"Nenek bilang jangan, ya jangan. Bandel banget, sih gak bisa dibilangin!"
Aku yang tengah mencuci piring di dapur, segera meninggalkan pekerjaanku saat mendengar suara tangis Saffa dengan diiringi bentakan ibu.
'Entah apa yang diperbuat Saffa hingga membuat neneknya itu marah. Ah, paling juga nyenggol barang, atau mungkin Saffa lari-lari yang kemudian tidak sengaja menginjak kaki ibu," pikirku.
Namanya juga anak-anak, pasti ada saja kelakuan dia yang membuat orang dewasa harus memakluminya. Tapi, tidak untuk ibu mertuaku itu. Sekecil apa pun kesalahan Saffa, selalu dipandang dengan serius. Dibesar-besarkan hingga tidak jarang anakku dicubit sampai menangis.
"Ih ... disuruh diem, juga. Diem, jangan nangis terus!" bentak ibu lagi seraya menggiring Saffa dengan kasar hingga anakku tersungkur ke lantai.
"Ya Allah, Ibu. Kenapa Saffa didorong gitu, sih?"
Segera aku mengambil putriku dan mengusap kedua pipinya yang basah oleh air mata.
"Didorong gimana? Orang anakmu jatuh sendiri, juga. Jangan nuduh, deh!"
"Aku enggak nuduh. Aku lihat sendiri, kok kalau barusan Ibu dorong Saffa. Emangnya Saffa salah apa, sih, Bu?" tanyaku seraya mengusap-usap pucuk kepala putriku.
"Tuh, mau nyamperin tukang eskrim di depan rumah. Gegayaan anak kecil mau makan gituan," ujar ibu dengan nada ketusnya.
Aku menggelengkan kepala menyayangkan sikap ibu yang selalu berlebihan.
"Ya Allah, cuma gara-gara eskrim doang. Kenapa tidak dibeliin, Bu?" ujarku kemudian menggendong Saffa.
"Ih, ngapain beliin dia eskrim? Boros! Jangan dibiasakan anak jajan makanan mahal, tapi dapetnya dikit. Buang-buang uang saja," cetus ibu seraya berlalu pergi seraya menentang keresek hitam.
Aku hanya bisa mengelus dada seraya mengembuskan napas kasar. Pantaslah Saffa menangis menginginkan eskrim, karena dia sangatlah jarang menikmati makanan dingin itu. Setiap hari, aku pergi bekerja meninggalkan Saffa yang aku asuhkan ke tetangga.
Tidak tega dengan dia yang terus merengek meminta ice cream, aku pun membelikan satu corong kecil dengan harga dua ribu rupiah. Meski hanya sedikit, itu sudah membuat tangis Saffa berubah menjadi senyum manis.
Semurah itu untuk membuat putriku tersenyum bahagia.
***
"Ukhuk ukhuk!"
Aku mengerjapkan mata, bangun dari lamunan masa lalu yang menyesakkan.
"Pelan-pelan makannya, Sayang. Enak es krimnya?" tanyaku seraya mengusap sudut bibirnya.
"Enak, Mah. Cuka, deh ada di cini, Cafa jadi makan ayam banyak. Ada eckim juga di kukas."
Aku tersenyum, mengusap pucuk kepala putriku yang tengah menikmati makanan penutup yang diberikan Mama. Bukan lagi dalam wadah corong kecil, melainkan mangkuk ukuran besar yang tidak akan mungkin bisa dihabiskan Saffa.
"Tapi, udah dulu makan es krimnya, ya. Sudah batuk, loh tadi. Nanti kapan-kapan dimakan lagi." Aku mengambil mangkuk yang ada di depan Saffa, memasang tutupnya kembali sebelum aku simpan ke dalam kulkas.
Wajah Saffa merengut. Sepertinya dia sangat keberatan. Namun, aku menjelaskan untuk tidak mengkonsumsi terlalu banyak ice cream.
Saffa cerdas, dia menurut dengan apa yang aku katakan. Mengikhlaskan makanan itu untuk aku simpan di lemari pendingin.
"Mama, kapan kita pulang?" tanya Saffa polos.
Diam adalah caraku untuk memikirkan jawaban yang bisa membuat dia paham, tapi tidak melukai perasaannya. Aku tahu, meskipun ayahnya selalu bersikap tidak ramah padanya, tapi rasa kasih dari diri Saffa ada buat Mas Haikal.
"Saffa tidak akan pulang. Sekarang, 'kan rumah Saffa di sini," celetuk Mama yang baru saja kembali dari ruang tamu. Menemui tamu papa yang tak lain adalah rekan bisnisnya.
