[Bayar utang-utangmu, atau Luna adikmu jadi tawananku.]"Brengsek!" umpatku seraya melayangkan tangan memukul udara. Hampir saja ponsel di tangan terjun bebas jika aku tidak benar-benar kuat memegangnya. Ancaman Damar kali ini benar-benar membuatku muak. Dia menyeret Luna dan menjadikan adikku sebagai kelemahan. Tunggu! Apakah Damar sudah tahu keberadaan Luna sekarang?Aku mengetuk pesan balasan untuk Damar, kemudian segera mengirimkannya. [Jangan bawa-bawa Luna. Lagipula, kamu tidak tahu Luna tinggal di mana sekarang,] kataku. Beberapa saat aku menunggu, tapi Damar belum juga membaca pesanku. Hingga akhirnya, pesan kembali masuk dan kali ini disertai foto yang membuat dadaku tiba-tiba sesak luar biasa. [Apakah dia adikmu?] ujar Damar seraya mengirimkan gambar dirinya yang sedang bersama Luna. Sial! Laki-laki itu telah berhasil menemukan adikku. Di dalam foto tersebut, Luna terlihat ketakutan dengan tatapan mata sendu ke arah kamera. Aku mencoba menelepon Damar, tapi tidak bis
Anak-anak yatim dan yatim piatu yang ada di panti asuhan milik Bunda Nur, sudah berbaris tertib untuk menerima santunan dari Dinata Wiratmadja dan Nyonya Marta. Sebagai donatur tetap, juga sebagai sahabat Bunda Nur, mertuaku cukup dikenal oleh pengurus dan sebagian besar anak-anak yang ada di sini. Maka tidak aneh saat kami datang, anak-anak berebut menyalami orang tua suamiku itu. "Kalian bagikan ke barisan yang sebelah sana, ya?" pinta Nyonya Marta padaku dan Aldi. Kami pun menuruti permintaan Nyonya Marta. Satu tumpuk amplop berisikan uang kami bawa dan bagikan pada anak-anak yang usianya sebaya Saffa. "Bang, mereka semua sekolah?" tanyaku pada Aldi seraya menerima tangan anak-anak yang mencium punggung tanganku sebagai tanda terima kasih. "Tentu saja iya. Bahkan sampai ada yang sedang menempuh pendidikan perguruan tinggi.""Hah? Emang mampu? Anak-anak di sini, 'kan banyak," tanyaku lagi. "Alhamdulillah, karena pengelolaan yang baik serta banyak orang-orang berhati malaikat y
Ribuan panah api seakan menyerang jantungku berulang kali. Hatiku terbakar, remuk, hancur, duniaku menggelap melihat keadaan adikku di depan sana. Tulang-tulang dalam tubuhku tak mampu lagi menopang raga ini hingga akhirnya aku ambruk dengan tatapan tak lepas dari Luna. "Luna ...," Lirih aku memanggil berharap dia akan menoleh dan menghampiriku yang sudah bergetar melihat keadaannya. Namun, sayangnya dia tidak mendengar panggilanku. Dia cuek, dia dingin, sama sekali tidak mengindahkan panggilanku. "Lun–na," panggilku lagi. Air mata sudah menganak sungai membanjiri pipi. Perlahan, aku menggeser tubuh ini untuk bisa semakin dekat dengannya. "Dek." Tanganku terulur memegang kakinya yang sudah dingin menggantung dengan leher terikat kain. Sesak, dadaku sakit melihat adikku tergantung dengan mata yang melotot tidak berkedip. "Lu, Lunaaaaaaa!!" Aku kembali berteriak sangat kencang hingga telingaku berdengung dan sedikit sakit.Tangan kukepalkan kuat meremas baju untuk berendam sakit
[Kakak ... saat kamu membaca surat ini, berarti aku sudah pergi. Maafkan aku yang memilih jalan seperti ini. Aku sakit, Kak. Lukaku sangat dalam. Aku tidak sanggup menghadapi dunia dengan diriku yang sekarang. Aku tidak punya masa depan lagi.]Baru membaca beberapa kalimat yang Luna tulis, air mataku sudah kembali menganak sungai. Berbagai tanya muncul dalam benak mengenai apa yang terjadi pada adikku. Kuusap bulir bening yang menghalangi pandangan, lalu mulai melanjutkan membaca kata per kata goresan pena Luna. [Kak, kenapa Kakak gak datang saat aku menghubungi Kakak? Tahukah kamu, jika saat itu duniaku sangat mencekam. Aku takut, aku sangat takut hingga aku tidak bisa berbuat apa-apa.]"Ya Tuhan ... Luna." Aku memegangi dada yang terasa sangat sesak. Kusnandar punggung pada tembok kamar untuk menopang tubuh yang terasa lemas kembali. Kutajamkan penglihatan untuk bisa membaca surat yang menceritakan kejadian sebelum adikku mengembuskan napas terakhir. [Semua berawal dari kedatang
