Share

Bab 19

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aroma makanan yang tersaji semakin membuat perutku keroncongan. Berjam-jam mengelilingi toko pakaian, menghabiskan banyak tenaga yang pada akhirnya lapar pun menyerang.

Di sinilah sekarang aku berada. Di restoran cepat saji dengan nuansa yang menyegarkan mata. Sangat estetik, dan pastinya kekinian.

"Enak?" tanyaku pada Saffa yang tengah mengunyah makanan favoritnya.

Putriku mengangguk, lalu kembali menyuapkan paha ayam goreng yang menjadi kegemarannya.

"Mah, ini tepungnya dikit, ya?"

"Iya, Sayang."

"Kalau di lumah Nenek, aku makan tepungnya aja, dagingnya dimakan Nenek."

Sesak. Dadaku seakan dihimpit batu yang sangat besar. Sudah satu minggu aku keluar dari rumah itu, tapi Saffa masih saja mengingat kenangan pahit di dalamnya. Padahal, tidak satu kali pun aku membahas tentang kejadian itu dengannya.

Aku tersenyum hambar dengan tangan mengusap ubun-ubun Saffa. Menyuruh putriku melanjutkan makan, tanpa harus mengingat masa lalu.

Melihat perubahan wajahku, Adi berhenti makan dan me
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (32)
goodnovel comment avatar
Mom's Reyva
calonmu mungkin memang adi al
goodnovel comment avatar
Erika Rukmina Silaen
nivelnya bagus2 tapi harus beli koin
goodnovel comment avatar
Jecolin Eiodia
novelnya bagus ..jadi penasaran...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 20

    Adzan maghrib berkumandang bertepatan dengan berhentinya mobil di depan rumah. Tanpa banyak bicara, aku langsung turun dan masuk seraya menuntun Saffa yang menenteng paperbag berisikan gaun miliknya. "Nah, nah ini, nih orangnya. Ditelepon gak diangkat, dikirimin pesan gak dibales. Dari mana, Tuan Putri?" ujar Mama membungkukkan badan menatap wajah putriku. Padahal aku tahu, jika pertanyaan itu ditujukan untukku. "Beli baju, Oma. Bagus, cantik kayak Caffa.""Oya? Coba Oma, lihat!" Saffa memberikan paperbag pada Mama, dan langsung dibuka oleh wanita yang masih cantik diusianya yang tak lagi muda. Mama tersenyum manis pada Saffa, tapi tidak padaku. "Masuk dan cepat bersiap. Itu orang-orang salon udah nungguin dari tadi," ujarnya menyuruh. "Iya, tapi aku mau solat dulu.""Makanya, jangan pergi lama-lama. Beli baju satu aja kayak beli segudang. Lamanya minta ampun."Tak aku hiraukan Mama yang menggerutu. Aku langsung ke kamar dan membersihkan diri. Setelahnya, melaksanakan salat tiga

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 21

    Mas Haikal tidak melanjutkan kata-katanya saat Nela datang. Temanku itu ternganga memindai penampilanku dari atas hingga bawah. "Astaga ... ini beneran si Alina?" tanya teman lainnya yang ikut mengahmpiri kami. "Ck' ck' ck'. Cantik banget, kamu, Lin. Ya Allah bajunya bagus bener! Rambut dikepang sebagian, kayak putri raja, lu. Ini juga perut, kek talenan, rata banget!"Aku terkekeh mendengar pujian Nela yang terus memindaiku. Kulirik Mas Haikal yang masih berada bersama kami. Ia sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dariku. 'Kenapa? Ingat masa lalu?' Ingin sekali aku berucap demikian. Tapi, tidak mungkin karena sekarang dua dayang-dayangnya datang. Amira menarik kasar Mas Haikal untuk menjauh dariku. Wajahnya menyiratkan kecemburuan dan kebencian. 'Gitu aja, marah. Gak inget, waktu dia mesra-mesraan di depanku dulu? Aku marah? Enggak.'"Enggak usah terlalu banyak memuji. Palingan baju yang dia pakai pun dapet nyewa. Amira, dong. Yang dipakai dia dari atas hingga bawah, sem

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 22

    Iya, dia si mantan suami yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Entah apa maunya, dia seperti sengaja ingin mendekat ke arahku. "Ekhem! Pindah sini," titah Bang Aldi yang menyadari keberadaan Mas Haikal. Merasa usahanya mendekatiku gagal, Mas Haikal hanya bisa pasrah saat berdiri dihimpit kakakku dan satu staf lain. Sedangkan aku, pindah ke tempat paling ujung yang hanya ada aku dan Saffa saja sebagai pemegang pisau. "Dalam hitungan ketiga, potong sama-sama, ok?!" ujar MC memberikan aba-aba. Aku dan Saffa bersiap. Putriku itu sudah cengengesan tidak sabar. "Satu, dua, tiga, potong!!"Aku menurunkan pisau hingga menggores kue raksasa itu. Tepuk tangan menggema di seluruh ruangan sebagai tanda suka cita.Musik serta taburan balon serta kertas warna-warni menambah meriah pesta malam ini. "Mama, Caffa mau balon!" ujar putriku memaksa turun dari gendonganku. Dia satu-satunya anak kecil di atas panggung yang pada akhirnya jadi pusat perhatian karena terus berlari-lari ke sana kem

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 23

    "Kamu sengaja mendekatkan Saffa dengan pria lain agar dia melupakanku?" Mataku menoleh dengan cepat, menyeringai ke arah Mas Haikal yang berucap seraya menatapku tajam. "Apa untungnya aku melakukan itu?" tanyaku sembari bersidekap dada. Bersandar pada tembok yang mana di dalamnya ada putriku bersama Adi. Tadi, Mas Haikal terus berusaha mengambil hati Saffa agar mau digendong, tapi anakku menolak. Ia malah merengek meminta Adi untuk menemani dia ke dalam toilet, meskipun aku sudah membujuknya. Hingga akhirnya, kini aku diserang oleh pertanyaan Mas Haikal yang tidak terima anaknya lebih memilih Adi dibandingkan dia. Menyalahkan aku, karena putrinya enggan untuk dia sentuh. "Jelas banyak. Kamu sengaja menghilangkan identitasku sebagai ayahnya, dan kamu ganti dengan kekasihmu."Aku terkekeh. Sungguh pemikiran yang dangkal. Jika mau, aku bisa melakukan itu dengan mudah. Sayangnya, aku tidak setega dia yang dengan sangat ringan tidak mau menganggap Saffa ada. Aku seorang ibu, pikiran

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 24

    Itu bukan hanya akan membuat Mas Haikal terkejut, tapi bisa membangkitkan rasa marah yang luar biasa. Dan Amira, dia pasti akan langsung menyalahkan aku atas ini. "Pah.""Sssttt ... waktu pesta akan segera berakhir. Cepat berkemas, kita akan pulang," ujar Papa seraya berdiri, lalu meninggalkan aku untuk berpamitan kepada rekan-rekannya. Aku pun demikian. Menghampiri meja teman-temanku untuk berpamitan. Sedangkan Saffa, putriku sudah dibawa Mama ke tempat istirahat yang berada di gedung ini. Setelah dari toilet tadi, Saffa tidur dan dipindahkan ke ruangan khusus yang memang untuk tidur. "Kagak nyangka gue, ternyata elu emang orang kaya, Lin. Maafin, ya selama kerja suka dengan berani nyuruh-nyuruh elu," ujar Mbak Maya saat aku mengahampiri meja mereka. "Enggak apa-apa, Mbak. Santai saja. Dulu, kan kita sama. Sama-sama buruh pabrik.""Iye, tapi tetep aja rasanya gue enggak sopan, gitu.""Santuy," ujarku lagi menghapus ketidaknyamanan mereka. Setelah berbasa-basi, kami pun keluar da

