"Nipu? Nipu apa?" tanyaku tidak mengerti dengan kata-kata Damar. Aku bingung antara mengejar Aldi atau mendengarkan Damar yang sepertinya sedang marah. Dan yang terjadi sekarang ialah, aku mematung di ambang pintu kamar. "Lo nipu gue, Aruna! Katamu, semua aset Aldi ada di dalam brankas, nyatanya gak ada! Isinya cuma duit dua puluh juta saja!!" teriak Damar sangat marah. "Dua puluh juta saja? Tidak mungkin, Dam." "Kamu gak percaya? Akan aku alihkan pada panggilan video agar kamu bisa melihat isi dari brankas itu!" ujar Damar lagi. Buru-buru aku menutup pintu kamar, lalu masuk ke kamar mandi agar bisa sedikit leluasa membahas masalah brankas bersama Damar. Dan benar saja, saat Damar mengalihkan panggilan, aku bisa melihat brankas yang sudah dirusak itu berisikan uang saja. Tidak ada surat-surat penting seperti kepemilikan usaha, ataupun emas batangan seperti yang ada dalam pikiran Damar. "Damar, itu tidak mungkin. Mana bisa aku percaya padamu yang tukang bohong! Aku tahu, kamu pa
"Ada apa, Mah?" tanya Aldi setelah kami sampai di lantai satu. Tepatnya di teras rumah."Lihat, lihat itu, Aldi!" Nyonya Marta menunjuk kardus di bawah kakinya yang mengeluarkan aroma amis. Aldi yang ingin tahu isi dari kardus tersebut, menghampiri dan membuka tutup dari benda tersebut. "Astaghfirullah!" ujar Aldi kaget. Aku menutup hidung seraya melongok melihat apa gerangan di dalam kardus berisikan ayam mati dengan berlumur darah. Di atasnya ada secarik kertas bertuliskan ancaman yang ditujukan untuk ...?[Adikmu dalam kuasaku.]"Luna.""Alina."Aku dan Aldi menyebutkan nama adik kami masing-masing. Ingatkanku langsung tertuju pada Luna yang saat ini masih bersama Damar. Dan aku sangat yakin, jika pria itulah yang mengirim ayam mati tersebut. "Mama telepon Alina sekarang. Pastikan kalau dia baik-baik saja!" Aldi memberikan perintah pada ibunya. Mereka pun sibuk. Dinata Wiratmadja dan Nyonya Marta menghubungi putrinya dan mewanti-wanti Alina agar berhati-hati. Sedangkan aku, h
"Ke mana, Kak?" tanya Alina dengan menatapku lekat. Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Yang aku mau sekarang, pergi menyelamatkan Luna dari kemungkinan-kemungkinan yang terjadi nantinya. Aku tidak mau adikku celaka karena marahnya Damar padaku."Kakak tidak tahu, Lun. Yang jelas, kita harus pergi dari sini sebelum Damar kembali. Kakak tidak mau terjadi apa-apa denganmu. Sekarang, cepat bereskan beberapa pakaianmu." Luna tidak lagi bertanya. Dia langsung mengambil tas besar dari atas lemari, lalu memasukkan beberapa pakaian ke dalamnya. Aku pun turut membantu agar kami bisa segera pergi. Setelah dirasa cukup, aku menarik tangan Luna keluar dari kamar. Di ruang tamu, aku melihat brankas milik Aldi yang sudah rusak, juga kosong tanpa isi. "Kenapa, Kak?" Luna bertanya saat aku mematung melihat barang suamiku. "Tidak, tidak apa-apa. Ayo, cepetan kita pergi dari sini." Langkah kaki kami sangat lebar untuk bisa meninggalkan rumah kontrakan yang sudah kami tempati selama beberapa
"Ah, tidak usah, Bang. Abang, kan lelah ngurus ini itu soal teror, jadi sebaiknya aku saja yang temani Luna. Atau ... kalau Abang mau kita sama-sama terus, biar aku suruh suster aja yang jagain dia. Luna gak rewel, kok. Dia paham dengan keadaan kita yang masih pengantin baru," ujarku tanpa jeda. Tangan ini memijit pundak Aldi yang duduk tak jauh dariku. Ingin rasanya aku berteriak memaki diri sendiri yang bodoh dan tidak berpikir panjang sebelum berucap. Bisa-bisanya aku mengatakan Luna sendirian di rumah sakit. Ya, tentu saja Aldi sebagai kakak ipar, tidak tega membiarkan satu-satunya keluargaku dalam kemalangan. "Ngawur, kamu. Masa, biarin Luna sama suster. Sudahlah, nanti kita ke rumah sakit bareng-bareng. Aku khawatir kalau cuma kamu yang pergi sendiri," cetus Aldi seraya melirikku tak suka. "Emh ... sebenarnya Abang sudah jatuh cinta juga padaku, 'kan? Makanya gak bolehin aku pergi sendiri dan mau sama-sama terus.""Ngaco, kamu.""Kok, ngaco? Beneran, 'kan, Abang jatuh cinta
