"Itu perempuan kenapa maen tampar-tampar aja sih? Aduh, merah banget. Sakit, ya, Al?" tanya Mama seraya mengusap pipiku."Lumayan, Mah.""Kenapa gak balas tampar lagi, sih?" "Di sana banyak orang mah, aku diliatin. Ya, kalau yang lihat cuma karyawan Papa doang. Kalau rekan bisnisnya? Aku gak mau bikin Papa malu.""Si Papa juga, anaknya ditampar bukannya laporin tuh orang ke keamanan biar dibawa ke polisi, malah disuruh pulang doang." Lagi-lagi Mama menggerutu. "Papa mana tahu kalau dia nampar Alina. Yang Papa lihat, waktu dia dorong Alina saja. Enggak tahu cerita awalnya gimana.""Kan, sekarang udah tahu cerita sebenarnya, tindak, dong.""Mah, sudahlah." Aku menengahi perdebatan Mama dan Papa. "Bukan sudah-sudah, Al. Kebiasaan. Itu kekerasan namanya. Bisa, kok dipidanakan," tutur Mama lagi terus mengompori. Aku cuma bisa menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Emosi Mama sedang naik. Dia tidak terima dengan perlakuan Amira tadi di parkiran. Mama juga menyuruhku untu
Papa menyuruh Bi Narsih untuk mengambilkan ponsel miliknya. Kata Papa, ia akan menelepon polisi serta keamanan perumahan tempat kami tinggal. Selang beberapa menit, keamanan datang dengan diiringi suara sirine polisi. Aku serta keluargaku keluar dari rumah untuk menemui mereka. Tetangga yang mendengar adanya polisi, mereka pun datang melihat apa yang terjadi di sini. "Mbak Alina, ada apa? Tadi, Ibu mendengar suara kaca pecah," tanya tetangga rumahku. "Itu, Bu. Ada yang lempar batu.""Ya Allah ... teror?" ujar wanita tambun berkulit putih itu seraya melihat ke arah kaca yang sudah berserakan. Polisi menanyai Papa mengenai kronologi kejadian dan waktu kejadian. Satu dari mereka pun memotret serta memvideokan kaca yang berserakan di lantai untuk bukti. Aku menyuruh Bi Narsih membuatkan minuman untuk tamu yang datang, sementara aku masuk ke dalam rumah ingin melihat Saffa. Pikiranku masih terus mencari siapa dalang dibalik teror itu. Tapi, otakku tidak menemukan orang lain selain B
Mendengar teriakanku, Mama langsung datang terpogoh-pogoh. Begitu pun penjaga di luar, mereka buru-buru menghampiriku."Kenapa, Al?" tanya Mama. "Ular, isi kotak itu ular!""Ular? Mana sekarang?" Salah satu penjaga bertanya padaku. "Ke sana, ke samping sofa." Aku menunjuk ke mana perginya hewan itu. Sumpah demi apa pun, aku sangat syok setelah membuka kotak tadi. Tanganku refleks menjatuhkannya hingga ular itu merayap ke sembarang arah. Dua penjaga langsung mencarinya. Aku bergidik ngeri saat ular itu keluar dari persembunyiannya dan merayap menghindari tangkapan dua pria serta Bi Narsih yang memegang gagang sapu. Setelah beberapa lama mencari dan menikung hewan panjang itu, penjaga rumah berhasil menangkapnya. Mereka langsung membawanya keluar untuk dibuang. Aki tidak bisa membayangkan bagaimana jika tadi aku membawa kotak itu ke Mama. Dibuka putriku yang tengah bermain. "Mama harus menelepon Papa," ucap Mama masuk ke dalam rumah mendahuluiku. Aku menyusulnya dan langsung mas
Benar, aku sudah sampai di depan kafe Mutiara. Dan dari sini aku bisa melihat jika Mas Haikal masih berada di dalam sana. Duduk di dekat kaca. "Ini uangnya, Pak. Terima kasih," ucapku seraya turun dari dalam taksi. Dengan mata yang terus melihat ke sana kemari, aku pun langsung masuk ke dalam kafe. Menghampiri Mas Haikal yang melihat ke arahku dengan ekspresi tidak bersahabat. Wajahnya terlihat kusut dengan kantung mata yang menghitam. Tidak tidurkah dia semalam? "Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya tanpa basa-basi."Tolong hentikan semuanya."Mas Haikal mengerutkan kening seraya menatapku lekat. Aku pun sama. Menatap mata itu lamat-lamat. "Apa maksudmu hentikan semuanya?" tanyanya kemudian. "Kamu tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti?" kataku. "Bagaimana aku akan mengerti jika kamu tidak mengatakan duduk masalahnya. Langsung memintaku menghentikan sesuatu, yang aku pun tidak tahu apa perbuatanku."Ini." Aku memperlihatkan layar ponsel yang menyala ke arahnya. Sebu
Aku membuka mata perlahan, mengedarkan pandangan yang masih sedikit buram. Beberapa kali mengerjapkan mata, menajamkan penglihatan. Asing. Aku tidak tahu ada di mana. Tapi, tidak seperti penyekapan ataupun tempat penyanderaan. Ini seperti rumah sakit. Aku berniat untuk bangun, mencari tahu keberadaanku di sini. Namun ...."Aw." Aku memekik saat kurasakan sakit di leher bagian belakang. Kubaringkan kembali tubuhku untuk menghilangkan rasa sakit itu."Non, Alina." Adi menyibak gorden, lalu menghampiriku.Melihat kedatangan Adi, aku merasakan kelegaan yang teramat sangat. Itu artinya, aku tidak bersama peneror itu. "Di, aku di rumah sakit?" tanyaku pada supir itu. "Di klinik, Non." Ia mengambilkan air minum, lalu memberikannya padaku."Tadi ada yang memukul aku, Di. Apa orang itu Mas Haikal?" tanyaku lagi ingin tahu. Adi duduk di kursi plastik tepat di samping ranjangku. Ia pun menceritakan apa yang terjadi setelah aku keluar dari kafe. Seperti dugaanku, aku diikuti oleh seorang pr
Sore ini hujan turun dengan lebat. Aku berdiri di balkon kamar seraya mengadahkan tangan. Menikmati rintik yang menggelitik. Aku menoleh ke bawah, di mana ada gadis kecil yang berdiri dengan tangan ia ulurkan keluar dari sela railling balkon. Ia sangat senang bisa menikmati air hujan meskipun hanya tangan saja yang dibasahi. "Mama, boleh tidak Caffa ujan-ujana?" tanya putriku dengan mata yang mengerjap. "Boleh. Tapi, nanti jika Saffa sudah besar, ya? Sekarang, Saffa masih kecil, Mama takut Saffa jatuh dan kedinginan.""Kalau sama ayah, boleh?" Aku tidak langsung menjawab pertanyaan putriku. Mungkinkah Saffa merindukan ayahnya hingga bertanya demikian?Aku menarik tanganku. Berjongkok mensejajarkan tinggi dengan Saffa. "Kenapa, Saffa nanya gitu?" Aku mengusap kedua pipi yang basah terkena cipratan air hujan. "Caffa hanya mau main air hujan cepelti itu, Mah." Aku mengikuti telunjuk Saffa yang menunjuk ke bawah. Di sana, tepatnya di jalan depan rumah ada seorang anak seusia dia ya
"Pah, dia anaknya Pak Gunawan?" bisikku di telinga Papa. Anggukan kepala ayahku itu membuat tenggorokan ini terasa gersang bagaikan di padang pasir. Beberapa kali meneguk ludah, rasanya teramat sakit bak menelan duri. Tidak mungkin dia yang akan menjadi suamiku. Ini pasti salah. Papa bilang anaknya Pak Gunawan pria setia yang tidak akan pernah menduakan aku seperti Mas Haikal. Oke, aku percaya jika dia tidak akan menduakan aku dengan wanita lain. Tapi ... jika dengan lawan jenisku, aku tidak yakin."Hay, Alina ... duduk di sini, Sayang. Aku sudah memesankan makanan untukmu. Ih ... kamu pasti suka, deh dengan pilihanku."Kembali aku menelan ludah dengan sakit ketika melihat gaya dan tutur bahasanya dalam berucap."Pah, aku mau pulang.""Diam, Alina. Jangan bikin malu Papa di depan Pak Gunawan."Aku memejamkan mata, beberapa kali beristighfar dalam hati untuk mengusir segala makhluk halus, termasuk makhluk aneh yang ada di depanku. Rasanya hidupku tidak akan lebih baik dari sebelumn
Papa. Ia berjalan dengan menggendong Saffa yang sudah cantik, siap untuk pergi bersama kami. Melihat ada Ibu, putriku langsung mengeratkan tangannya yang memeluk Popo. Seperti takut, jika neneknya itu akan mengambil kembali boneka kesayangannya. "Saffa, ini Nenek, Nak. Sini, Sayang, gendong." "Jangan! Jangan ambil!" Saffa menjerit histeris menolak tangan ibu yang hendak menggendongnya. Yang ada di pikiran Saffa, neneknya itu akan mengambil Popo. Padahal, dialah yang diinginkan ibu. "Ibu, maaf. Tolong jangan paksa Saffa. Dia keberatan untuk Ibu gendong. Ibu, bisa lihat bukan, bagiamana dia menolak?" ujar Papa menghalangi Saffa dengan tangan kokohnya. "Tapi, dia cucu saya. Jangan mentang-mentang orang kaya, Anda bisa menguasai Saffa, ya? Saya juga berhak atas anak itu. Apalagi ayahnya, dia sangat merindukan Saffa!"Aku berdecih mendengar ibu berucap demikian. Rindu katanya? Hanya omong kosong! "Maaf, Bu, kami harus pergi. Lain kali saja Ibu datang ke sini. Sekarang kami harus se