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 25

    "Itu perempuan kenapa maen tampar-tampar aja sih? Aduh, merah banget. Sakit, ya, Al?" tanya Mama seraya mengusap pipiku."Lumayan, Mah.""Kenapa gak balas tampar lagi, sih?" "Di sana banyak orang mah, aku diliatin. Ya, kalau yang lihat cuma karyawan Papa doang. Kalau rekan bisnisnya? Aku gak mau bikin Papa malu.""Si Papa juga, anaknya ditampar bukannya laporin tuh orang ke keamanan biar dibawa ke polisi, malah disuruh pulang doang." Lagi-lagi Mama menggerutu. "Papa mana tahu kalau dia nampar Alina. Yang Papa lihat, waktu dia dorong Alina saja. Enggak tahu cerita awalnya gimana.""Kan, sekarang udah tahu cerita sebenarnya, tindak, dong.""Mah, sudahlah." Aku menengahi perdebatan Mama dan Papa. "Bukan sudah-sudah, Al. Kebiasaan. Itu kekerasan namanya. Bisa, kok dipidanakan," tutur Mama lagi terus mengompori. Aku cuma bisa menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Emosi Mama sedang naik. Dia tidak terima dengan perlakuan Amira tadi di parkiran. Mama juga menyuruhku untu

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 26

    Papa menyuruh Bi Narsih untuk mengambilkan ponsel miliknya. Kata Papa, ia akan menelepon polisi serta keamanan perumahan tempat kami tinggal. Selang beberapa menit, keamanan datang dengan diiringi suara sirine polisi. Aku serta keluargaku keluar dari rumah untuk menemui mereka. Tetangga yang mendengar adanya polisi, mereka pun datang melihat apa yang terjadi di sini. "Mbak Alina, ada apa? Tadi, Ibu mendengar suara kaca pecah," tanya tetangga rumahku. "Itu, Bu. Ada yang lempar batu.""Ya Allah ... teror?" ujar wanita tambun berkulit putih itu seraya melihat ke arah kaca yang sudah berserakan. Polisi menanyai Papa mengenai kronologi kejadian dan waktu kejadian. Satu dari mereka pun memotret serta memvideokan kaca yang berserakan di lantai untuk bukti. Aku menyuruh Bi Narsih membuatkan minuman untuk tamu yang datang, sementara aku masuk ke dalam rumah ingin melihat Saffa. Pikiranku masih terus mencari siapa dalang dibalik teror itu. Tapi, otakku tidak menemukan orang lain selain B

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 27

    Mendengar teriakanku, Mama langsung datang terpogoh-pogoh. Begitu pun penjaga di luar, mereka buru-buru menghampiriku."Kenapa, Al?" tanya Mama. "Ular, isi kotak itu ular!""Ular? Mana sekarang?" Salah satu penjaga bertanya padaku. "Ke sana, ke samping sofa." Aku menunjuk ke mana perginya hewan itu. Sumpah demi apa pun, aku sangat syok setelah membuka kotak tadi. Tanganku refleks menjatuhkannya hingga ular itu merayap ke sembarang arah. Dua penjaga langsung mencarinya. Aku bergidik ngeri saat ular itu keluar dari persembunyiannya dan merayap menghindari tangkapan dua pria serta Bi Narsih yang memegang gagang sapu. Setelah beberapa lama mencari dan menikung hewan panjang itu, penjaga rumah berhasil menangkapnya. Mereka langsung membawanya keluar untuk dibuang. Aki tidak bisa membayangkan bagaimana jika tadi aku membawa kotak itu ke Mama. Dibuka putriku yang tengah bermain. "Mama harus menelepon Papa," ucap Mama masuk ke dalam rumah mendahuluiku. Aku menyusulnya dan langsung mas

Bab terbaru

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 408 Ending season 2

    "Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 407

    Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 406

    Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 405

    Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb

  • Membalas Kesombongan Mantan   404

    Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 403 tidak marah lagi

    "Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 402 gara-gara membahas anak

    Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 401 maaf dan permintaan laki-laki di balik jeruji besi

    "Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 400 menggoda Syafiq

    "Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan

DMCA.com Protection Status