"Kamu serius dengan permintaanmu itu?" Aldi bertanya dengan tatapan tidak percaya. "Iya," kataku, "berikan semua harta Abang? Maka aku akan menjualnya, lalu menyumbangkan seluruh uang itu untuk panti asuhan. Dengan begitu, Abang tidak akan merendahkanku karena kita sama. Sama-sama miskin tidak punya apa-apa."Aldi mengembuskan napas kasar. Ketegangan yang tadi ada pada dirinya, kini mulai menghilang. Yang tersisa hanya senyum kecil dengan pandangan menunduk ke bawah. "Aku kira—""Benar-benar meminta uangmu?" kataku memotong ucapannya. "Aku pun inginnya begitu. Aku ingin jadi orang jahat yang membawa kabur harta Abang. Tapi ... sayangnya rasa cintaku teramat besar hingga kulihat hanya dirimu, bukan uangmu."Aldi mengangkat kepala dan menatapku kembali. Tatapannya kali ini tidak bisa kuartikan. Matanya tajam, tapi pandangannya tidak menusuk. Justru lebih lembut hingga rasa damai yang kurasakan dari pancaran matanya itu. Pandangan kami saling mengunci untuk beberapa saat. Hingga akhir
"Itu foto Rindu, kan? Terus, itu yang disampingnya siapa?" Nyonya Marta kembali bertanya seraya menunjuk gambar wanita di sebelah Rindu yang wajahnya ditutupi stiker kepala babi. "Aku juga gak tahu, Mah. Kenapa harus ditutupi, sih? Dan kenapa dalam tulisan tadi, kita harus hati-hati pada wanita yang bersama Rindu ini?" Mendengar pertanyaan Aldi dan Nyonya Marta, aku hanya diam tanpa kata. Meskipun hanya melihat sekilas dan ditutupi stiker, aku sudah tahu siapa wanita yang ada dalam gambar itu. Aku. Akulah wanita yang ada di sana. Dan aku sangat yakin, jika Damar-lah yang mengirim foto itu sebagai ancaman untukku. Berengsek! Dia berhasil membuat jantungku akan loncat. "Emh ... mungkin itu adiknya Rindu, Bang?" Aku mulai mengeluarkan suara setelah beberapa saat menetralkan detak jantung. "Mungkin saja, sih. Tapi ... maksud dari kata-katanya apa?" "Bukannya Bang Aldi pernah ditawari turun ranjang?" Aku menjawab pertanyaan Nyonya Marta. "Mungkin karena dia sakit hati atas penolakan
Entah apa yang ada dalam pikiran Aldi saat aku mengucapkan kalimat tersebut. Tapi, untungnya kata-kata tadi hanya ada dalam hati saja. Sebenarnya aku belum bicara pada Aldi setelah memanggilnya tadi. Aku diam dengan masih menatap dia yang sekarang mulai kebingungan."Ada apa?" tanya Aldi lagi seraya mengibaskan tangannya. Aku menggelengkan kepala dengan senyum tipis pada dia. Dia yang merasa dipermainkan, langsung memalingkan wajah seraya berdecak kesal. Semakin sore kerjaku semakin tidak fokus. Aku terus memikirkan bagaimana caranya mendapatkan kunci lemari yang selalu dia sembunyikan?"Sepertinya kamu kelelahan, Aruna. Dari tadi banyak bengongnya," ujar Aldi seraya membuka tutup botol air mineral. "Iya, Bang. Sepertinya aku masuk angin, tubuh rasanya tidak enak begini.""Makanya, kalau tidur pake baju."Aku langsung menoleh pada dia yang sedang tersenyum seraya mengusap bibirnya yang basah. Kekehan kecil aku berikan sebagai tanggapan canda dari suamiku itu. "Pulang kerja mau ja
"Eh, Bang. Ini ... yang punya kontrakan. Dia ... nagih uang sewa," kataku dengan gugup. Aldi yang tadi hanya diam di ambang pintu, kini dia masuk dan menghampiriku. Aku gelisah, takut jika dia tidak percaya dengan kata-kataku barusan. "Kamu belum bayar kontrakan?" tanyanya kemudian. Aku mengangguk demi untuk menutupi kebohongan. Aldi mengotak-atik ponselnya sebentar, lalu denting notifikasi tiba-tiba masuk ke ponselku. Aku tertegun saat melihat rupanya pemberitahuan jika ada uang masuk ke rekeningku. "Sudah masuk, 'kan? Besok kamu bayarkan," ujar Aldi lagi. Aku tidak bisa berkata-kata. Rasa bersalah tiba-tiba hadir karena telah membohonginya. Bukan hanya bohong, aku bahkan telah menipu dia dengan berbagai cara. "Ma–makasih, Bang." Aku berucap pelan seraya menatapnya nanar. Dia sudah baik sekali padaku, tapi perbuatanku mendzoliminya. Aku jahat telah memanfaatkan kebaikannya demi seseorang yang ingin menghancurkan dia. Tuhan ... aku benar-benar salah. "Jangan ditekuk lagi, do
"Ya Allah, ya Robb ...." Aku dan Aldi sama-sama kagetnya saat melihat penampakan kaca depan yang sudah pecah berantakan. Tanganku langsung memegang lengan Aldi yang berdiri tak jauh dariku. "Den, ada apa, tad—"Bi Narsih tidak melanjutkan kata-katanya saat melihat apa yang terjadi di ruang tamu. Wanita itu menutup mulut dengan wajah yang sama kagetnya denganku. "Siapa yang melakukan ini?" tanya Aldi seraya berjalan ke arah pintu, lalu keluar dari rumah dan berdiri di teras. Matanya ke sana kemari mencari sekiranya ada orang yang mencurigakan di sini. Saat aku hendak mengikutinya, mataku menangkap benda yang menjadi pemicu pecahnya kaca rumah. Aku berjongkok di samping sofa, memungut batu yang dibungkus kertas putih. [Jangan bermain-main denganku, atau habislah riwayatmu,] bunyi pesan yang tertulis pada kertas tersebut. Cepat-cepat aku melipat kertas itu, lalu memasukkannya ke dalam saku piyama yang aku kenakan. Untung saja, Bi Narsih mengikuti Aldi ke luar. Jadi, dia tidak tahu
"Bang."Aldi tidak memberikan jawaban atas panggilanku. "Bang Aldi," panggilku lagi seraya menggoyahkan tubuhnya. Akan tetapi, suamiku tidak merasa terganggu. Dia tidur, dia terlelap sangat nyenyak setelah satu jam yang lalu pertempuran kami selesai. Tadi setelah selesai, aku tidak langsung beranjak dan mencari kunci lemari. Aku sengaja menemani Aldi tidur hingga dia benar-benar terlelap. Tentu saja cara ini agar bisa membuatku leluasa mencari barang yang aku inginkan. Setelah memastikan Aldi tidur pulas, aku pun beringsut turun dari ranjang. Kukenakan semua pakaian, lalu mulai beraksi mencari kunci lemari Aldi. "Tas. Tadi, dia mengatakan di dalam tas. Tas yang mana?" kataku bicara sendirian. Aku mengambil tas kerja milik suamiku. Menggeledah isinya untuk bisa menemukan kunci lemari itu. Namun, sayangnya tidak ada. Isinya hanya kertas-kertas yang berhubungan dengan pekerjaan."Tas mana, sih?" kataku lagi menyisir seluruh ruangan untuk mencari barang yang kumaksud. Pandanganku la
"Dapur, Bang," kataku dengan kedua mata yang terpejam. Beberapa saat diam di ambang pintu dengan tidak berani untuk menoleh ke belakang, tapi suara Aldi tidak terdengar lagi. Aku pun memberanikan diri untuk menoleh, dan ... Aldi tidur lagi? Oh, astaga. Apa sebenarnya tadi dia hanya mengigau? Kuembuskan napas kasar membuang sesak yang tadi menumpuk. Kemudian melanjutkan langkah untuk sampai ke samping rumah di mana Damar sudah menunggu. Hati-hati sekali aku berjalan agar tidak mengeluarkan suara. Takutnya, tidur Bi Narsih terganggu dan akan memergokiku. "Dam," panggilku saat keluar dari pintu samping. Pria itu tidak terlihat karena penerangan yang temaram. "Damar." Aku memanggil pria itu lagi dengan setengah berbisik. Aku turun dari teras, menginjakkan kaki telanjangku pada rumput yang terasa dingin di kulit telapak kaki. Saat akan melangkah lagi, tiba-tiba saja rambutku ditarik dari belakang membuatku hampir berteriak karena kaget. Untungnya, Damar membekap mulutku meredam s
Aku terlonjak kaget saat Bi Narsih ada di depan wajahku. Kaki yang baru saja masuk, terpaksa harus berhenti berjalan dengan mengatur detak jantung yang selalu berdebar kencang. "Anu, Bi. Tadi ... seperti ada suara gitu, makanya saya turun buat lihat. Tapi, ternyata tidak ada apa-apa," ujarku seraya menutupi kegugupan. "Kirain Bibi aja yang mendengar ada suara, ternyata Neng Runa juga dengar?"Aku mengangguk membenarkan perkataan Bi Narsih. Kami pun kembali ke ruang tengah dengan berjalan beriringan hingga akhirnya terpisah di bawah tangga. Aku naik ke lantai dua, sedang asisten rumah tangga itu kembali ke kamarnya di belakang. Malam ini Bi Narsih terpaksa tidur sendiri karena suaminya menginap di rumah Alina bersama Dinata dan Nyonya Marta. Sesampainya di kamar, aku segera naik ke atas ranjang seraya menyusupkan wajah ke dada Aldi. Kulingkarkan tangan ke pinggangnya mencari kenyamanan dalam dekapan yang hangat ini. "Maaf," lirihku nyaris tanpa suara. Betapa jahatnya diriku sebag