Sore ini hujan turun dengan lebat. Aku berdiri di balkon kamar seraya mengadahkan tangan. Menikmati rintik yang menggelitik. Aku menoleh ke bawah, di mana ada gadis kecil yang berdiri dengan tangan ia ulurkan keluar dari sela railling balkon. Ia sangat senang bisa menikmati air hujan meskipun hanya tangan saja yang dibasahi. "Mama, boleh tidak Caffa ujan-ujana?" tanya putriku dengan mata yang mengerjap. "Boleh. Tapi, nanti jika Saffa sudah besar, ya? Sekarang, Saffa masih kecil, Mama takut Saffa jatuh dan kedinginan.""Kalau sama ayah, boleh?" Aku tidak langsung menjawab pertanyaan putriku. Mungkinkah Saffa merindukan ayahnya hingga bertanya demikian?Aku menarik tanganku. Berjongkok mensejajarkan tinggi dengan Saffa. "Kenapa, Saffa nanya gitu?" Aku mengusap kedua pipi yang basah terkena cipratan air hujan. "Caffa hanya mau main air hujan cepelti itu, Mah." Aku mengikuti telunjuk Saffa yang menunjuk ke bawah. Di sana, tepatnya di jalan depan rumah ada seorang anak seusia dia ya
"Pah, dia anaknya Pak Gunawan?" bisikku di telinga Papa. Anggukan kepala ayahku itu membuat tenggorokan ini terasa gersang bagaikan di padang pasir. Beberapa kali meneguk ludah, rasanya teramat sakit bak menelan duri. Tidak mungkin dia yang akan menjadi suamiku. Ini pasti salah. Papa bilang anaknya Pak Gunawan pria setia yang tidak akan pernah menduakan aku seperti Mas Haikal. Oke, aku percaya jika dia tidak akan menduakan aku dengan wanita lain. Tapi ... jika dengan lawan jenisku, aku tidak yakin."Hay, Alina ... duduk di sini, Sayang. Aku sudah memesankan makanan untukmu. Ih ... kamu pasti suka, deh dengan pilihanku."Kembali aku menelan ludah dengan sakit ketika melihat gaya dan tutur bahasanya dalam berucap."Pah, aku mau pulang.""Diam, Alina. Jangan bikin malu Papa di depan Pak Gunawan."Aku memejamkan mata, beberapa kali beristighfar dalam hati untuk mengusir segala makhluk halus, termasuk makhluk aneh yang ada di depanku. Rasanya hidupku tidak akan lebih baik dari sebelumn
Papa. Ia berjalan dengan menggendong Saffa yang sudah cantik, siap untuk pergi bersama kami. Melihat ada Ibu, putriku langsung mengeratkan tangannya yang memeluk Popo. Seperti takut, jika neneknya itu akan mengambil kembali boneka kesayangannya. "Saffa, ini Nenek, Nak. Sini, Sayang, gendong." "Jangan! Jangan ambil!" Saffa menjerit histeris menolak tangan ibu yang hendak menggendongnya. Yang ada di pikiran Saffa, neneknya itu akan mengambil Popo. Padahal, dialah yang diinginkan ibu. "Ibu, maaf. Tolong jangan paksa Saffa. Dia keberatan untuk Ibu gendong. Ibu, bisa lihat bukan, bagiamana dia menolak?" ujar Papa menghalangi Saffa dengan tangan kokohnya. "Tapi, dia cucu saya. Jangan mentang-mentang orang kaya, Anda bisa menguasai Saffa, ya? Saya juga berhak atas anak itu. Apalagi ayahnya, dia sangat merindukan Saffa!"Aku berdecih mendengar ibu berucap demikian. Rindu katanya? Hanya omong kosong! "Maaf, Bu, kami harus pergi. Lain kali saja Ibu datang ke sini. Sekarang kami harus se
"Mau bicara apa, sih? Bicara di sini, 'kan bisa?" ujar Papa menutup buku menu yang tadi dia baca. "Enggak enak, Pah." Aku berucap dengan lesu. Mataku terus mencuri pandang pada Adi, tapi pria yang sok keren itu malah santai dan sama sekali tidak menoleh ke arahku. Beberapa saat menunggu, makanan serta minuman yang kita pesan sudah datang. Namun, satu yang aku bingungkan. Kenapa anaknya Pak Gunawan belum juga datang? Bukannya aku menunggu dia, tapi katanya tadi sudah di jalan. Kok, enggak nyampe-nyampe? "Mari silahkan dimakan, Alina. Kita makan dulu lah, sebelum nanti ke pembahasan. Biar perut kenyang," tutur Pak Gunawan. Aku mulai menikmati steak yang ada di depanku dengan terus melirik ke arah Adi. Tapi orang yang aku lirik malah anteng dengan makanannya. Sama sekali tidak peka, meski beberapa kali aku memberikan kode. Tidak ada pembicaraan yang serius ketika kami makan. Obrolan didominasi Papa sama Pak Gunawan yang membicarakan tentang bisnis. Aku menyimak, seraya terus menc