Tidak mengerti dengan ucapan Mama, tatapan Saffa kembali mengarah padaku mencari kebenaran. Dengan hati-hati, aku pun menjelaskan jika apa yang dikatakan oma-nya itu memang benar.
Entahlah dia akan paham atau tidak, yang jelas aku sudah berusaha menjawab pertanyaan Saffa dengan tanpa merendahkan ayahnya. Bukan karena aku masih memiliki rasa pada Mas Haikal, tapi lebih tepatnya tidak ingin mencederai pikiran Saffa. Dengan seiring waktu dan bertambahnya usia dia, pasti Saffa pun akan mengerti kenapa sekarang kami tidak tinggal lagi bersama ayahnya.
"Nanti, ayah yang akan datang ke cini, ya Mah?" ujar Saffa kemudian. Aku hanya tersenyum kecil.
Justru yang aku harapkan ialah, Mas Haikal tidak lagi datang dalam kehidupanku. Meskipun itu sekedar urusan Saffa. Seperti janjiku saat itu, aku tidak akan mengabarkan apa pun tentang Saffa kepada Mas Haikal. Hingga akhirnya, Saffa sendiri yang datang menemui ayahnya. Jika Saffa sudah dewasa dan akan menikah nanti.
Egoiskah aku?
Iya. Seperti dia yang juga hanya memikirkan kesenangan dirinya sendiri tanpa meraba perasaanku sedikit pun. Menyuruhku bertahan dan membiarkan dia melakukan poligami yang sangat tidak adil.
Menyuguhkan madu untuk wanita itu, dan memberikan bubuk racun padaku.
"Alina, Papa bisa bicara sebentar?" ujar Papa memanggilku.
Aku menganggukkan kepala, mengikuti langkah kaki Papa. Sedangkan Saffa, dibawa Mama untuk melihat kamar yang sudah disediakan mereka untuk putriku.
Ah, Adi. Aku kira dia sangat setia padaku. Tenyata tidak. Diam-diam dia selalu memberikan informasi mengenai diriku kepada Mama dan Papa.
Memang, laki-laki itu tidak bisa dipercaya. Janjinya setia, malah mendua. Janjinya rahasia, tapi dibuka juga.
Menyebalkan.
"Duduk, Al," suruh Papa.
Ruangan ini masih sama. Ruangan kerja papa yang selalu menjadi tempatku bersembunyi jika Bi Narsih menyuruhku mandi waktu dulu.
Selain keluarga inti, tidak ada yang bisa masuk ke dalam sini karena pintunya yang memakai kode rahasia. Hanya keluarga yang tahu.
"Papa, akan membuat pengumuman di seluruh garmen, mengatakan jika kamu adalah putri Papa. Papa juga akan memecat semua orang yang berhubungan langsung dengan mantan suamimu. Termasuk Baskoro, atasan mantan suamimu yang kini menjadi mertuanya."
"Jangan, Pah!" kataku cepat.
"Jangan?" Papa menatapku dengan heran. "Kamu keberatan Papa memecat mantan suamimu?" tanyanya lagi dengan nada kesal.
Aku menganggukkan kepala. "Alina, bukan keberatan Mas Haikal kehilangan pekerjaan. Namun, hukuman itu terlalu ringan untuk mereka, Pah. Setidaknya, biarkanlah aku bermain-main dahulu dengan mereka sebelum akhirnya dia tahu siapa wanita yang dia campakan ini," ujarku membuat Papa diam tanpa mengalihkan pandangan dariku.
Kemudian pria yang selalu terlihat tampan di usianya yang tak lagi muda itu memajukan tubuh. Tangannya bertumpu pada meja yang jadi penghalang antara aku dan dirinya.
"Lalu, apa yang ingin kamu lakukan pada mereka?" tanyanya kemudian.
Aku hanya memberikan seulas senyuman seraya mengedipkan sebelah mata. "Tunggu saja. Nanti pun Papa akan tahu."
Bersambung
"Tetep mau ke pabrik?" tanya Mama saat kami tengah menikmati sarapan pagi. Aku mengangguk seraya menyuapkan nasi ke dalam mulut dengan cepat. Pagi ini aku bangun kesiangan. Bukan karena saking nyenyaknya tidur di kasur besar, tapi karena Saffa yang merengek minta pulang. Ia tidak bisa tidur karena tidak ada boneka kesayangannya yang diambil ibu waktu itu. Mama dan papa bergantian membujuk bahkan menggendong putriku, hingga akhirnya Saffa bisa tidur karena sudah terlalu lelah menangis. "Kenapa harus ke pabrik, sih, Al. Sudahlah, mendingan kita jalan-jalan saja, yuk. Belanja, bermain dan membeli boneka untuk Saffa," tutur Mama membujuk. Namun, keputusanku sudah bulat. Aku akan tetap pergi ke pabrik untuk bekerja. Menjalankan misi, yang semalam sudah aku bahas dengan papa. "Tidak bisa, Mah. Alina harus tetap bekerja. Dan ... titip Saffa, ya, Mah?" ujarku melirik pada putri kecil yang ikut sarapan bersama kami. "Gak usah dititipin juga, Saffa sudah jadi tanggung jawab kami, Al. Per
"Huft, ternyata ngerjain orang itu menegangkan," ujarku langsung menghenyakkan bokong pada kursi. Membuka tutup botol, menegak air minum yang ada di dalamnya. Satu persatu orang-orang mulai berdatangan menghampiri tempat duduk mereka masih-masing. Bisa aku dengar jika mereka datang seraya membahas apa yang baru saja terjadi di toilet yang letaknya berada di dekat grup A. Sedangkan aku, berada di grup G dengan ketua grup yang tak lain adalah mantan suamiku sendiri. Ih, malas sekali harus bertemu setiap hari dengannya. Bersikap santun pada pria yang sudah menggoreskan banyak luka dalam hidupku. "Lin, kamu berantem dengan Mbak Amira?" Aku menoleh pada teman satu grup yang langsung menghampiri mejaku. "Ih, berantem apaan?" ujarku mengerutkan kening, mengedikkan bahu."Itu, di grup A rame pada ngomongin kamu. Katanya kamu jorokin Qiusi mereka sampai bokongnya basah kena air di toilet," ujar Nela lagi. Aku menarik tangan temanku itu agar merendahkan tubuhnya. Berbisik di telinga dia
"Huhu ... Saffa." Aku memeluk tubuh mungil putriku dengan sangat erat. Jantung ini seakan berhenti berdetak kala sepeda motor tadi melesat cepat menghadirkan angin yang menyapu wajahku. Bayangan akan kehilangan putri semata wayangku sudah terpampang jelas. Namun, Tuhan berkehandak lain membuat bayangan menyeramkan itu hilang berganti dengan rasa syukur yang tiada tara."Kamu, tuh kalau sama anak, tangannya jangan dilepasin. Untung saja aku bisa menarik dia, kalau tidak? Mati, tuh anak!" ujar Mbak Sum yang tadi menolong Saffa. Wanita yang dikenal paling bengal di pabrik itu berujar kesal padaku. Bagiamana tidak, dia harus jatuh terjengkang ke belakang seraya memeluk tubuh Saffa demi menghindari sepeda motor tadi.Aku tidak menjawab apa-apa. Masih duduk di tanah seraya terus memeluk putriku menciumi pucuk kepalanya berulang kali. "Terima kasih, ya sudah menolong cucu saya," ujar Mama terdengar suaranya. Orang-orang berkerumun melihat diri ini yang menangis bersimpuh masih enggan me
Permainan hari ini sepertinya sudah cukup. Aku mengambil ponsel, menelepon supir mobil derek yang membawa mobil Mas Haikal. "Pak, berhenti, Pak. Ternyata itu bukan mobil suami saya. Mobil suami saya sudah diambil sama karyawan bengkel.""Lah, si Ibu gimana, sih? Katanya bener itu mobilnya. Terus ini yang saya bawa mobil siapa?" tanyanya panik. "Punya orang. Itu pemiliknya sampai ngejar-ngejar di belakang.""Aduuuh, si Ibu bikin masalah saja, kalau orangnya minta ganti rugi gimana, Bu?" "Tentang, Pak. Saya yang tangguh jawab. Biaya angkut mobil itu juga akan saya bayar dua kali lipat. Bapak gak usah khawatir."Sambungan telepon terputus. Mobil derek itu berhenti dan si supir keluar dari mobilnya. Perdebatan antara Mas Haikal dengan supir mobil derek pun terjadi. Tapi, untungnya si supir tidak mengatakan diriku sebagai dalang dari masalah ini. Aku sudah mewanti-wanti dia dan akan aku beri imbalan yang setimpal untuk kerja sama yang menyenangkan ini. Pak Yadi—supir Papa sudah datang.
