengan wanita lain. Tapi ... jika dengan lawan jenisku, aku tidak yakin."Hay, Alina ... duduk di sini, Sayang. Aku sudah memesankan makanan untukmu. Ih ... kamu pasti suka, deh dengan pilihanku."Kembali aku menelan ludah dengan sakit ketika melihat gaya dan tutur bahasanya dalam berucap."Pah, aku mau pulang.""Diam, Alina. Jangan bikin malu Papa di depan Pak Gunawan."Aku memejamkan mata, beberapa kali beristighfar dalam hati untuk mengusir segala makhluk halus, termasuk makhluk aneh yang ada di depanku. Rasanya hidupku tidak akan lebih baik dari sebelumn
Papa. Ia berjalan dengan menggendong Saffa yang sudah cantik, siap untuk pergi bersama kami. Melihat ada Ibu, putriku langsung mengeratkan tangannya yang memeluk Popo. Seperti takut, jika neneknya itu akan mengambil kembali boneka kesayangannya. "Saffa, ini Nenek, Nak. Sini, Sayang, gendong." "Jangan! Jangan ambil!" Saffa menjerit histeris menolak tangan ibu yang hendak menggendongnya. Yang ada di pikiran Saffa, neneknya itu akan mengambil Popo. Padahal, dialah yang diinginkan ibu. "Ibu, maaf. Tolong jangan paksa Saffa. Dia keberatan untuk Ibu gendong. Ibu, bisa lihat bukan, bagiamana dia menolak?" ujar Papa menghalangi Saffa dengan tangan kokohnya. "Tapi, dia cucu saya. Jangan mentang-mentang orang kaya, Anda bisa menguasai Saffa, ya? Saya juga berhak atas anak itu. Apalagi ayahnya, dia sangat merindukan Saffa!"Aku berdecih mendengar ibu berucap demikian. Rindu katanya? Hanya omong kosong! "Maaf, Bu, kami harus pergi. Lain kali saja Ibu datang ke sini. Sekarang kami harus se
"Mau bicara apa, sih? Bicara di sini, 'kan bisa?" ujar Papa menutup buku menu yang tadi dia baca. "Enggak enak, Pah." Aku berucap dengan lesu. Mataku terus mencuri pandang pada Adi, tapi pria yang sok keren itu malah santai dan sama sekali tidak menoleh ke arahku. Beberapa saat menunggu, makanan serta minuman yang kita pesan sudah datang. Namun, satu yang aku bingungkan. Kenapa anaknya Pak Gunawan belum juga datang? Bukannya aku menunggu dia, tapi katanya tadi sudah di jalan. Kok, enggak nyampe-nyampe? "Mari silahkan dimakan, Alina. Kita makan dulu lah, sebelum nanti ke pembahasan. Biar perut kenyang," tutur Pak Gunawan. Aku mulai menikmati steak yang ada di depanku dengan terus melirik ke arah Adi. Tapi orang yang aku lirik malah anteng dengan makanannya. Sama sekali tidak peka, meski beberapa kali aku memberikan kode. Tidak ada pembicaraan yang serius ketika kami makan. Obrolan didominasi Papa sama Pak Gunawan yang membicarakan tentang bisnis. Aku menyimak, seraya terus menc
"Al, kamu sudah tahu cerita sebenarnya dari Om Gun, sekarang apa yang ingin kamu tanyakan. Kami akan menjawab semuanya," ujar Papa yang melihatku hanya diam dengan memilin tisu bekas mengelap bibirku. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sangat pelan. Aku melihat wajah-wajah yang ada di meja ini satu persatu. Termasuk putriku yang masih anteng dengan makanannya. Bingung. Entah dari mana aku harus mulai bertanya. Semuanya terasa menggumpal seperti benang kusut dalam pikiranku. "Tanyakan, Al. Jangan ditahan." Mama ikut berbicara. Aku manggut-manggut, menegakkan tubuh untuk mulai berucap. "Em ... benar, Adi anaknya Om Gun?"Semuanya tertawa lagi mendengar pertanyaanku. "Sebentar." Pak Gunawan mengambil dompetnya, mengeluarkan kertas putih dari dalam sana. "Ini, coba kamu baca sendiri, deh kalau tidak percaya," ujar dia kemudian dengan memberikan kertas yang terlipat itu padaku. Aku membukanya. Dan ternyata itu adalah kartu keluarga. Benar. Adikara Wijaya adalah ana
"Sejak ... beberapa tahun ke belakang," ujar Adi. Aku mengingat beberapa tahun ke belakang itu. Di mana aku jadi lebih sering menghubungi dia untuk meminta bantuan mengumpulkan bukti perselingkuhan Mas Haikal dengan Amira. Apa sejak itu dia mulai menyukaiku? Ah, rasanya aku tidak percaya. Tidak mungkin hanya karena iba bisa jadi cinta. Apalagi pertemuan kami tidak intens. Tidak pernah juga aku melihat gelagat Adi yang memperlihatkan perhatiannya padaku. "Kenapa kamu mau menerima perjodohan ini?" tanyaku ingin tahu. "Karena aku anak baik yang nurut kepada orang tua." Aku berdecak sebal. Itu bukan jawaban dia yang sebenarnya. Tapi, sebuah sindiran untukku. "Aku serius, Adikara Wijaya." Adi terkekeh dengan memalingkan wajah ke arah Saffa. Sebelah tangannya mengusap pucuk kepala putriku yang anteng menonton kartun di ponsel milik Adi. "Okelah akan aku ceritakan. Awalnya, aku juga menolak saat Papa membicarakan ini padaku. Apalagi saat beliau memperlihatkan fotomu. Aku sama