"Al, kamu sudah tahu cerita sebenarnya dari Om Gun, sekarang apa yang ingin kamu tanyakan. Kami akan menjawab semuanya," ujar Papa yang melihatku hanya diam dengan memilin tisu bekas mengelap bibirku. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sangat pelan. Aku melihat wajah-wajah yang ada di meja ini satu persatu. Termasuk putriku yang masih anteng dengan makanannya. Bingung. Entah dari mana aku harus mulai bertanya. Semuanya terasa menggumpal seperti benang kusut dalam pikiranku. "Tanyakan, Al. Jangan ditahan." Mama ikut berbicara. Aku manggut-manggut, menegakkan tubuh untuk mulai berucap. "Em ... benar, Adi anaknya Om Gun?"Semuanya tertawa lagi mendengar pertanyaanku. "Sebentar." Pak Gunawan mengambil dompetnya, mengeluarkan kertas putih dari dalam sana. "Ini, coba kamu baca sendiri, deh kalau tidak percaya," ujar dia kemudian dengan memberikan kertas yang terlipat itu padaku. Aku membukanya. Dan ternyata itu adalah kartu keluarga. Benar. Adikara Wijaya adalah ana
"Sejak ... beberapa tahun ke belakang," ujar Adi. Aku mengingat beberapa tahun ke belakang itu. Di mana aku jadi lebih sering menghubungi dia untuk meminta bantuan mengumpulkan bukti perselingkuhan Mas Haikal dengan Amira. Apa sejak itu dia mulai menyukaiku? Ah, rasanya aku tidak percaya. Tidak mungkin hanya karena iba bisa jadi cinta. Apalagi pertemuan kami tidak intens. Tidak pernah juga aku melihat gelagat Adi yang memperlihatkan perhatiannya padaku. "Kenapa kamu mau menerima perjodohan ini?" tanyaku ingin tahu. "Karena aku anak baik yang nurut kepada orang tua." Aku berdecak sebal. Itu bukan jawaban dia yang sebenarnya. Tapi, sebuah sindiran untukku. "Aku serius, Adikara Wijaya." Adi terkekeh dengan memalingkan wajah ke arah Saffa. Sebelah tangannya mengusap pucuk kepala putriku yang anteng menonton kartun di ponsel milik Adi. "Okelah akan aku ceritakan. Awalnya, aku juga menolak saat Papa membicarakan ini padaku. Apalagi saat beliau memperlihatkan fotomu. Aku sama
Dua hari telah berlalu, Adi tidak lagi datang menjadi supir. Tapi sebagai Adikara Wijaya seorang pengusaha muda. Tidak ada lagi seorang Adi yang jika datang hanya memaki kaus oblong dengan celana jeans. Setelan formal selalu dia kenakan seperti pria kantoran pada umumnya. "Kamu gak kerja?" tanyaku dengan pandangan lurus pada televisi. Sedangkan Adi, ia tengah duduk lesehan bersama Saffa. Main lego, membuat menara. "Bos mah bebas, Nona. Mau pulang pagi, siang, malam pun tidak akan ada yang larang," ujarnya enteng. "Apa jadinya sebuah perusahaan, jika bosnya pemalas kayak gitu?" "Enaknya aja pemalas. Justru aku sedang rajin-rajinnya ini," tutur Adi tanpa melihat ke arahku. "Rajin apaan? Masa rajin pulang kantor siang-siang gini.""Rajin belajar jadi ayah buat Saffa. Iya, 'kan Saffa?" "Iya ...," ujar Saffa dengan polosnya. Aku yang merasa dipermainkan, langsung melayangkan bantal sofa ke punggung pria itu. Bukannya marah, Adi malah tergelak dengan lepasnya yang diikuti oleh anak
Merasa jenuh dengan keseharian yang hanya makan tidur, semalam aku meminta pekerjaan baru pada Papa. Kerjaan yang ringan, dan tidak akan menyita banyak waktu. Aku tidak ingin meninggalkan Saffa juga. Namun, jawaban Papa di luar dugaan. Ia malah menyuruhku untuk menikah saja agar aku memiliki kesibukan baru. Mengurus suami, anak dan rumah. Astaga, itu tidak ada dalam opsi pikiranku. Aku hanya ingin punya kegiatan, tapi juga tidak mengekang dan menuntutku harus masuk setiap hari. Membingungkan memang. Antara malas dan manja yang sedang aku rasakan. "Yasudah, kalau tidak mau menikah dulu, kamu ke toko pakaiannya Mama saja. Belajar berniaga di sana," ujar Papa malam tadi. Di sinilah saat ini aku berada. Duduk melihat para wanita berbelanja. Ada yang datang dengan pasangannya, temannya, juga orang tuanya. Melihat senyum puas mereka karena sudah menemukan barang yang dicari, membuatku seketika mengingat masa itu. Aku pernah muda, pernah gila belanja hingga tidak pernah memikirkan bera