Gelak tawa laki-laki terdengar begitu menyenangkan saat kaki ini mulai mendekati ruang tamu. Sepertinya, orang yang ingin bertemu denganku bukanlah orang baru untuk Papa. Apa mungkin rekan bisnis Papa? Lalu, kenapa dia mau menemuiku? Seingatku, aku tidak mengenal siapa-siapa saja yang berbisnis dengan Papa. Dekat, apalagi. Sangat tidak sama sekali. Mungkinkah temanku? Rasanya tidak mungkin temanku bisa membuat Papa tertawa lepas seperti itu. Kepulanganku ke rumah ini pun tidak diketahui mereka. "Pak Gunawan. Apa kabar, Pak?" Langkahku terhenti saat Mama menyebutkan satu nama yang tidak asing di telingaku. Kakiku refleks berhenti dan mematung di belakang sofa yang kosong. Gunawan. Aku pernah mendengar nama itu disebutkan Papa beberapa kali di rumah ini. Yang aku tahu, dia adalah seorang pengusaha textile yang tak lain adalah sahabat Papa juga. Pak Gunawan jugalah yang waktu itu menawarkan perjodohan antara aku dan putranya yang sampai saat ini belum aku ketahui. Penolakan dari
Tiga puluh menit berlalu tangis Saffa belum juga mereda. Suaranya sudah sangat parau dengan keringat membanjiri wajahnya. Kalau sudah begini, tidak ada cara lain selain pergi untuk mendapatkan apa yang Saffa inginkan. Saffa akan kuat untuk menahan tidak jajan atau tidak makan. Itu sudah biasa. Tapi, untuk pisah lama jauh dari bonekanya, ya seperti sekarang ini. Mengamuk tak tahu waktu. Salah aku juga, sih kemarin menjanjikan akan segera memberikan dia yang baru. Tapi, kejadian di depan pabrik tadi sudah menyita waktuku untuk pergi ke toko boneka. "Dah, yu beli, yuk." Bang Aldi sudah membawa kunci mobil miliknya. Dia mengangkat tubuh Saffa yang terkulai di lantai. Tidak ada perlawan dari putriku. Lama menangis membuat dia kelelahan dan pasrah digendong oleh pamannya itu. Di dalam mobil, aku memperbaiki rambut Saffa yang berantakan. Mengusap wajahnya yang penuh air mata dengan rasa yang entah mengapa membuatku ingin menangis. Seharusnya, seorang ayah ada di saat putrinya merajuk
"Ya ampun, Al, banyak banget bonekanya?" "Stttt ..." Aku memberikan isyarat kepada Mama karena putriku telah tidur dalam gendongan.Mama mengerti. Ia membiarkanku untuk masuk melewati dia yang masih kebingungan melihat banyak sekali boneka yang dikeluarkan Bang Aldi dari mobil.Sampai di kamar, aku segera menurunkan Saffa yang terlelap tidak melepaskan boneka barunya. Hati merasa lega karena Saffa tidak meminta boneka yang lama. Ia cukup senang dengan barang yang saat ini dipeluknya. "Popo."Aku menyunggingkan senyum saat bibir mungil itu berucap seraya mengeratkan pelukan pada mainan barunya. Setelah memastikan Saffa tidur dengan nyaman, aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sesudahnya, aku langsung merebahkan diri di samping putriku. Mengistirahatkan tubuh serta pikiran. Biarkanlah Bang Aldi yang menjelaskan kepada Mama kejadian di mall tadi. Jangankan Mama, Bang Aldi pun terkejut karena aku keluar dengan banyak sekali boneka itu. Ah, rasanya aku ingin tertawa denga
"Tahu, Non.""Tahu anaknya?" tanyaku membuat Adi sedikit memelankan laju mobil. "Kenapa Non Alina menanyakan anak Pak Gunawan?""Semalam, Pak Gunawan datang lagi. Kayaknya, yah mereka masih mau menjodohkan aku dengan anak Pak Gunawan itu, deh. Aku juga heran, apa laki-laki itu tidak laku-laku hingga masih sendiri sampai saat ini?""Ah, masa gak laku, Non. Anaknya Pak Gunawan ganteng, lho.""Ya, kamu pikir saja, Di. Aku udah nikah, lima tahun yang lalu. Tapi, itu cowok enggak nikah-nikah. Apa sebenarnya dia udah nikah, tapi saat mendengar aku cerai, dia juga menceraikan istrinya? Wah, gak bener, tuh laki. Sarap."Adi tidak menjawab. Dia malah terkekeh, menutup mulutnya dengan punggung tangan. Aku bukan mengada-ada, tapi menduga-duga. Umumnya, orang yang ditolak, ditinggal nikah, pasti mencari kebahagiaan baru dengan orang yang baru. Tapi orang yang tidak aku tahu namanya itu, seperti yang mati rasa. "Apa jangan-jangan dia belok, ya, Di?" "Hahaha, si Non ada-ada saja. Sudah sampai, t