"Aruna, gara-gara adikmu bunuh diri di sini, pasti rumah ini tidak akan laku lagi. Astaga ... aku kira kalian anak baik-baik, ternyata nakal! Pemabuk! Hancur usahaku karena kalian ini!" Aku tidak sama sekali meladeni kemarahan Bu Mina pemilik kontrakan. Tenagaku sudah habis dipakai menangis meratapi kepergian Luna yang mengenaskan. Sekarang, aku tengah mengemasi barang-barang milikku dan Luna karena Bu Mina yang minta. Wanita itu tidak ingin ada barang kami satu pun di rumahnya. Dia juga mengeluarkan semua perabotan dan barang-barang milik Damar. "Apa jangan-jangan ... laki-laki yang tinggal di sini itu bukan kakak kamu, Aruna? Kalian pasangan kekasih yang kumpul kebo?" ujar Bu Mina menatapku penuh curiga. Aku tidak menjawab. Mendengar nama Damar disebut, membuat emosiku memuncak kembali. Dengan tanpa bicara apa pun lagi, aku langsung pergi tanpa pamit meninggalkan rumah yang menjadi saksi hancurnya adikku. "Hey, Aruna. Ini barangmu tidak kau bawa?!" Aku menoleh sebentar, lalu me
"Jangan panggil aku mamah!!" hardik Nyonya Marta menolak panggilanku. Dada wanita itu naik turun dengan mata yang terus menyorotiku penuh amarah. Dinata Wiratmadja menghampiri kami. Dia berdiri satu tingkat dari istrinya dengan menatapku benci. "Aku butuh penjelasanmu," ujar Dinata penuh penekanan. Telunjuknya mengarah ke wajahku yang mungkin sudah pucat pasi. "Tidak ada yang perlu dijelaskan, Pah!" Nyonya Marta berteriak. "Semuanya sudah jelas. Video itu sudah mengatakan semuanya! Tentang dia, kejahatan dia dan kawannya si brengsek itu!" Aku memejamkan mata seraya menunduk dalam saat jari-jari Nyonya Marta menekan dadaku berulang kali. Hilang sudah keberanianku. Lenyap sudah Aruna yang selalu punya cara menyangkal tuduhan atau mencari alasan untuk tidak terlihat salah. Aku hanya bisa pasrah menerima caci maki dari mereka yang katanya ... melihat video. Oh, jadi Damar mengirimkan video pengakuan pada keluarga Dinata Wiratmadja? Dasar pecundang. Kukira dia datang dan bicara lan
"Apa ...?" kataku terbengong. Pandangan tidak aku alihkan dari Dinata Wiratmadja yang baru saja berucap. Dia berjalan semakin mendekatiku yang berada di ambang pintu bersama Alina dan Nyonya Marta. "Mulai hari ini, kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini. Aldi akan menceraikan kamu."Aku menggelengkan kepala menolak keinginan Dinata. Itu tidak mungkin. Aku tidak mau berpisah dari suamiku. Aku tidak mau jadi janda. "Pah," kataku seraya menggapai kaki pria itu. Namun, dia menghindar. Dinata Wiratmadja tidak memperbolehkanku untuk menyentuh bagian tubuhnya. "Jangan katakan apa pun, Aruna. Perbuatanmu sungguh tidak bisa kami maafkan. Kamu penipu, kamu pengkhianat, kamu orang jahat. Orang sepertimu tidak pantas ada di lingkungan ini. Sekarang, kamu pergi dari sini!" Pelan, tapi tegas. Dinata Wiratmadja menyuruhku pergi seraya menunjuk ke arah luar di mana langit yang sudah menghitam dengan air hujan membasahi bumi. "Pah, tolong jangan suruh Bang Aldi untuk menceraikan aku, Pah. Tolo
Penyesalan itu selalu datang belakangan. Memberikan kesan mendalam di setiap perjalanan. Apalagi, perjalanan hidup yang aku jalani cukup pelik dan rumit. Maka rasa sesalnya pun tidak sedikit. Sangat dalam dan berbekas. Aku tidak akan pernah melupakan tentang hari ini dan sejuta kejutan yang kudapat. Termasuk ditinggalkan Luna dan ...."Bang Aldi ...." Aku mengucapkan satu nama yang sedang aku cari keberadaannya. Malam penuh drama di rumah Nyonya Marta telah berlalu. Sekarang, di sinilah aku berada. Di kontrakan sederhana yang jauh dari kata mewah. Duduk seorang diri seraya meratapi takdir hidup yang begitu menyedihkan. Aku kehilangan segalanya. Kebahagian, cinta, dan saudara. Kini aku benar-benar sebatang kara. Hidup seorang diri tanpa teman dan keluarga. "Ya Tuhan ... aku melupakan sesuatu," ujarku menyadari ada yang salah. Luna baru saja meninggal, tapi aku tidak sama sekali mengadakan pengajian. Astaga! Kakak macam apa aku ini? Sudahlah tidak becus menjaga dia, dan setelah dia