"Kapan datang?" tanyaku lagi Gadis manis berambut panjang itu menghampiri. Dia duduk di ujung ranjang, dengan mata bulatnya menatap ke arahku. "Baru saja datang, Tante. Tante kenapa di kamar terus? Sakit?" Saffa bertanya dengan meraba tanganku yang ada di dekatnya. "Enggak, kok. Tante baik-baik saja. Emh ... Saffa sama siapa datang ke sini?" "Sama Mama dan Papa. Kita akan menginap di sini, loh.""Oh, ya? Senengnya ...."Saffa tersenyum begitu manis. Kemudian dia naik ke atas tempat tidurku dan berbaring di sana menatap langit-langit kamar berhiaskan lampu. Sedangkan aku, memilih menemui Alina yang katanya baru saja datang. Aku tidak khawatir Saffa berada di kamar seorang diri. Dia sudah besar, tahu mana yang akan membuatnya celaka dan yang tidak. "Mbak Alina, kapan datang?" sapaku kepada adik dari Aldi itu. "Hai, Run. Baru saja, kita disuruh Papa buat nginap di sini. Katanya khawatir."Aku menjatuhkan tubuh di samping wanita yang selalu tampil cantik itu. Aku terus bertanya per
Sudah kuduga, Nyonya Marta pasti percaya pada Kamila, dan termakan omongan wanita serigala berbulu domba itu. Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Nyonya Marta. Memilih duduk terlebih dahulu agar jantungku yang berdebar, bisa santai kembali. Alina dan Nyonya Marta ikut duduk. Mereka masih menanti jawaban soal ucapan Kamila tadi. "Mama, Mbak Alina, sebelumnya aku mau minta maaf atas ucapan Dokter Kamila yang mungkin sangat menggangu pikiran Mama. Tapi, percayalah jika apa yang Dokter Kamila katakan, itu tidak benar. Dia memutar balikan fakta demi menutupi kebusukannya.""Kebusukan apa?" tanya Nyonya Marta lagi. "Sebenarnya, setelah pernikahan aku dan Bang Aldi, Dokter Kamila sempat menemuiku. Dia menawarkan kerja sama dengan imbalan yang sangat besar," ucapku membuat kedua wanita di depan sana semakin tidak sabar. "Kerja sama?" Kini Alina yang bertanya. Aku menganggukkan kepala. "Dia memintaku membantunya memisahkan Mbak Alina dan Pak Adikara. Katanya, Pak Adi cinta pertama dia
"Siapa?" tanya Aldi menoleh padaku yang tak kunjung Mengangkat panggilan telepon. "Emh ... biasa. Luna," jawabku bohong. "Oh, yasudah angkat saja.""Aku ngobrolnya di balkon, ya? Biar Abang gak keganggu.""Eng—""Halo," ucapku seraya berjalan ke arah balkon tanpa memedulikan Aldi yang sempat berucap. Tidak mungkin aku bicara di depan Aldi, karena bukan adikku yang menelepon. Melainkan Damar yang entah untuk apa lagi dia meneleponku. "Halo, Aruna. Masih mau melawanku?" Aku tersenyum miring mendengar pertanyaan yang lontarkan Damar. Dia bertanya seolah-olah apa yang telah dia lakukan mampu membunuh keberanianku. Padahal tidak sama sekali. Justru aku mulai menikmati serangan demi serangan yang dia berikan. "Sebenarnya aku tidak mau melawanmu, Dam. Kita kerabat, loh. Katamu, kita ini saudara. Tapi ... jika inginmu kita saling serang, aku bisa apa? Hanya mampu menunggu dan menangkis seranganmu."Terdengar kekehan dari seberang sana. "Seandainya kamu tidak membangkang, aku pun tidak a
[Bayar utang-utangmu, atau Luna adikmu jadi tawananku.]"Brengsek!" umpatku seraya melayangkan tangan memukul udara. Hampir saja ponsel di tangan terjun bebas jika aku tidak benar-benar kuat memegangnya. Ancaman Damar kali ini benar-benar membuatku muak. Dia menyeret Luna dan menjadikan adikku sebagai kelemahan. Tunggu! Apakah Damar sudah tahu keberadaan Luna sekarang?Aku mengetuk pesan balasan untuk Damar, kemudian segera mengirimkannya. [Jangan bawa-bawa Luna. Lagipula, kamu tidak tahu Luna tinggal di mana sekarang,] kataku. Beberapa saat aku menunggu, tapi Damar belum juga membaca pesanku. Hingga akhirnya, pesan kembali masuk dan kali ini disertai foto yang membuat dadaku tiba-tiba sesak luar biasa. [Apakah dia adikmu?] ujar Damar seraya mengirimkan gambar dirinya yang sedang bersama Luna. Sial! Laki-laki itu telah berhasil menemukan adikku. Di dalam foto tersebut, Luna terlihat ketakutan dengan tatapan mata sendu ke arah kamera. Aku mencoba menelepon Damar, tapi tidak bis
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan